Prolog :
Aku memutuskan kekasihku dan baru tahu kalau ia itu berasal dari keluarga konglomerat.
Videoku yang "matre" juga menjadi topik pencarian terhangat. Sejak saat itu, aku jatuh miskin hingga nyawaku hilang.
Aku reinkarnasi, kembali ke hari dimana aku putus dengannya. Di sebelahnya adalah mobil Maybach yang dibawa temannya untuk membantunya, bahkan juga ada banyak penonton yang mengambil ponsel mengambil fotoku.
Aku buru-buru memikirkan caranya dan langsung menangis kencang di tempat, "Kamu kira aku ingin putus denganmu? Aku sudah mau mati karena penyakit terminal!"
1.
"Mergina! Karena aku nggak bisa menghasilkan uang, kamu mau putus denganku?"
"Kemarin si botak yang makan bersamamu itu bosmu, bukan? Kamu sudah menjalin hubungan dengannya 'kan?"
Suara Bardes semakin tinggi, sehingga tidak sedikit pejalan kaki yang melemparkan pandangan aneh kemari.
Aku mengepal erat tanganku, "Kamu sedang bicara sembarangan apa!"
Pada kehidupan lalu, aku dibuat kesal karena sikapnya, kemudian berteriak,"Benar, aku memang mendapatkan pria kaya, ada apa!", lalu aku menghinanya sepuasku.
Kemudian temannya keluar dari mobil mewah di samping dan mengungkap identitas Tuan Muda kayanya.
Mereka berdua pergi begitu saja, sedangkan eskpresi tercengangku terpampang jelas dalam video-video pejalan kaki dengan sempurna.
Pada akhirnya, video ini menjadi pencarian terhangat. Namaku langsung jatuh buruk, perusahaan memecatku, dan aku juga tidak bisa hidup lagi dalam kalangan tersebut, bahkan mencari pekerjaan biasa saja, juga akan diketawai lama.
Aku baru memutuskan untuk bangkit kembali, namun malah mati karena sebuah kecelakaan.
Kemudian, aku reinkarnasi kembali ke hari dimana takdir diubah...
Melihatku masih belum bereaksi sama sekali, Bardes mengeluarkan setumpuk foto dari kantong jasnya, lalu melemparnya pada wajahku.
"Kamu ingin mengelak apa lagi? Apakah bukti-bukti ini tidak cukup?"
Bukti yang dimaksudnya adalah foto dimana aku yang makan bersama rekan kerjaku dan bosku pada dua hari lalu.
Aku seketika merasa sangat kesal dan berusaha menahan diri untuk menamparnya, namun tidak sengaja melirik iklan kecil suatu rumah sakit tumor di seberang sana.
Aku mencubit kerasa tubuhku, dan berjongkok menangis kencang.
"Kamu kira aku ingin putus denganmu? Kamu tahu betapa sulitnya aku memutuskan untuk mengatakan putus denganmu?!"
"Aku sudah mau mati! Bahkan tidak ada satupun orang menanyaiku, dan kamu malah menghinaku!"
Kali ini giliran Bardes yang terkejut.
"Kamu bilang apa? Kamu kenapa? Jangan nangis saja!"
Bardes berjongkok ke dekatku dan buru-buru mengelap air mataku dengan lengan pakaiannya.
Aku mendorongnya pergi, lalu berdiri.
"Pergi! Pergi sana! Bukankah kamu membenciku? Beberapa waktu lagi, kamu juga tidak akan menemuiku lagi!"
"Dasar Bardes! Dasar tidak berhati! Kamu selalu tidak kerja, jadi aku yang membayar semua biaya hidup dan biaya sewa. Uang untuk beli obatku saja tidak cukup, bahkan masih memikirkan untuk membeli hadiahmu, lalu lihat bagaimana kamu memperlakukan aku?"
Aku sambil menghinanya, sambil mengambil tas memukul tubuhnya.
Pria yang duduk di atas Maybach hitam itu pun turun mobil.
Bardes mengenggam kedua tanganku dengan nada bicara cemas, "Kamu sakit apa, setidaknya beritahu aku! Aku bantu mengeluarkan biaya pengobatanmu!"
Aku menendangnya, "Biaya pengobatan ketekmu, apakah kamu mampu mengeluarkan biaya pengobatan sebanyak ratusan juta?"
Teman Bardes menepuk pundaknya dan tersenyum berkata, "Tuan Muda dari Neo Bardes Group, menurutmu, ia mampu nggak?"
Aku melotot besar dan berusaha memasang ekspresi terkejut, tidak percaya sama sekali.
"Neo Bardes Group? Ia?"
Bardes mengangguk dan memelukku erat dalam dekapannya, "Maaf, Mergina. Aku yang menutupinya darimu."
"Aku sangat takut kamu nggak benar-benar mencintaiku, dan menjalin hubungan denganku hanya karena uang saja, jadi aku menutupi identitasku."
"Kamu nggak usah khawatir, aku akan mencari dokter terbaik untukmu, aku nggak akan membiarkanmu mati."
Teman di sebelahnya terbatuk kering, dan Bardes semakin erat memelukku.
"Dasar penipu!"
Aku berusaha memberontak, dan terus menghantam pundak Bardes, namun ia tidak meringis sama sekali.
Dirasa air mataku sudah cukup mengalir, aku mengelap mataku dan terus mendorongnya ke luar.
"Kalau kamu begitu mencurigaiku, sepertinya kita nggak perlu bersama juga. Dari hari ini, kita nggak ada hubungan lagi, aku nggak mau uangmu, kamu juga jangan cari aku lagi, bye."
Karena segala ini tidak ada mulanya, jadi aku hanya ingin menghindarinya sejauh mungkin, dan menjalani hidupku saja.
"Mergina! Mergina!"
Teriakannya makin kencang, lariku juga makin cepat.
2.
Keesokan harinya, aku sengaja datang telat ke kantor, tapi malah masih ditemui Bardes.
"Mergina, aku yang salah, aku nggak seharusnya nggak percayamu."
Aku menyindirnya berkata, "Yo, bukankah ini Tuan Bardes? Mana mungkin wanita matre seperti diriku boleh menerima kata maaf Anda?"
"Jangan marah-marah lagi sama aku, boleh? Ikut aku ke rumah sakit, kita obati penyakitmu dulu."
Aku menyingkirkan tangannya yang mengulur kemari, "Kamu yang sakit, kamu obati sendiri saja. Jangan ganggu aku!"
Ia terus meminta maaf kepadaku, tapi aku terus memasang wajah dingin tidak menghiraukannya, tapi ia malah menjadi semakin rajin memperlakukanku baik.
Bantu mengambil tasku, mengambilku air minum, bahkan siang tadi juga mentraktir makan siangku dengan rekan kerja.
Aku tersenyum dingin memandangnya.
Pada kehidupan lalu, waktu kehidupanku sangat terdampak dan pergi mencari bantuannya, bagaimana dengan sikapnya dan tunangannya? Mempermalukan, menyindir dan menindasku.
Sekarang aku tidak menghiraukannya, ia malah terus mencariku dan berbuat baik!
Ada seorang rekan kerja yang datang mengambil sekotak salad tersenyum ke arahku, "Kak Mergina, makanan toko ini mahal sekali. Kali ini maaf buat kekasihmu mengeluarkan begitu banyak uang, aku jadi kurang enak!"
"Aku beritahu dulu, ia itu hanya mantan kekasih saja." Aku buru-buru menjelaskannya dengan tegas, lalu tersenyum berujar, "Nggak usah merasa nggak enak, ia sendiri yang mau bayar begitu banyak. Kata orang-orang, ambil saja keuntungan dari bajingan, kalian semua jangan sungkan dengannya!"
Lalu seorang rekan kerja yang berhubungan baik denganku berjalan ke sampingku.
Ia pelan-pelan menanyaiku, "Apakah ia menang loteri atau otaknya mendadak rusak? Bukankah biasanya sangat pelit?"
Aku baru saja mau membalasnya, Dea manajerku tiba-tiba muncul di ruang make up kita.
"Lyna, bisnis iklan minggu depan sudah jadi, besok tim kalian pergi."
Anggota-anggota timnya bertepuk tangan heboh, sedangkan kita sini cemberut dan bertepuk tangan pelan memberikannya ucapan selamat.
Prak--
Aku menggebrak kotak fondasi ke atas meja dan menghentak kaki, memutar kursi memandangnya.
"Kak Dea, bisnis kali ini diproses dengan pemilihan, dan tim kita yang menang, mengapa sekarang giliran mereka yang pergi?"
"Ini adalah keputusan atasan, aku juga nggak berdaya, lagi pula tim kalian lebih banyak orang baru, nggak seperti tim Lyna yang banyak pengalaman, kalian lain kali lebih berusaha lagi saja."
Aku tertawa dingin berkata, "Kamu nggak berdaya? Memangnya bukan karena Lyna mereka memberimu beberapa kosmetik berkelas, jadi kamu memilihnya sendiri?"
"Kamu--" Kak Dea menunjuk hidungku memaki, "Kamu jangan bicara sembarangan! Kamu sendiri nggak bisa mengalahkannya, malah marah-marah padaku? Kalau nggak ada kemampuan itu, nggak usah sok hebat di sini!"
Rekan kerja menarik bajuku, memberi kode untuk jangan bicara lagi.
Bardes menanyaiku, "Tadi kamu bilang kosmetik pemberian orang lain? Kosmetik apa?"
Aku meliriknya sekilas dan tidak menghiraukannya.
Bardes tersenyum berkata kepada Dea, "Woi, orang lain kasih kamu berapa set kosmetik, aku kasih kamu dua kali lipatnya, bagaimana?"
"Kamu?" Dea memandangnya atas bawah, lalu memandangku.
"Jangan bawa orang yang nggak bersangkutan masuk kantor, please? Kita sini meminjam pakaian dari banyak brand, kalau ada barang yang hilang, image perusahaan kita jadi buruk."
Bardes terkekeh dingin, lalu menghubungi sebuah nomor, "Melson, sekarang kamu pergi ke supermarket terdekat dan bawah puluhan set kosmetik kemari."
Semua orang terdiam dan saling berpandang, kemudian mendengarnya berkata lagi.
"Nggak tahu, yang penting mahal, kamu lihat saja nanti."
Kak Dea terkekeh, "Kalau nggak ada uang, sebaiknya jangan sok kaya!"
"Kak Dea!"
Sebelah ada seseorang yang meneriakinya pelan, lalu menyerahkan ponsel kepadanya.
Setelah melirik ponsel beberapa kali, raut wajah Kak Dea langsung berubah.
3.
"Nggak mungkin 'kan..."
Ia mengerut alis, suaranya terdengar lebih kecil dan kurang yakin.
"Bagaimana nggak mungkin, mereka tampak sama persis!"
"Sungguh! Kekasih Mergina itu putra dari Dirut Neo Bardes Group? Mengapa ia nggak pernah bercerita dengan kita?"
Aku menoleh balik dan lanjut dandan. Bardes berjongkok di dekatku dan menjilat berkata.
"Perusahaanmu memandang orang beda, lebih baik jangan bekerja di sini lagi. Ke Neo Bardes saja, kamu boleh memilih jabatan sebebasmu."
Aku berdehem dingin, "Lamar orang begitu sembarangan? Sepertinya bukan kantor resmi, aku nggak mau pergi."
Di sekitar terus ada orang yang saling berbisikan, tapi nggak ada satu orang pun yang berani menanya.
Dua puluh menit kemudian, Melson asistennya sudah tiba, sembaro membawa setumpuk kotak hadiah mewah di depan orang-orang.
Bardes menyuruhnya memberikan kepada Dea.
Ia tertawa bertanya, "Pilihan tim bisnis iklan..."
"Kasih tim Mergina!" Kak Dea tersenyum dengan sangat cerah dan menerima semuanya kesulitan, "Kita semua melihat jelas usaha Mergina, mau orang baru pun, kita juga harus beri banyak kesempatan!"
Raut jijik pada wajah Bardes terpampang jelas. Ia menempel di samping telinga Melson berbisik pelan. Melson mengangguk, lalu berbalik badan pergi.
Kak Dea awalnya masih ingin menempel kemari berbincang sebentar, namun Bardes tidak peduli sama sekali, jadi ia hanya bisa diam-diam meninggalkan ruang make up.
Sore itu, aku baru saja selesai mengambil foto 1 set, kemudian pun ada orang yang buru-buru berlari kemari, katanya Kak Dea (manajer) sudah dipecat, bahkan waktu pergi saja, ia masih memeluk setumpuk kosmetik.
Aku langsung memandang Bardes. Bajingan yang memakai uang menindas orang, bukanlah orang baik. Aku senang sekali melihat orang jahat saling bergigitan.
Beberapa hari selanjutnya, ia terus melengket padaku.
Aku yang tidak inisiatif, tidak menolak, tidak bertanggung jawab pun juga sudah dibuat kesal karenanya yang terus mengikuti.
"Aku sudah bilang putus ke kamu, nggak peduli apa statusmu, harap jangan menempelku lagi, aku akan lapor polisi."
Aku berjalan cepat ke depan, kemudian tidak sengaja menabrak seseorang, bahkan juga membuat tas kerjanya jatuh.
"Maaf, aku nggak sengaja!"
Aku mengangkat tas kerja itu. Setelah melihat wajahnya, aku tertegun sesaat.
Mata pria ini sangat tajam dengan rahangnya yang terbentuk, hidung yang mancung dan juga bibir yang tipis, sehingga tampaknya ia sangat sulit didekati.
Aku bukan tertegun karena ketampanannya, melainkan aku ingat orang ini pernah berbuat kebaikan kepadaku.
"Mergina! Jangan bertengkar lagi denganku, mari kita baikan!"
Bardes mengejar lagi.
Melihat pria itu mau pergi setelah menerima tas kerja, aku tiba-tiba memperkuat tenagaku, ia pun memandangku kebingungan.
Aku langsung memberanikan diri dan menggandeng lengannya, lalu memandang Bardes.
"Sebelumnya aku belum beritahu kamu, kalau aku sudah kasih tahu kamu, jadi kamu boleh berhenti."
Selesai berkata, aku juga bersandar pada tubuh orang itu dan berbisik pelan, "Teman, help, bantu aku lepaskan pria ini."
Bardes mengerut alis dan tertawa berkata, "Lanjut bohong saja, aku nggak pernah ketemu orang ini beberapa hari ini. Mengapa hari ini ia mendadak muncul dan bisa menjadi kekasihmu?"
"Karena dua hari kemarin aku ke luar kota kerja, nggak ada di sini, ada masalah apa kamu?"
Suara pria itu sangat merdu dan terasa sedikit berat, hatiku pun mendadak muncul rasa aman.
4
"Aku punya satu pertanyaan." Bardes berkata sambil tersenyum, "Bahan jasmu ini kaku dan potongannya tampak kasar. Harganya tidak mungkin ratusan dolar, 'kan?"
Dia berbicara semakin keras: "Jika kamu tidak bisa membeli setelan jas yang cocok, tanya saja padaku. Aku bisa merekomendasikan atau bahkan meminjamkannya untukmu agar tidak terlalu norak."
Aku tampak marah dan ingin mengutuknya :
"Berapa banyak uang yang kamu miliki? Apa kamu menghasilkan uangmu sendiri? Bukannya semua itu harta orang tuamu! Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan? Berhenti membual sudah menghasilkan banyak uang. Kamu bilang ingin menghasilkan banyak uang, tapi kamu menganggur! Kamu bahkan tidak mau membantu membereskan rumah. Dulu aku bersamamu karena penampilanmu. Tapi tidak untuk saat ini."
"Apa yang salah dengan orang yang tidak punya uang? Mereka lebih peduli darimu, lebih kompetitif darimu, dan lebih tampan darimu. Jadi aku mencampakkanmu dan tetap bersamanya, apa itu aneh!"
Aku memukul hidung Bardes cukup keras.
Banyak orang berada di lobby perusahaan, dia tidak membalas dan hanya menahan malu. Sambil tersipu dia berkata, "Tunggu aku—". Dia pun berlari dengan tergesa-gesa.
“Dia sudah pergi.” Orang di sebelahku menjelaskan padaku.
"Huh." Aku menghela nafas panjang lega dan tersenyum padanya, "Terima kasih."
"Jadi, berapa lama kamu akan seperti ini?"
Dia melirik lengannya, di mana tanganku masih di atasnya. Aku segera menarik tanganku dan tersenyum malu.
Dia mengabaikanku, berbalik dan pergi.
Mau tak mau dalam hati aku mengutuk, Qoes, dia benar-benar... Selalu serius dan acuh seperti biasanya.
Beberapa ratus meter dari perusahaan, aku berada beberapa ratus meter dari MRT, hingga sebuah suara menghentikanku.
"Benar saja, kamu mengajaknya untuk berakting dan membohongiku."
Bardes lagi, dia seperti hantu yang muncul di mana-mana.
"Bisakah kamu--"
Sebelum kalimatku selesai, sebuah mobil berhenti di belakang mobil Bardes. Jendelanya terbuka tampak wajah dingin seperti es milik Qoes.
"Meetingnya dibatalkan, masuk ke mobil, ayo pulang"
"Ah?" Aku tidak bereaksi untuk beberapa saat, dan dengan tergagap aku berkata "Oh, oke, oke, aku naik."
Qoes tidak banyak bicara. Suasana sunyi dan terasa canggung.
Aku melihat wajahnya dari samping, tapi diriku pun juga tak tahu harus berkata apa. Aku ingat situasi ketika aku bertemu dengan dirinya dikehidupan sebelumnya.
Dalam kehidupanku sebelumnya, setelah karirku dihancurkan oleh Bardes. Aku selalu dalam masalah, dia bahkan sengaja muncul di perusahaan dan memberitahu bos tentang perselingkuhanku. Hingga aku kehilangan pekerjaan.
Kemudian Qoes keluar ke mal dan sibuk dengan Neo Bardes. Sehingga dia tidak punya waktu untukku.
Opini publik memudar, dan aku kembali ke industri modelling. Aku banyak melakukan pekerjaan di luar kota, menjadi terkenal, dan bahkan mendapat kesempatan untuk bekerja sama dengan Qoes.
Bardes muncul, dan dia berkata: "Pak Qoes, gunakan dia untuk syuting iklan, dan berhati-hatilah karena produk baru yang kamu kembangkan pasti akan muncul di mana-mana."
Dalam hati aku meragu, dan siap untuk mundur.
Qoes menatap diriku untuk waktu yang lama, dia berkata:
"Aku pikir orang yang bangkit kembali setelah jatuh akan lebih memiliki tujuan. Tapi, karena kamu ingin mundur aku tak akan memaksamu lagi."
Aku menyalakan kembali harapan yang sempat hilang, dan dengan tegas berkata: "Tidak, aku tidak akan mundur."
Di lokasi syuting iklan, aku melihat Qoes menatap kamera sepanjang waktu. Senyuman tampak dari wajahnya, dan sepertinya aku tidak mengecewakannya.
Tapi aku tidak tahu seberapa besar efek dari iklan itu karena aku mengalami kecelakaan hari itu.
"Apa kamu sudah puas memandangiku?"
Suara Qoes yang dingin dan magnetis membawaku kembali ke dunia nyata. Ternyata dari tadi aku terus menatapnya, dan tiba-tiba wajahku menjadi panas.
5
“Pak Qoes boleh turukan aku di stasiun MRT depan ya.”
Dia bahkan tidak menatapku, dan menginjak pedal gas lagi: "Turun di sini biar dia bisa menganggumu lagi?"
Aku hanya melihat ke kaca spion dan mobil Bardes masih mengikuti kami di belakang, tekadnya sungguh bulat.
Tentu saja mobil Qoes tidak bisa melaju lebih kencang darinya.
Setengah jam kemudian, di depan sebuah gedung tua, Qoes menghentikan mobilnya.
Dia keluar dari mobil dan menghampiriku, mengulurkan tangannya padaku: "Turun."
Aku tidak tahu kenapa, jadi kubiarkan dia membawaku menaiki tangga dan masuk ke salah satu ruangan.
Ruangannya tidak besar, ada beberapa komputer di dalamnya, terlihat seperti studio. Ada pot di sebelah dispenser air, dan tempat tidur lipat di sebelahnya.
Aku menebak dan bertanya padanya, "Kamu tinggal di sini sekarang?"
“Ya, nyaman dan hemat.” Jawabnya singkat, lalu tiba-tiba bertanya padaku, “Bagaimana kamu tahu namaku?”
Saat itulah aku sadar telah mengungkapkan rahasiaku. "Ah, itu karena aku melihat kartu namamu di dalam mobil tadi, iya benar," begitulah dalihku.
Tidak ada ekspresi di wajahnya, dan dia tidak bertanya lagi.
Kami memesan delivery food, dan menonton variety show sambil makan. Qoes sibuk dengan komputernya, mengotak-atik data yang tidak aku mengerti.
Dari jendela aku melihat Bardes pergi, tapi mobil lain masuk dan terus mengikutinya.
Hari sudah larut, dan Qoes menyuruhku tidur di ranjang lipatnya. Tapi, aku belum ingin istirahat.
Aku bertanya padanya, "Di mana kamu akan tidur?"
Dia menunjuk ke kursi: "Dua kursi ini bisa dijadikan tempat tidur."
Aku memutar arah badanku, dan tidak bisa tidur.
Akhirnya dia mematikan komputernya, dan tidur.
Ketakutanku muncul, aku memfitnahnya akan berbuat sesuatu padaku saat tidur.
Melihat ponselnya masih menyala, tiba-tiba aku mengatakan sesuatu entah dari mana:
"Qoes, berkejasamalah denganku."
Dia tidak berbicara untuk waktu yang lama sampai layar ponsel mati.
Ketika aku pikir dia tidak akan menjawab, dia menjawab, "Menggunakanku untuk menjauhkan mantan pacarmu, begitu?"
Lebih dari itu, aku pun memeluk pahaku.
Aku menggosok rambutku: "Jika kamu tidak menyukainya, aku akan berhenti di sini."
Dia menyalakan layar lagi, dan nadanya tampak sedikit lebih dingin: "Tapi kamu sudah mengatakannya, dan sudah terlambat untuk menarik kata-katamu kembali."
Aku tergagap: "Jadi, jadi, apa kamu akan tidur di sini?"
Tersentak--
Ponselnya jatuh, dan dia mengambilnya diam-diam, dan pada akhirnya dia tidak benar-benar mendatangiku.
"Aku akan bangun jam empat pagi, jadi tidurlah."
6
Ketika aku bangun keesokan paginya, Qoes sudah pergi.
Sebuah catatan sengaja dia tempelkan di dispenser dengan tulisan yang berantakan : "Restoran lantai dua rasanya enak sekali, sarapanlah di sana!"
Aku tersenyum sambil memasukan catatan itu ke dalam tasku, dan bersiap berangkat ke kantor.
Bardes tak muncul lagi sejak berhari-hari.
Tapi, ada orang lain yang datang untuk membuat keributan.
Orang itu adalah calon tunangan Bardes, menantu yang diimpikan oleh orang tua Bardes karena bibit bebet bobotnya.
Amarah tampak di wajah cantiknya, dan tangannya mengangkat daguku, "Apa kamu minum dengannya tadi malam? Bukankah sudah putus, kenapa masih mengganggunya?"