Musim kemarau melanda sebagian daerah di Indonesia, udara yang panas, tanah kering, tumbuh-tumbuhan pun lesu layu. Kedua pohon palem yang bernama Nam dan Num, mereka tumbuh di samping jalan raya berteriak kehausan. Nam dan Num benar benar merasa malas, sinar panas mentari menyengat kulit yang sangat kering, belum lagi udara asap dari sekian kendaraan yang dengan kesibukan mereka itu berlalu, sehingga Nam dan Num sangat membutuhkan air. Musim kemarau panjang sudah terjadi begitu lama, membuat sekian banyak petani yang merugi dan manusia yang menggunakan air danau untuk kebutuhan hidupnya. Dalam musim kemarau ini tidak hanya Nam dan Num yang merasa tersiksa, begitu juga berjuta-juta tumbuhan di luar sana juga merasakannya. Angin berlari cukup kencang menerpa dedaunan Nam dan Num di siang hari ini, membuat keduanya merasa mengantuk. Namun keadaan jalan di depan begitu ramai, terdengar banyak suara orang-orang di sekitar mereka.
Terlihat seorang perempuan paruh baya mendekat Nam dan Num. Wanita itu duduk dan bersandar di bawah Nam dan Num, ia merasakan angin yang tercampur asap kendaraan. Karena merasa haus wanita ini mengambil air dalam kemasan di dalam tasnya. Ia membuka dan meminumnya. Ini membuat Nam dan Num sangat ingin merasakannya. Setelah itu, wanita itu pergi menjauh dengan meninggalkan minumannya yang masih tersisa setengah botol. Nam yang melihat ingin sekali air itu tumpah mengguyur akarnya.
“Num, tumpahkan air itu ke dalam akarku, aku sangat membutuhkannya.” Nam berkata penuh harap. “Mengapa wanita itu tidak membagi minumannya untuk kita, dia hanya meninggalkan dan menutup rapat botol itu, mana mungkin kita bisa mengambilnya Nam.” Jawab Num “Para manusia itu kejam, mereka hanya berjalan tanpa peduli kepada kami yang hampir mati, bahkan mereka hanya duduk, bersandar dan menyakiti kita Num.” Nam mengeluarkan apa yang ada di pikirannya.
Percakapan mereka terhenti karena teman mereka datang, yaitu si sayap coklat. Dia adalah kupu-kupu dia selalu mengepakan sayapnya dan hinggap di salah satu daun Nam dan Num. “Nam, Num para tanaman padi mati di seberang jalan sana.” Ucap si sayap coklat tergesah-gesah. “Benarkah? Apa mereka kekeringan?.” Tanya Nam khawatir. “Iya, mereka membutuhkan air, tanah sawah itu menjadi sangat keras dan penug garis-garis.” Sambung si sayap coklat menjelaskan. “Lalu apa yang harus kita lakukan? Jujur saja aku juga sangat tersiksa oleh keadaan ini.” Keluh Num. “Kupu-kupu itu ada air, bisakah kau menumpahkan air itu untuk mereka?” Tolong Nam dengan belas kasih. “Apa kau bilang Nam? Untuk mereka? Kita juga sangat membutuhkannya, sayap coklat bukalah botol itu dan tuangkan airnya untukku.” Pinta Num dengan egois. “Sudah diamlah. Aku tidak akan membantu siapapun, lagi pula sayapku terlalu kecil untuk membawanya.” Ucap si sayap coklat menjelaskan, lalu mengepakan sayapnya dan pergi menjauh.
Sejak itu hari berganti menjadi malam, pagi, siang dan sama tak turun hujan. Keadaan menjadi sangat buruk, kini Nam dan Num mulai merunduk. Mereka sangat berharap ribuan rintik hujan turun berjatuhan membasahi tanah dan sekujur tubuh mereka. Harapan mereka tak sia-sia, kini memasuki musim hujan, kali ini hujan terjadi setiap hari, Nam dan Num merasa sangat senang.
“Num, kau tahu, aku sangat suka musi hujan. Ini membuatku tumbuh dengan kekar dan segar daunku berwarna sangat hijau, aku merasa sangat baik.” Ucap Nam gembira. “Ya, begitupun aku. Tapi jika setiap saat hujan datang, ini membuatku kedinginan.” Jawab Num ketus. “Kalian harus lebih bersyukur, kita sudah melewati musim kemarau, dan ini adalah musim hujan, dimana semua tanah subur, aku juga sangat senang melihat petani dengan sangat gembiranya menanam bibit-bibit padi.” Ucap si sayap coklat yang datang tiba-tiba. “Tapi aku lebih suka jika satu hari hujan, satu hari tidak.” Ucap Nam tidak bersyukur. “Kau ini, untung saja kemarin kita tidak mati kekeringan.” Ucap Num menasehati.
Percakapan mereka terhenti karena kini hujan turun begitu deras, debgan angin yang lumayan kencang, dan diiringi suara petir. Membuat Nam dan Num begitu juga si sayap coklat merasa takut. Dan ini membuat si sayap coklat berteduh di antara dedaunan Nam. Tetapi ia tidak bisa bertahan karena angin begitu kencang, tubuh si sayap coklat terbawa angin, ia merasakan begitu sakitnya ribuan tetes air yang jatuh ke sayapnya. Nam dan Num tak bisa berbuat apa-apa. Terasa cukup jauh ia terbawa angin kini si sayap cokalat yelah mendarat di tepi sungai, air hujan pun kini sudah reda. Tubuhnya terasa sangat sakit, bigitu juga sayapnya yang rusak. Si sayap coklat berteriak dalam hatinya agar ada seseorang yang mendengar dan melihatnya, namun hampa sekitarnya begitu hening. Si sayap coklat memjamkan matanya.
“Hi, kupu-kupu! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau terluka?.” Ucap elang kecil. Si sayap coklat hanya terdiam tak mampu menjawab. “Kau kesakitan? Bolehkah aku menolangmu?.” Ucap elang kecil dengan belas kasih. Si sayap coklat hanya mengangukan kepalanya. Tandanya iya. Elang pun membawa si sayap coklat pergi, si sayap coklat ditaruhnya di punggung elang kecil dan menuju suatu tempat untuk mengobatinya.
Setelah kejadian hujan deras itu, Nam dan Num menyesal karena tidak bisa menolong si sayap coklat. Kini sudah 3 hari setelah kejadian itu. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan si sayap coklat. Membuat Nam dan Num merasa kesepian. Mengingat kata-kata terakhir yang mereka dengar dari si sayap coklat, kini mereka tak lagi mengeluh tentang cuaca. Kini Nam dan Num lebih mensyukuri apa yang telah terjadi.
Hari ini hari ke 4 mereka tidak berjumpa dengan si sayap coklat, Nam dan Num hanya melihat kupku-kupu yang melintas di depan mereka, berharap jika itu sahabatnya. Sesekali mereka menyapa para kupu-kupu itu. Tapi mereka begitu sombong, lain dengan si sayap coklat.
Dari kejauhan terlihat seekor gagak kecil yang menuju Nam dan Num. Gagak kecil itu bersama si sayap coklat “Sayap coklat, apakah kau baik-baik saj? Maafkan kita tidak bisa menolongmu, jujur saja kita sangat merindukanmu.” Uvap Nam bahagia. “Aku baik-baik saja, aku juga sangat merinduakan kalian.” Jawab si sayap coklat. “Lalu gagak kecil ini siapa?.” Tanya Num. “Dia adalah gagak yang telah menolongku, dia sangat baik, jika tidak ada dia, mungkin aku tidak ada di sini sekarang.” Ucap si saya coklat. “Terimakasih gagak, kau telah menyelamatkan shabat kami.” Ucap Num. “Iya, aku senang bisa membantu.” Balas gagak kecil tersenyum. Kini mereka bercanda tawa, dan bergembira bersama. Saat air turun mereka tersenyum dan bermain bersama.
Cerpen Karangan: Kiki Alfiani Facebook: Kiki Alfiani