Aku Brie. Ini kisah hidupku. Kejadian itu sudah lama, saat itu kami masih sangat kecil, saat aku masih senang-senangnya mengejar seekor cicak sombong, ia meledekku dengan ekornya yang jelek. Menyebalkan. Namun sekejap ekor itu tak lagi menarik, terdengar suara yang amat gaduh dari ruang tengah. Perhatianku teralih. Buru-buru menuju ke sumber suara. Saat ku tengok, rupanya para majikan tampak panik. Mereka bersitegang, berjongkok mengelilingi sesuatu. Entah kenapa dadaku berdesir, mendadak tak nyaman. Rasa ingin tahu memaksaku mendekat, menyelip masuk ke tengah lingkaran, menyaksikan apa yang terjadi.
Aku terperanjat, menyaksikan pemandangan begitu memilukan seumur hidupku. melihat Pi kakakku,. Bukan! Pi tidak sedang bergelut seperti biasa. Pi menggelepar sebagaimana ayam yang baru disembelih, hidung dan mulutnya menghamburkan cairan kental, memerahi ubin. Benar, itu darah! darah itu melumuri sebagian tubuh Pi yang putih, dan mereka -para majikanku itu, hanya memandanginya saja. Tak tahu harus bagaimana. Majikan kecil tampak terpekik-pekik histeris, menangis. Sedangkan kakaknya tampak sedang berang, menghardik seorang di sebelahnya. Mereka saling menyalahkan.
“Lihatlah, gara-gara kalian!” “Aku dak sengajo, nginjak!!” Pekik salah seorang terisak, membela diri.
Ku lihat ia meremas kapas dan betadine di tangannya. Tak berguna. Namun, bagaimana dengan nasib Pi?! Gerakan tubuhnya mulai melambat. Perlahan-lahan hingga benar-benar berhenti. Lihatlah, Pi tiada lagi bergerak, ia tergolek tak berdaya di lantai yang berdarah. Seorang majikan mencoba mengguncang tubuhnya. Tapi tetap saja, tak ada respon dari Pi. Ia tak bergeming. Rasanya sesak sekali, bernapas tertahan. Ku tekan dadaku, sakit. Batinku meronta. Tak terima.. Pi yang baik sudah tidak ada, sekarang. Ia tak tertolong. Mereka membunuhnya, kakakku sudah mati!
—
“Tiada dendam.” itu yang ku pelajari dari sikap ibu, begitu sabar. Termasuk saat kematian Pi. Aku sudah akan mencakar-cakar mereka kalau saja Ibu tak cepat menghalangi, hingga aku tak punya pilihan selain mengalah. mengurungkan niat. Aku tahu, ibu pasti lebih terluka. Namun ia memilih merelakan, mengikhlaskan Pi. Begiku. Ibu luar biasa. Ibu sangat menyayangi kami, anak-anaknya. Ibu yang sering lupa akan dirinya karena di pikirannya hanya ada kami. Ibu rela menahan lapar demi anak-anaknya kenyang. Tak kurang satu apa pun. Bahkan malam itu. Ibu memilih terluka, demi melindungi kami dari makhluk menjijikkan yang nyaris menerkam saat kami bayi.
Perut ibu sobek. Ku kira waktu itu Ibu akan mati. Namun tidak. Perlahan kondisi ibu membaik. Aku sempat melihat si majikan kecil meneteskan sesuatu ke perut ibu. Ku rasa karena itulah luka ibu jadi cepat mengering. Selalu. Ibu selalu mendahulukan kami. Baik itu makan, mandi, aku paling senang saat ia memeluk kami, tubuhnya hangat. Aku bersyukur punya Ibu seperti dia. Terkadang aku berpikir. Kenapa aku tidak bisa seperti ibu? ia begitu disayang majikan. Itu dikarenakan ia begitu sabar. Suatu waktu. Aku lupa tepatnya kapan. Anak tetangga majikanku menarik-narik ekor Ibu. Ibu tak bereaksi, tak melawan. Ia diam saja. Ingin rasanya ku cakar saja tangan anak itu. Agar tidak bisa lagi menyakiti ibu yang lemah. Ibuku tengah mengandung adik kami. Ia pasti kesakitan.
Aku harusnya sadar lebih awal. Bahwa dia -anak tetangga majikan itu adalah pertanda buruk buatku. Karena beberapa minggu setelahnya. Setelah kejadian itu. tetangga majikanku beserta anaknya yang nakal datang lagi ke rumah. Anak itu mendekat, menghampiriku. mengelus-elus kepalaku. Aku tenang saja. “Awas saja kau tarik ekorku,” ancamku dalam hati. Namun untunglah, ia berlaku manis kali ini sampai-sampai aku terlelap di pangkuannya. Benar-benar nyaman. Sejak itu pula, aku mulai menyukai anak itu. Aku sering ia bawa ke rumahnya. Ia suka memberiku lauk yang super besar. Tak jarang aku menyisakan agar bisa ku bawa pulang dan ku bagi bersama Po -adikku. Aku yang sulung sekarang. Aku ingin jadi seperti Pi. Ia kakak yang baik.
Beberapa hari berselang. Di akhir pekan tepatnya. Majikan kami pergi sekeluarga. Tak ada seorang pun yang tinggal. Aku dititipkan pada mereka, tetangga majikanku itu. Aku bermain-main dengan anak itu lagi, hingga kami kelelahan lalu terlelap di sofa. Tak lama kemudian, aku terbangun karena tiba-tiba saja, aku merasa tubuhku terjepit. Aku dihimpit seseorang bertumbuh gempal. Lemas. Sontak aku menjerit, mengeluarkan kuku-kukuku sebagai bentuk pertahanan diri. Orang itu tak kalah kagetnya, aku telah mencakar lengannya.
Aku tidak mengenal orang itu. sangat asing. Ia tampak besar, lebar dan bulat, nyaris saja aku mati. Ia memukuli tanpa ampun. Aku pun berbalik menghardiknya dan ia tampak sangat tidak suka. Ia mengangkatku, mengguncang-guncang dan meremas tubuhku. Aku meronta kesakitan. Tapi aku tak menyerah begitu saja, aku berhasil menyerang dengan mencakarnya lagi. Kini tepat di puncak hidungnya yang besar, seketika genggamannya lepas. Langsung saja aku lari, menjauh, waspada. Dia bisa saja melakukan serangan balik.
Rupanya itu belum berakhir, sore harinya saat aku sedang berselonjor dengan santai, di teras mesjid perumahan sebelah, seseorang mengangkat tubuhku. Mendekapku di dada. Aku kaget. Setelah ku lihat. Rupanya anak itu. Lega, tak ada yang perlu dirisaukan. Namun kelegaan itu hilang dalam sekejap. Anak itu. Tak lagi membawaku ke rumahnya. Ia duduk memangkuku di atas sepeda motor dengan seorang memegang kemudi di depan. Aku terperanjat. Seseorang itu adalah orang asing yang ku cakar hidungnya tadi siang. Mau apa dia? Pikiranku tak tenang. Sepeda motor itu melaju dengan kencang. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Entah ke mana mereka akan membawaku. Apa mereka akan membunuhku? Aku takut sekali, segera sekelilingku berubah menjadi tempat yang teramat asing. Aku gelisah. Ku katakan pada anak itu.
“Bawa aku kembali, jangan pisahkan aku dengan Ibu dan juga Adikku!! Aku mohon!” namun dia tidak menggubris. Ia hanya mengelus kepalaku, menyuruh tenang.
Hanya bisa pasrah. Ibu, Po, majikanku, semuanya berkelebat di pandanganku. Ohh, Tuhan.. andai aku tadi bisa bersabar seperti ibu, aku tak akan begini! Aku berusaha mengingat jalan-jalan nan ramai yang kami lewati, jalanan kota Jambi. Berharap suatu saat aku bisa kembali. Tapi sia-sia. Jalan yang ditempuh begitu ruet dan membingungkan, mendaki menurun dan melewati banyak gang. Aku memandangi anak itu, berharap timbul belas kasihannya padaku, namun harap tinggal harap, dia tidak iba padaku sama sekali. Tak lagi menoleh. Ia malah menikmati perjalanan itu. Memicingkan mata, merasakan angin yang membelai-belai rambutnya. Sedangkan aku? dirundung kekhawatiran yang amat sangat.
Sepeda motor itu pun menghentikan lajunya. Mereka melepasku di sana, di tempat sepi tak ku kenal. Ku lihat, orang asing itu tersenyum puas ke arahku. Seolah berkata, “Rasakan pembalasanku!” Ia sangat bersuka cita, begitu juga anak itu. Tak disangka. Rupanya mereka sama saja. Aku berjalan tanpa tahu harus ke mana, haus dan lapar mulai menyerang. Memperlambat langkah. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari-cari. Berharap ada sesuatu yang bisa ku temukan untuk dikunyah. Aku menangkap sosok anak laki-laki di beranda sebuah rumah yang sedang asyik dengan makanan di piringnya. Aku menghampiri, berharap ia mau menyisakan sedikit lauk atau setidaknya potongan tulang. Lama ku tunggu. Tapi ia acuh tak acuh. Kecewa. Aku pun beranjak dari sana. Tak disangka anak itu memanggilku kemudian. Melempar jauh sepotong lauk, aku pun mengejarnya.
Segera ku lahap lauk itu, namun belum sempat aku menelan, aku terperanjat. Karena tiba-tiba saja, seekor anjing gemuk dengan geram telah memburu ke arahku. Rupanya jebakan. Anak laki-laki itu tertawa terpingkal-pingkal. Sial. Ku pacu langkah secepat mungkin, Laju Anjing itu amat kencang. Aku berlari dan terus berlari, tersengal-sengal. Anjing itu tak kunjung jua berhenti. Tidak! Aku tak akan menyerah secepat itu. Otakku berputar. Ku putuskan bersembunyi di balik rerimbunan pagar daun, mengintip dari sela-sela, anjing itu tampak kebingungan, berputar-putar agak lama, lalu akhirnya pergi. Fuihh! Rasanya lega. Ia tak lagi mencariku..
Aku ke luar dari tempat persembunyian itu. Mengeliat. Penat sekali rasanya. Kembali ku edarkan pandanganku ke seluruh penjuru. Dan tahukah kau, apa yang baru saja ku lihat? di seberang jalan sana, ada seorang ibu-ibu sedang membuang sisa makanannya. Dapat ku pastikan, di sana ada sedikit lauk dan tulang yang dapat meredam perut nan melilit ini. Tanpa buang-buang waktu, segera. Aku bergegas ke sana. Full bersemangat, seolah lupa dengan rasa lelah yang tadi. Aku melesat seperti kilat, dan tiba-tiba aku merasa, mendengar sebuah suara yang sangat tak asing.
“Briee!!”
Suara itu terdengar lagi. Tidak salah lagi.. itu suara majikan kecil. Pasti dia! Sungguh bahagia. Seketika, aku menghentikan langkah. Berbalik dan tanpa tak ku sadari sebuah motor sedang bergerak cepat ke arahku. Terlambat, motor itu lebih cepat. Ia melambungkan tubuhku ke langit, kemudian menghempasku tanah, dan basah. Cairan merah mengucur mengambang hingga ke sela-sela leher. Aku tak lagi bisa merasakan kaki-kakiku. Pening. Pandanganku berkunang-kunang. Samar-samar ku lihat seseorang berlari ke arahku. Ia mengatakan sesuatu, tak begitu jelas terdengar. Aku bergumam lirih. Ia menggapaiku, membawaku ke pangkuannya, mengelus-elus lembut.. Ku rasakan satu-dua tetes air jatuh ke daun telinga. Sebuah tangisan. Haru sekali mendengarnya. Namun, sayup-sayup cahaya itu makin meredup, kebisingan jalan raya mulai kabur. Berganti hening. Senyap. Sampai jumpa ibu, sampai jumpa Po. Sekejap, semua gelap.
Cerpen Karangan: Suhayla Zhafira Facebook: https://www.facebook.com/suhayla.zhafira