Alkisah pada suatu hari seekor burung Gagak sedang berterbangan melintasi Hutan Mejiku. Dia baru saja diusir oleh kawanannya. Orangtuanya entah di mana. Ia hidup sebatang kara. Di dekat danau, ia bertemu dengan Angsa. Burung Gagak menyapa Angsa yang sedang berenang di danau itu.
“Hai Angsa, apa yang kau lakukan?” tanya si Gagak basa-basi. “Tidakkah kau lihat aku sedang berenang, wahai Gagak yang jelek? Jangan memandangku seperti itu. Aku tahu kau iri dengan keindahan buluku. Ya, buluku memang putih, bersih, indah, tidak seperti kau yang hitam dan kusam.” Ejek Si Angsa. Burung Gagak merasa sedih. Ia terbang lagi mencari kawan baru. Di depan sebuah gua, ia bertemu dengan ular. Ular menjulur-julurkan lidahnya.
“Hei jelek! Jangan menghalangi jalanku atau ku gigit kau!” katanya. Gagak putus asa. Dia menuju ke sebuah pohon. Hinggap dan bertengger di dahannya. Ia merenung, kemudian seekor kupu-kupu mendekatinya. “Jangan menghampiriku kalau kau juga ingin mengejekku,” katanya. Wajahnya murung. “Kenapa kau murung? Terbang dan bermainlah bersamaku,” kata si kupu-kupu. “Aku malu,”
“Kenapa?” “Sayapmu indah. Sangat indah. Bercorak. Warna-warni, aku merasa rendah di hadapan kalian, tak ada sesuatu dariku yang bisa dibanggakan,” kata Gagak sedih. “Hatimu. Hatimu putih. Jangan malu, aku juga dulu begitu. Tahukah kau aku dulu hanya seekor ulat menjijikkan. Dan aku telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang disukai banyak orang. Namun hidupku tak lama lagi. Di setiap kekurangan akan ada kelebihan walau sekecil apa pun. Percayalah.”
Cerpen Karangan: Evi Herniyati Facebook: Evi Herniyati Salam sedeza.