Kami sebagai kucing tak suka bila harus memakan duri ikan. Ayolah, apa enaknya duri ikan? Atau tulang ayam? Itu bukan makanan, bung. Itu sampah. Sampah dari makhluk yang sombong ini, manusia. Dengan otaknya yang besar itu mereka mempermainkan kami. Memanggil kami hanya untuk bahan lelucon, untuk kepuasan pribadi mereka, tanpa memikirkan betapa sulitnya kami untuk makan.
“Kenapa kita harus makan duri, Ibu? Duri tidak enak. Aku sering kelolotan…” Anakku bertanya. Aku sedih. “Dagingnya hanya untuk manusia, Nak. Wajarlah, itu hasil kerja mereka…” “Bukankah Ibu juga bekerja?” Aku dibungkam oleh keterbatasan pemikiran otakku. Bergegas aku percepat langkahku. Letih aku berkelut dengan batin yang sukar bersyukur ini.
Saat fajar menyingsing, jiwaku kembali pada tubuh ini. Tak ada tujuan lain, hidup untuk makan, dan juga beranak. Bosan rasanya. Lagi-lagi berjumpa dengan mereka. Mau bagaimana lagi, makanan kami ada karena mereka. Kecuali tikus. Tapi kucing mana yang setiap hari bersua dengan si pengerat handal itu? Terlebih lagi, kami tak terlalu suka daging tikus. Entahlah, kami hanya suka menangkapnya. Popularitas kami sebagai rival abadi terbit setelah kartun yang berjudul “Tomenjeri” -itu yang diucapkan manusia. Halo, kami kucing dan kami adalah hewan. Tentu kami tak bisa membaca, walau ada ku dengar manusia yang tak bisa membaca. Barangkali mereka-mereka itu memang berjiwa hewan.
“Hari ini kita ke rumah Usman lagi, Bu?” “Jangan dulu. Walau ia baik, tapi ini masih pagi. Lebih baik kita cari dulu di tempat sampah…” “Baiklah, Bu…”
Wajah anakku memurung. Aku pun juga, tapi untuk apa? Kami harus berusaha untuk dapat makan hari ini. Tempat sampah memang jarang tidak ada sesuatu yang bisa kami makan, apalagi tempat sampah itu di belakang rumah Yono, yang konon orang terkaya di RT ini. Pasti selalu “ramai” dengan “makanan”. Bencinya, jika ingin dapat makan di tempat sampah, kami harus sudi berebut makanan dengan para belatung. Belatung sekarang lebih “busuk”, licik, dan rakus. Menurut penelitian manusia, belatung adalah anak lalat. Tapi kami tak pernah melihat lalat meletakkan telurnya. Bahkan kami pikir lalat bukan petelur. Tapi jika benar belatung adalah anak lalat, itu pas-pas saja.
“Bu, lihat ada makanan!” Anakku hebat. Syukurlah. Ada bungkusan insang ikan tergeletak di tempat sampah tersebut. Sepertinya masih baru. Kami pun langsung berlari untuk membongkar bungkusan tersebut. “Hei! Apa yang kalian lakukan!?” “Kami ingin makan, kenapa?” “Takkah kau tahu kalau segala makanan yang ada di sini adalah milikku!?” Lagi-lagi betina kesayangan Yono ini mengusik kami. Tak senang ia jika tak melihat kami sengsara. “Bagaimana bisa?” “Ini adalah wilayah majikanku. Berarti juga wilayahku!” “Hewan tak punya hak milik di dunia ini! Sekali pun kita hidup di negara demokrasi seperti ini, tapi kita ditindas oleh komunisme! Manusia adalah wujud nyata komunis bagi kita!”
“Tak perlu sampai berbusa untuk menceramahiku! Kau hanya iri karena kau adalah kucing liar yang tak bertuan!” “Iri? Aneh sekali kau! Dan anehnya lagi, bertuan pun tetap membuat kebutuhan makanmu tak tercukupi, bukan? Tak guna bermajikan jika majikanmu tak sadar diri!” Anakku mencoba mengajakku pergi untuk mencari makan di tempat lain saja. Ku lihat wajah betina j*lang itu mulai geram. Tanpa basa-basi lagi, walau berat hati, kami meninggalkan bungkusan insang yang sudah jelas milik kami tadi.
—
Matahari pagi semakin menunjukkan keperkasaannya. Burung-burung ceria ke sana ke mari. Kami pun hanya bisa mendongak lesu. Lapar sudah tak bisa diajak bersahabat lagi. Anakku mulai berjalan sempoyongan tak tentu arah. Ayolah, kami tak punya akal. Makan ya makan. Kami tidak bisa menyusun rencana. Ya, walaupun ada yang namanya rencana, itu adalah bagaimana kami dapat makan untuk hari ini saja. Herannya, kenapa manusia mesti pelit untuk berbagi karunia Tuhan? Padahal menurut sejarah, hewan diciptakan lebih dulu daripada manusia. Benar, itu tak ada hebatnya sama sekali. Kami diciptakan duluan ya tidak lain tidak bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Karena memang di bumi ini manusialah pengurusnya, pemeran utamanya. Lalu, bagaimana bisa sang “pengurus” itu merusak sesuatu yang diurusnya? Aku sungguh tak mengerti. Bukan hanya aku, ketidakmengertian ini sudah ada sejak zaman nenek moyang kami. Kebakaran hutan, tebang illegal, tanah longsor, buang sampah sembarangan, banjir. Masih mending yang jadi korbannya adalah pelakunya itu sendiri, yaitu manusia. Lucunya, kami pun ikut menjadi korban kebiadaban manusia terhadap lingkungannya. Lihat saja dua tahun yang lalu, saat desa ini dilumat banjir karena sampah di sungai itu sudah menumpuk, ibuku mati terbawa air. Aku mengutuk manusia semenjak kejadian itu! Tapi apa daya, kami hanya kucing yang malang.
“Ibu, aku tidak kuat lagi…” “Sabarlah, Nak. Ayo kita minum dulu…” Aku mengajak anakku menuju kubangan air yang sudah berwarna cokelat di depan rumah Usman. Sebuah kubangan, salah siapa itu? “Ayo, kita ke rumah Usman, Bu…” “Dia mungkin pergi sekolah, Nak. Lihat, pintunya ditutup rapat!” “Tapi tadi ku lihat jendela dapurnya terbuka, Bu!” Aku pun mengikuti anakku menuju belakang rumah Usman. Ingat, aku tak punya akal. Tak peduli seburuk apa pun caranya, kami butuh makan.
Setelah kami melompat masuk lewat jendela, kami menemukan Usman terbaring di lantai dapur dengan memegang perut. Kenapa ia tak sekolah, batinku. “Bu, sepertinya tak ada yang bisa dimakan di sini…” “Mungkin Usman belum memasak, Nak…” “Ini sudah hampir siang, Bu! Pasti dia sudah sarapan! Tapi kenapa tidak ada piring kotor ya?” “Ibu juga tak tahu…”
Ku pandangi Usman dengan saksama. Wajahnya pucat, mulutnya terbuka sedikit. Kalau ku lihat dari raut wajahnya, ia seperti sakit dan butuh makan, sepertinya. Kami pun keluar. Di kepalaku masih terbayang-bayang Usman. Apa mungkin dia pingsan kelaparan? Ya itu wajar. Setahuku, Usman sebatang kara. Ibunya sudah meninggal dua tahun lalu sama seperti ibuku. Ayahnya pergi mengadu nasib entah ke mana. Lagi-lagi aku dipusingkan manusia. Kenapa mereka mencoba bersikap seperti kucing? Sang ayah pergi meninggalkan anaknya hanya karena keegoisan yang tak terbendung.
“Ayah Usman kok belum pulang, Bu?” “Seperti kita, kan?” Aku sedikit tertawa. “Tapi, Bu. Kemarin itu aku dengar lewat telepon mereka, kalau Ayahnya sangat menyayangi Usman. Hanya saja, Ayahnya merasa tak mungkin dapat hidup maju dengan hanya tinggal di sini saja. Usman kan tetap di sini karena ia masih ingin melanjutkan sekolahnya…” “Jadi, Ayahnya sudah sukses di sana?” “Itulah yang aku tak tahu, Bu. Ku rasa tidak. Karena setiap Ayahnya menelepon, ku lihat air mata Usman mengalir di pipinya…” Aku tertegun. Manusia, barangkali tak semuanya sama. Ada yang betul-betul berjuang dalam hidup, ada yang tak tahu bagaimana caranya hidup di dalam hidup ini. Usman anak yang baik. Ia sering memberi kami makanan walau itu duri maupun sisa-sisa lauknya. Kami tak peduli, yang penting kami bisa makan.
“Assalamualaikum! Usman?” Itu Tamrin, RT di sini. Sepertinya ia ingin memberikan nasi pada Usman. “Oh iya, Tamrin kan sekolah. Letak sini sajalah…” Aku terkejut. Usman kan sedang pingsan di dalam. Harus ada manusia yang menolongnya. “Meoww! Meoww! Meoww!” Ha? Apa yang dilakukan anakku? “Hei, niss… aku tak punya ikan…” “Meoww! Meoww!” “Kucing aneh! Huss!”
Apa mungkin anakku ingin memberitahu Tamrin bahwa Usman sedang pingsan di dalam? “Aw! Kucing bodoh! Akan ku bunuh kau!” Anakku menggigit kaki Tamrin dan kini Tamrin pun mengejar anakku sampai ke belakang rumah Usman. Aku mengikuti mereka. “Usman? Astagfirullah. Usman!” Tamrin pun mendobrak pintu dapur Usman dan segera membangunkannya. Seperti manusia, tak semua kucing sama. Nyatanya, anakku punya sedikit akal.
“Terima kasih banyak, Pak Tamrin!” “Iya, Usman. Kalau kamu mau makan dan tidak ada sayurnya, datang saja ke tempat saya!” Usman mengangguk seraya tersenyum bahagia. Ia sudah siuman. Kami juga senang. “Ayo kita cari makanan, Bu! Semangatku sudah kembali!” Aku mengiyakannya.
“Niisss… ckckck! Meoong…!”
Usman memanggil. Kami pun bergegas menuju panggilan Usman. Lagi-lagi Usman kembali beraksi. Iya, ia memberikan kami nasi dengan campuran tulang dan… ada daging ayamnya! Inilah yang disebut manusia dengan: “Rezeki tak ke mana”. Kami sangat senang sekali. Langsung ku tatap Usman dengan penuh terima kasih. Walaupun ia tak mengerti maksudku, anehnya, ia mengangguk dengan senyuman lebar.
“Bu, apa Usman tahu kalau kita telah menolongnya tadi?” Anakku bertanya seraya mengunyah nasi yang harum ini. “Tidak, Nak. Memang ada manusia baik seperti Usman…”
Cerpen Karangan: Nanda Insadani Facebook: Nanda Insadani Cerpen ini terinspirasi dari petuah bapak saya: “Makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan.”