Seekor anak Jalak baru saja keluar dari cangkangnya. Jalannya masih tertatih-tatih dan sering kali menyusup di bawah sayap induknya. Keluarga Jalak memiliki sayap tapi tidak mampu terbang berjam-jam di udara. Mengenal kelemahan itu, induknya selalu menuntun si kecil untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Berbagai teknik dasar pun diberikan sejak dini sebelum si kecil beranjak dewasa.
Hari demi hari, minggu demi minggu, otot-otot si kecil perlaahan menguat dan berisi. Sebagai orangtua yang baik, sang bunda mulai menceritakan pemandangan alam yang menarik di rimba itu: sungai, matahari, berbagai jenis bunga, buah-buahan dan lain sebagainya. Secepat kilat, si kecil terbawa arus imajinasinya sendiri sebelum berpetualang lebih jauh menyusuri rimba itu. Ia ingin sekali meyaksikan indah yang pernah dilihat oleh ibunya. Ia mau memahami lebih dalam apakah indah itu bisa dilihat secara kasat mata atau adanya hanya dalam dunia imajinasi saja.
Namun, beberapa waktu kemudian ketaksabaran mulai menghantui si kecil. Hari pertama ke luar dari sarang, kakinya tertusuk duri putri malu. Hari kedua, hampir saja kepalanya terjebak dalam sebuah perangkap. Dan, hari ketiga beberapa bulu ekornya copot tersambar peluru nyasar entah dari mana datangnya.
Hutan itu kemudian menjadi sesuatu yang sangat membosankankan bagi si kecil. Sehingga, ia ingin berlari dari sana dan bertandang di tempat lain meski minim pengalaman.
Hari-hari berikutnya, ia tak lagi mendengar petuah dari si bunda. Ia pura-pura mengangguk saat si bunda memberi petunjuk padahal pendapatnya bertentangan. Namun, sehebat-hebatnya ia memasang topeng tebal yang menyembunyikan pendapat yang sedikit bersilang itu akhirnya tiba pula saatnya di mana ia jenuh dan mau mencungkil topeng itu dan menyampaikan pendapatnya secara terus terang di hadapan sang bunda bahwa ia bersilang pendapat, bahwa ia berhak menyampaikan pendapat meski berbeda dan bahwa ia berhak atas hidupnya sendiri.
“Mama, aku jengkel sekali melihat tempat ini. Aku tak cantik lagi. Lihat, ekorku telah copot, kakiku bengkak… iiihh”
“Nak, sabar nak. Itu semua pelajaran yang baik yang mesti diterima. Lihat sahabatmu air yang di sungai itu. Ia tidak pernah memaksa diri untuk lompat ke laut. Ia sabar menyusuri liku-liku bentuk sungai. Ia sangat menjunjung tinggi sebuah proses menjadi dan menuju. Dan toh, sampai juga ke laut. Di sana, kesabarannya membuahkan hasil yang baik. Berbagai makhluk suka melihat pemandangan laut meski itu tak lebih dari sekumpulan air saja. Nak, dengar baik-baik. Semakin kau ditantang semakin besar pulah pengertianmu mengenai apa artinya hidup ini. Meski engkau melihatnya biasa-biasa saja bahkan membosankan, tapi sebenarnya itu luar biasa kalau engkau melaksanakannya dengan setia. Sabar sayangku.”
“Tidak mama, tidak. Aku tak suka. Jangan terlalu khawatir akan aku dan masa depanku. Kekhawatiran kadang menumpulkan perkembangan hidup kita. Sehingga, dari dahulu kala sampai sekarang keluarga kita begini teruuus saja. Kita tidak memiliki keistimewaan lain selain hanya bernyanyi setiap pagi sebelum matahari terbit hanya untuk membangunkan si Kodok gendut yang di lubang itu. Mama… biarkan aku merantau. Aku sudah kuat. Aku mampu.”
“Jangan nak. Dengar mama baik-baik ya, nak. Ada saat di mana ketabahan kita mesti diuji. Dan, memang harus diuji supaya kita bisa mengenal siapa diri kita sebenarnya. Jangan putus asa nak. Jika tidak, kau nanti hanya bisa ber-asa tapi orang lain akan memutuskan asamu lalu kau mati tak berdaya.”
“Tidak. Justru karena mau diuji, aku harus pergi. Bukankah ini juga bagian dari ujian hidup itu? Aku paham sekarang, mengapa dari dahulu sampai sekarang mama selalu khawatir. Takut inilah takut itulah… Kalau kita hanya berkutat terus di sekitar rimba ini dan tidak memerangi rasa takut itu, baik mama maupun aku, kita tak akan mengenal banyak hal baru di luar rimba ini.”
—
Creeeng Kemudian, dengan kemampuan yang terbatas si kecil terbang. Ia lalu mendarat di salah satu tempat bekas pengirikan padi. Di sana, terdapat banyak konsumen: Tekukur, Pipit, Ayam, Bebek liar, Itik bandel, Angsa cuek dan lain sebagainya. Perlahan-lahan ia bergabung. Ia tak peduli dengan tatapan asing seekor ayam jantan yang sibuk melindungi bininya. Ia terus masuk dan berjalan cuek seperti Angsa.
Ternyata, kabar kedatangan ilegal itu terdengar sampai ke telinga raja unggas, yang biasa disapa Elang, yang merajai tempat itu. Hampir semua warganya hutan tahu bahwa Elang bukan sekedar raja yang suka memerintah seenak perutnya saja tetapi juga ia sangat tangkas dan pekerja keras. Untuk bertahan hidup Ia suka membanting burung, mencabik dan menelannya.
Setiap hari ia bekerja banting tulang. Ia memang pekerja keras namun bukan ala jalak yang suka mengais di atas permukaan tanah, tapi mencengkram mereka-mereka yang mengais tanah dan mematoknya. Terlebih makhluk-makhluk asing yang tidak mematuhi tata-tertib, seperti si jalak kecil yang ke luar bebas dari tempat asalnya.
Tata-tertib di kerajaan Elang telah sekian lama berlaku. Warganya pun telah terbiasa dengan peraturan di dalam kerajaan itu. Apabila sang raja melintas di udara, secara otomatis semua warganya bersembunyi. Mereka seakan tak mampu melihat langsung keagungan sang raja dengan segala pernak-perniknya. Yang tidak mematuhi aturan itu, jelas akan mendapat ganjaran keras langsung dari raja sendiri. Peraturan itu belum pernah dikenal oleh si Jalak selama mengikuti bundanya. Terlebih lagi, peraturan-peraturan tersebut seperti piramida terbalik, yang ujungnya ditikam ke bawah, ke makhluk-makhluk kecil seperti salah satunya adalah si Jalak.
Hari itu, sang raja menguji masyarakatnya. Untuk mengetahui jika masyarakatnya masih mematuhi peraturan sang raja atau tidak. Kemudian, ia melintas. Sekali ia melayang di atas tempat bekas pengirikan padi itu, Bebek liar seakan hilang liarnya, Itik bandel seakan hilang bandelnya, Angsa biasa tak terkecuali pun hilang cueknya demikian pula Tekukur, Ayam dan Pipit hilang sifat kepala batunya. Mereka lari pontang-panting mematuhi aturan raja.
“Awas…!” Teriak Ayam jantan mengawasi bininya. “Lari…!” Balas si Angsa seakan sependapat dengan Ayam jantan, dengan suaranya yang cukup menggelegar sehingga dalam hitungan detik, mereka menyebar ke berbagai arah mencari tempat yang aman supaya hati raja senang.
Tapi, si Jalak kecil, yang belum pernah mendapat penyuluhan mengenai aturan itu, berdiri bengong di atas tumpukan jerami. Saat itu, sang raja tidak berbasa-basi lagi. Ia langsung menyergap si Jalak yang tidak menaati aturan. Tak lama kemudian, si kecil tercekik dan mampus dalam cengkramannya. Elang yang adalah raja itu mematuk si kecil. Burung kecil itu dibanting-bantingnya sehingga lemah lunglai dan siap disantap.
—
Mereka yang tadinya bersembunyi, keluar satu per satu dari tempat persembunyiannya dan sangat khwatir akan hukuman susulan dari sang raja. Peristiwa yang dialami si Jalak itu memberi suatu pelajaran khusus bagi penduduk di kerajaan Elang. Mereka semakin memahami bahwa peraturan-peraturan itu bukan sekedar peraturan biasa tapi benar-benar luar biasa.
Demikian hari itu, tamatlah riwayat si jalak kecil. Ketaksabarannya membuat ia tak pernah kembali ke dekapan ibunya meski hanya untuk melantunkan sekali saja nyanyian indah yang sering dilakukan keluarga Jalak sebelum matahari menyingsing.
Cerpen Karangan: Afri Deo Facebook: Deo Afrian Cimpar, Carep, Ruteng, Manggarai, Flores Alumnus Tourisme High School Sadar Wisata Ruteng Beberapa cerpen yang telah diterbitkan : Nadus, Polus dan Perjalanan Yang Memberitahu Sesuatu (Flores Mudah) dan Ironi Kentut (Flores Sastra).