Sejak 10 bulan yang lalu aku tinggal di rumah ini. Kalau ditanya betah atau tidak, aku paling hanya bisa mengangguk. Tanda aku memang nyaman disini. Tapi, tidak juga. Cuma memang tidak ada pilihan lain.
Mereka sangat memperhatikanku. Tetapi kadang aku sedikit tidak suka dengan sifat-sifat mereka, tingkah laku mereka, attitude sepertinya mereka sisihkan jauh-jauh. Sangat mereka sepelekan. Apakah manusia memang seperti ini?
Disini, sekarang, Tuhan kuyakin ada sedang memandangku. Tuhan begitu baik. Menciptakanku, memoles dan mencetak tubuhku serta menghembuskan ruh ke dalam dadaku. Aku tersipu dan seakan-akan melambung ke langit-langit rumah ini saat Doris menyanjung rupa dan tubuhku. Ah, itu membuatku malu. Tapi jujur aku senang mendengarnya.
Makanan selalu tersedia khusus untukku. Ya Tuhan! aku bak raja disini. Sekali lagi, Tuhan sangat baik padaku. Tubuh ini selalu dibelai, dimanja dan selalu dibubuhi wewangian. Laksana sang putri di kerajaan. Putih tubuhku tampak begitu bersinar, kala lampu rumah ini dihidupkan.
“Waah, tak terasa sudah besar rupanya sayangku.” Kata yang telontar dari bibir tipis Doris berhambur ketika membelai tubuhku. Kami sangat akrab. Aku sayang kepadanya. Walaupun banyak tetangga di luar sana menggunjingnya. Anak perempuan di keluarga ini yang baru saja tamat dari Sekolah Menengah Atas. Badan sedikit gempal dengan rambut pendek sebahu. Aku takut dia akan bertambah terus berat badannya begitu dia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah.
Dia sesekali menyanyikan beberapa lagu yang membuat kupingku ingin protes mendengarnya. Aku berpura-pura tertidur di pangkuannya dengan mata yang terpejam. Berharap dia senang.
“Apa ini?! Gawat! Baju ini kan pemberian Papih dari Singapura! Aduh, bangun! Bangun, kataku!” Melempar tubuhku begitu saja ke lantai. Sedikit aneh memang. Tapi inilah Doris. Kadang membelaiku dengan lembut kadang mencampakkanku seperti lap kotor tak berguna. Tapi, aku tak bisa bebuat apa-apa. Hanya membisu.
Dia beranjak pergi dengan muka masam. Aku menyipitkan sebelah mataku, seraya melihatnya pergi. Kalau saja aku mampu, aku ingin sekali menjambak rambutnya. Tapi… kuurungkan niatku. Karena, hanya dia yang selalu mebelaiku. Aku menghela nafas dan kembali mencoba tidur.
Sebentar, selain Doris ada juga yang selalu membelaiku, namanya Carla, keponakan Doris yang masih berusia 5 tahun. Aku sangat senang karena dia akan berkunjung ke rumah ini akhir pekan besok. Dia sangat polos seperti anak-anak pada umumnya. Cerdas dan tulus menyayangiku. Berbeda dengan keluarga ini, sepertinya Doris dan keluarganya mengangapku hanya sebagai pajangan. Membersihkan dari debu-debu, mengagumiku namun menganggapku tak punya perasaan.
Hari ini aku merasa aneh dengan badanku. Menggigil dan lunglai tak bertenaga. Aku mencoba duduk di bawah jendela, seperti biasanya. Tentu saja dengan naik di atas meja yang diletakkan di pinggir jendela itu. Jendela yang berembun tiap kali aku menatap ke luar. Jendela yang juga merupakan tempat favoritku di sudut rumah ini.
Hari ini, seisi rumah kosong. Doris dan keluarganya pergi untuk berbelanja ke swalayan. Aku tidak bisa ikut pergi dengan mereka. Tentu saja karena sesuatu hal.
Kulihat ke luar jendela. Mukaku agak sedikit panas dan jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Kaget. Ah, siapa dia? Aku belum pernah melihatnya. Sekilas dia berlalu, berjalan seperti sedang limbung. Mataku tak berkedip mengikuti langkahnya. Wajahku kudekatkan di balik jendela ini. Aku ingin mengikutinya. Kuperintahkan badanku berputar mengikutinya. Tentu saja hanya di balik jendela. Kuberjalan dan lari ke jendela berikutnya di ruang samping. Kulanjutkan mengejarnya ke jendela belakang, seolah ingin mengejarnya, namun dia sudah berlalu. Kalau saja bisa mendekatinya, Tapi bagaimana mungkin. Mustahil. Rumah ini istana sekaligus penjara bagiku. Tuhan, entah mengapa aku ingin melihatnya kembali. Besok dan besok..
“Papih! Mamih! Ada apa dengan Bertis?! Badannya lemas dan matanya terus terpejam?! Dia akan matikah?! Aduh, aku takut! Tolong cepat, pih! Kita bawa Bertis ke dokter!” Hentikan Doris. Aku tidak akan mati seperti katamu. Aku hanya lelah saja. Lelah mendengar teriakanmu. Terlebih hatiku seperti kau ombang-ambing. Aku hanya masih memikirkannya. Mengingat dia yang berlalu kemarin siang. Aku sangat sangat tidak mengerti dengan keluarga ini, terlebih Doris. Pernah suatu waktu ibunya mendapati dapurnya kotor, sebuah piring pecah dan peralatan dapur berantakan. Bisa tebak apa yang dia katakan pada ibunya? Ya, dia bilang akulah yang telah melakukannya. Ingin rasanya kucekik saja lehernya. “Sudahlah, Doris. Dia tidak akan apa-apa. Kau lihat dia hanya butuh istirahat. Kau ini jangan membuat kacau rumahlah. Sebentar lagi Paman dan Bibi serta ponakanmu akan kemari. Jangan membuat papihmu ini pusing. Bantu kami beres-beres. Jangan malah berteriak-teriak tak karuan saja kau.” “Apakah Papih tidak kasihan pada Bertis, Pih?!” “Tutup mulut kau dan biarkan dia tidur!” “Ah, benar rupanya, Papih tidak sayang.. kau lihat itu, Bertis, tidak ada yang sayang kepadamu selain aku!” Terserah apa katamu.
Puji Tuhan hari yang kutunggu-tunggu datang. Carla datang ke rumah ini. Aku sangat senang melihat tawanya. Sangat tidak dibuat-buat. “Bertiiis! Ya Ampun aku sangat rindu!” Dia menciumiku, membelaiku, meninabobokanku dan yang paling kusuka dia mengajakku berkejar-kejaran di halaman depan. Thanks God, aku bisa ke luar rumah. Menghirup udara yang ternyata sewangi ini. Udara yang begitu lama aku rindu wanginya. Cahaya matahari yang juga ternyata seindah ini. Terima kasih, Carla. Keluarga ini selalu mengurungku. Mengurungku…
Carla tertidur. Tertidur di rumput di halaman depan. Ibunya langsung menggendongnya. Aku pun mengikutinya. Wanita cantik itu menidurkannya di kasur depan ruang keluarga. Carla terlihat sangat kelelahan. Aku kasihan kepadanya. Kami berkejar-kejaran terlalu lama. Aku mencoba tidur di sampingnya. Tapi… hah? Pintu depan masih terbuka! Ini kesempatan! Aku menyelinap ke luar. Dan beruntung tidak ada yang tahu. Terima kasih sekali lagi Carla…
Aku terengah-engah. Berlari. Cukup jauh juga rupanya. Aku berhenti di sebuah gubuk kecil dekat sebuah pabrik gula yang tidak terpakai. Langit sudah mulai gelap. Ya, aku rindu melihat langit secara langsung. Selama ini aku hanya lewat jendela melihatnya. Tampak gelap, gelap dan semakin gelap. Saat beberapa lama kucoba buka mata. Dan…
Ah, aku tertidur rupanya. Aku menggeliat, mencoba merentangkan tubuhku yang sangat sangat lelah. Aku ingat aku semalam kabur dari rumah Doris. Sedikit lelah, takut dan gemetar. Ini pertama kali aku kabur. Wajar kalau aku shock dan bingung, pikirku. Tapi ini sungguh amazing! Seperti berhasil melepas semua ikatan yang selama ini menjerat tubuh dan membelenggu hatiku. Tak pernah aku pikirkan sebelumnya.
Kakiku seperti menyentuh sesuatu. Kuhentakkan tubuhku dan langsung berdiri. Alangkah terkejut dan sekaligus terpana. Di hadapanku sedang tertidur sesosok yang aku rindukan beberapa hari ini. Perlahan-lahan berputar dan kucoba amati dia. Wangi tubuhnya memang tak sewangi diriku. Badannya kumal seperti tak terawat. Kakinya seperti telah berjalan di atas tanah berlumpur seharian. Tapi, sepertinya aku suka…
—
“Oh my God, Bertis! Kemana saja kau?! Angin apa yang membuat kau keluar dari rumah ini?!” “Sudahlah, kau mandikan saja dia! Hmm.. baunya sangat menjijikkan!” “Baiklah, Bu. Aku harap dia tidak bertemu apalagi bergaul dengan kucing kampung! Aku sudah susah payah membesarkannya. Membayar mahal untuk memilikinya. Aku takut kalau dia akan mempermalukanku di hadapan teman-temanku dengan melahirkan anak dari hasil hubungannya dengan kucing kampung! Uh, menjijikkan.” Mataku menatap kosong. Dalam hati aku menyesal, mengapa aku kembali ke penjara ini? Berhari-hari hingga berbulan-bulan aku seperti kehilangan gairah. Memikirkan kebodohanku. Hingga… “Pih, Bertis aneh! Dia sudah 3 hari ini tidak mau makan!” “Pantas saja dia tidak mau makan, dia sudah gemuk begitu. Lihatlah perutnya!”
Doris selangkah demi selangkah hendak menghampiriku. Mataku menatap langkahnya tajam. Apakah dia akan menyikap bulu lebatku dan memegang perutku? Ini tidak boleh terjadi. Aku tidak bisa membayangkan dia akan menghabisi anakku ketika dia tahu kalau ini adalah hasil hubunganku dengan kucing kampung itu. Kucing kampung si merah tembaga itu… Kukenal Doris adalah gadis yang bisa melakukan apa saja sesuai kehendaknya.
Tanpa pikir panjang sebelum dia sampai dan memegang perutku, aku berbalik ke arah pintu dan berlari. Berlari sekencang-kencangnya. Tak kuhiraukan teriakan Doris. Ku lari semakin kencang. Kencang dan kencang. Sampai aku lupa aku belum makan selama 3 hari. Lupa sampai tidak menghiraukan duri-duri yang menancap di kakiku selama aku lari. Hingga sampai di sebuah gubuk tua di sebelah pabrik gula yang tidak terpakai ini lagi.
Aku sudah tidak tahan. Sakit sekali. Sakit di badanku. Sakit di kakiku. Sakit di perutku. Ku meringkuk dengan menahan sakit malam ini sendirian. Sayup-sayup aku mendengar seperti ada yang datang. Ini pasti malaikat, pikirku. Aku keberatan malaikat akan mencabut nyawaku sekarang. Setidaknya tunggu beberapa saat lagi sampai aku melahirkan anakku. Setelah itu, aku pasti tidak keberatan.
Mataku tidak bisa kubuka. Aku mencium bau anyir darah sekarang. Dekat sekali. Menyengat sekali. Apakah darahku? Perasaan aku belum melahirkan sekarang. Lalu darah siapa? Sesuatu jatuh tepat di sampingku. Kucoba membuka mata, walau sedikit. Hah? Ternyata dia si kucing kampung merah tembaga itu. Kenapa dia? Gemetar tubuhku, kutelan ludah dengan susah payah. Kucoba meraihnya. Kujulurkan lidahku. Kucoba menjilat darah di tubuhnya. Tapi tidak bisa, ini terlalu banyak. Terlalu banyak darah di tubuhnya. Apakah ini perbuatan manusia? Sungguh, ini tidak adil baginya. Dia harus bertaruh nyawa hanya untuk sedikit merasakan makanan masuk ke tenggorokannya.
Tubuhnya kurasakan mulai dingin dan kaku. Manusia memang kejam!
Ku merasa sedikit demi sedikit tubuhku mulai ringan. Ringan dan melayang. Tinggi dan semakin tinggi. Kulihat ke bawah ada dua sosok putih dan merah tembaga diam tak bergerak. Dua sosok yang seolah sedang berpelukan. Ah, bukan dua, tapi tiga! Tiga sosok! Tapi sosok yang ketiga ini berbeda. Sosok berwarna putih kemerah-merahan ini memang berbeda. Dan mulai bergerak!
Jatibarang, 2016
Cerpen Karangan: Wastianingsih Blog: ceritawastia.wordpress.com WASTIANINGSIH. Kelahiran Indramayu, Juni 1987. terlahir sebagai bungsu dari tiga bersaudara. telah menempuh pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan jurusan Bahasa Inggris di Universitas Wiralodra, Indramayu. Beberapa cerpennya bisa juga dilihat di Blog pribadinya di http://ceritawastia.wordpress.com