Rio mengejarku. Aku lebih senang bermain kejar-kejaran daripada bermain gulat dengannya. Aku selalu berhasil mencapai finish duluan. Meski umur kami sudah 5 bulan, tapi kami tak pernah sekalipun terpikirkan untuk berpisah. Ibu selalu berkata, “Kalian harus saling menjaga satu sama lain. Dunia sudah semakin kejam”.
Hingga suatu hari ibu datang dengan ikan pindang di mulutnya dan tubuh penuh luka. Ini pasti ulah manusia jahat. Kata ibu manusia ada yang baik dan jahat. Manusia jahat lebih buruk daripada domba-domba jahat yang kabur dari tuannya, begitu yang aku dengar dari ibu. Aku tak mengerti maksudnya. Ada pula di antara mereka yang alergi dengan kami. Ada-ada saja.
Kembali ke topik. Makanan datang tapi ibu pergi. Pergi untuk selamanya. Ibu pergi saat aku dan Rio belum pernah mencari makan sendiri. Kalau aku boleh berdoa, aku lebih menginginkan ibu daripada ikan pindang di mulutnya!
Sejak saat itu, aku dan Rio sepakat untuk bermain-main hanya di atas atap rumah-rumah saja. Kami takut nasib kami berakhir seperti nasib ibu. Hanya sesekali turun ke daratan untuk mencari makan di tempat sampah atau di jalan yang penuh dengan sampah berserakan. Beruntung sekali kami ketika manusia penyapu jalan tidak segera membersihkan sampah-sampah jalanan itu. Tapi harus kuakui manusia kini semakin pelit. Tempat sampah saja ditutup dengan benda berat di atasnya. Mereka bilang itu tutup-tempat-sampah or whatever. Kucing-kucing liar seperti kami sering menyerah dengan tempat sampah semacam ini. Di antara kami ada yang bersikeras mengenyahkan penutup menyebalkan itu dengan menyeruduk tampat sampah. Itu pun dilakukan tengah malam. Tentunya kami tak ingin berakhir lapar dan penuh luka akibat pukulan sapu manusia.
Namun aku dan Rio sering melupakan rasa lapar dengan bermain kejar-kejaran. Tentunya tetap di atas atap. Beberapa atap sudah kulompati. Rio masih mengejar di belakangku. Satu dua genteng terkadang bergeser dari tempatnya. Menghasilkan suara keretak yang kusukai. Manusia di dalam rumah marah-marah. Aku tidak peduli. Hap. Aku melompat sekuat tenagaku. Kurasa kali ini aku salah perhitungan.
Aku terjatuh di daratan beralaskan keramik kasar. Sepertinya keramik ini berumur tua karena terdapat banyak bintik-bintik hitam di sudut maupun bagian tengahnya. Kalian dapat membayangkannya? Kuhaturkan rasa syukur kepada Maha Pencipta karena aku terlahir sebagai kucing. Lihatlah! Aku terjatuh tapi aku masih sempat memikirkan tentang keramik-keramik tak penting itu. Aku tak terluka meski terjatuh dari atap yang tinggi! Kalian bertanya tentang tulang-tulangku? Tetap berada pada posisi mereka. Itu semua karena jenis kami punya posisi siap-sedia otomatis sebelum mendarat.
“Vio! Kau tak apa?” “I’m okay Bro. Tapi aku tak bisa naik ke atas lagi. Semuanya dikelilingi dinding dan tak ada pohon disini”. Rio terdiam. Aku melihatnya sedang duduk di pojokan atap. Diam tak bergeming. “Hai Rio! Sedang apa kau? Lekas bantu aku!” “Hush. Aku ya sedang berfikir ini”. Dia mengangkat kakinya sebelah. Sepertinya aku mengenal posisinya ini. Dia menyemprotkan air seninya ke arah dinding rumah sebelah. Sudah kuduga. “Hehe. Aku sedang berfikir apakah kutandai daerah ini sebagai wilayahku atau tidak. Habis enak sih disini. Pemandangannya lumayan bagus” Rio mengatakannya sambil nyengar-nyengir sendiri. Mendadak aku menjadi jijik melihatnya. Dasar jantan. Mau seberapa banyak lagi wilayah yang akan dia tandai sebagai wilayahnya. “Cepat cari cara agar aku bisa ke luar dari tempat ini!” “Apa kau tak lihat? Di belakangmu sepertinya ada jalan”. “Iyakah?”
Terdengar pintu terbuka. Suara sandal mengarah ke arahku tepat ketika aku baru sempat melihat jalan yang dimaksud Rio. Badanku menggigil. Manusia! Aku harus waspada. “Di sebelah kirimu! Ada lubang. Masuklah kesana!” Aku segera menuruti perkataan Rio, yang mungkin saja terdengar seperti meongan tak jelas di telinga manusia.
Untung saja. Sekarang aku sudah berada di dalam sebuah ruangan sempit. Aku berada di jalan buntu! Aku mulai panik. Bagaimana jika manusia itu menemukanku. Ah, mereka pasti bisa menemukanku. Manusia kan punya otak pintar.
Suara langkah sandal itu mendekat. Aku semakin menggigil di belakang pintu yang bagian atas dan bawahnya berlubang. Di ruangan ini tak ada tempat yang dapat digunakan untuk bersembunyi. Benar-benar kosong dan sempit dengan langit-langit atap yang tinggi. Kuintip manusia bersandal dari kolong bawah pintu –lubang yang aku bilang tadi. “Puss”. Ya Tuhan. Dia memanggilku. Manusia itu memanggilku! Namaku Vio bukan Puss. Tapi aku suka dengan bunyi kata itu. Waspada Vio! Dia hanya mencoba menggodamu. Aku semakin beringsut. Mundur sampai menempel pada dinding di belakangku. Oh Tuhan, nasibku sebentar lagi akan sama dengan ibuku.
“Puss”. Ada sesuatu yang manusia itu lempar masuk ke kolongan bawah pintu. Benda itu menggelinding ke arahku. Apakah itu bom? Sepertinya aku terlalu parno dengan apa yang mereka sebut bom, benda yang katanya dapat meledak seketika. Gara-gara sering mendengar berita-berita bom dari benda kotak keras milik manusia. Apakah itu bom?
To be continued
Cerpen Karangan: Asny RR Facebook: https://www.facebook.com/ariny.sabilarrusyda Check my FB