Di hari Valentine, kakakku berhasil melamar Elisa.
Semua orang sangat bahagia.
Kecuali aku.
Malam itu, aku bermimpi Elisa menamparku lagi di toilet...
Papa, kakak, dan semua kerabat hanya menatapku dingin, tidak ada yang berdiri di sampingku.
Keringat dingin mengalir deras dari tubuhku, pusing, mual, dan suara-suara bising membanjiri pikiranku.
Elisa, kali ini, aku tidak akan membiarkanmu menyakitiku lagi!
01
Begitu kakak membawa Elisa masuk ke dalam rumah, jantungku berdetak lebih kencang, reflek aku ingin melarikan diri. Hatiku berkata : Kenapa aku harus takut? Dia tidak mungkin akan berani merundungku!
Elisa mendongak dan melihatku. Dia tidak panik atau bahkan terkejut seperti yang kubayangkan. Dia hanya melirik, dan segera memalingkan wajahnya. Ketika kami berpapasan, dia mengangguk padaku seolah ini pertemuan pertama kami.
Dia pura-pura tidak mengenalku? Ternyata benar ada orang yang tidak pernah merasa bersalah walaupun melakukan kejahatan begitu keji.
Pada akhirnya aku membeku di tempat. Hadiah di tanganku masih belum kuberikan padanya. Bagaimana bisa itu dia? Bagaimana mungkin itu dia?
Semua kenangan buruk di masa lalu kembali membanjiri pikiranku. Disiram, dihina, dikucilkan, kepalaku ditekan, dipaksa makan tutup spidol, dikunci di toilet, dan ditampar... Satu demi satu kenangan itu membuat perutku mual, dan aku hampir saja muntah.
Sudah sepuluh tahun berlalu, dan kukira aku sudah sembuh. Tapi begitu melihat Elisa lagi, luka lama itu terbuka kembali. Ternyata aku tak akan pernah sembuh.
Perasaan dibenci tanpa alasan, diperlakukan dengan kasar, setiap hari takut jika dipukuli karena melakukan sesuatu kesalahan. Semua perasaan ini mengikutiku seperti bayangan, dan akan muncul sewaktu-waktu seperti pengingat bahwa diriku ini tidak berharga.
Kesadaran mengambil alih, dan aku terus mengingatkan bahwa semua itu hanyalah masa lalu. Hanyalah di masa lalu... Aku mencoba menata kembali mentalku.
Hari ini kakak membawa calon menantu perempuan untuk bertemu dengan orang tuaku. Semua kerabat keluarga datang. Mereka berkerumun di sekitar sepasang kekasih itu. Ada yang hanya duduk, ada juga yang menyajikan teh dan air. Mereka saling menyapa dengan sopan.
Elisa, wanita yang pandai dalam berbagai hal. Keluarga kami terdiri dari banyak orang, dan hubungan antar kerabat cukup rumit. Kakakku membawanya untuk dikenalkan pada mereka.
Dia menyiapkan hadiah yang besar untuk semua orang. Dari hadiah itu tampak dia tidak hanya murah hati, tapi juga memikirkan matang-matang apa yang harus diberikan pada keluarga kami. Lukisan dari pelukis terkenal untuk ayah, sepaket skin care untuk saudara sepupu, sepaket merchandise idol untuk sepupu lainnya... Semua hadiah ini benar-benar bisa memenangkan hati banyak orang. Luar biasa.
Ini pertama kalinya kakak membawa pulang pacarnya ke rumah. Ayah tidak hanya puas padanya, tapi kerabat keluarga pun juga menganggapnya begitu. Penampilan, latar belakang pendidikan, keluarga semuanya baik. Semua orang tidak henti-henti memujinya.
Melihatku tetap memasang wajah dingin dan tidak berbicara, kakakku menyodokku dengan sikunya, "Kenapa, kamu tidak suka pacar kakakmu?"
"Tidak suka."
Perkataanku yang terlalu jujur mengejutkan saudara ipar, dan dia mencairkan suasana dengan leluconnya.
"Tidak apa-apa, awalnya aku tidak suka dengan ibu. Tapi setelah bergaul dengannya, aku mulai terbiasa."
"Aku... Tidak. Lupakan saja, aku sedang tidak enak badan hari ini."
Kata-kata itu tidak kulanjutkan. Mereka pikir saat ini aku kekanak-kanakan, tapi mereka tidak tahu bahwa aku dipaksa menerima untuk menjadi dewasa di usia itu.
Sebelum makan malam dimulai, aku menarik kakakku dan bertanya padanya sudah berapa lama mereka bersama.
Kakakku sangat terkejut, "Kenapa kamu tiba-tiba tanya hal ini? Calon kakak iparmu cantik sekali, 'kan?"
Dengan ragu-ragu aku berkata bahwa mereka tidak cocok, dan menyarankan kakakku untuk memikirkannya lagi keputusannya.
Tanpa diduga, kakak menatapku dengan tatapan aneh: "Belvi, kamu ini ngomong apa sih? Hentikan amarah dan sikap kekanak-kanakanmu ini. Tidak semua orang di keluarga harus mematuhimu, dan jangan egois!"
Aku tak bisa menyangkalnya. Kalimat itu tersangkut di tenggorokan. Kakak tidak tahu orang seperti apa Elisa, apa yang dia lakukan padaku, dan mengapa aku bersikap seperti ini.
Ini pertama kalinya kakak membentakku karena seorang wanita, dan wanita itu adalah Elisa.
Saat kami masih mengobrol, acara makan malam hampir dimulai dan beberapa orang sedang menunggu.
Elisa datang membawa teh, dia tersenyum puas, dan kakakku melindunginya dengan erat. "Ini adikku Belvi, yang seumuran denganmu. Di keluarga kami, anak laki-laki mengambil nama ayah, dan anak perempuan mengambil nama ibu."
"Oh aku mengerti."
Elisa mengerucutkan bibirnya dan tersenyum.
Tanpa orang lain sadar, tangannya mengulurkan segelas tes, tapi aku tidak menyadarinya. Ketika aku ingin mengambilnya, tangannya telah terlepas, dan gelas itu pecah. Dia segera menarik tangannya dengan "desisan". Ekspresi wajahnya seperti kesakitan.
“Kenapa kamu begitu ceroboh...” Kakakku sibuk merawat kekasihnya, dan meminta bibi untuk mengopres tangan dengan handuk dingin.
Ayah melontarkan kalimat dari kejauhan, "Belvi, kamu kaku sekali di depan banyak orang, lain kali harus lebih banyak belajar!"
Para bibi menenangkanku, "Tidak apa-apa, tidak apa-apa, jangan bingung, cepat duduk."
Kucengkram punggung tanganku tanpa mengatakan sepatah kata apa pun.
Benar saja, anak kecil yang menangis punya sebotol susu untuk menenangkannya.
Aku benar-benar tidak bisa melanjutkan makan malam ini. Jadi aku punya alasan yang lebih masuk akal untuk tidak berada di sini. Jika aku tinggal lebih lama lagi, aku takut emosiku akan meledak.
02
Setelah orang rumah menemui Elisa, mereka merasa Elisa masih cukup pantas untuk menjadi menantu keluarga mereka.
Kakakku sudah berusia 30 tahun, semua orang berharap dia segera menikah dan membangun keluarga, memberikan keturunan untuk mereka.
Hari ini di meja makan, Ayah menceritakan anak kakak sepupu laki-laki yang sudah mau berusia satu tahun, dan dia menyuruh kakak cepat melahirkan cucu untuknya.
Kakakku juga memiliki maksud yang sama. Dia membawa Elisa pulang untuk menemui keluarganya. Jika keluarganya puas, maka selanjutnya tinggal persiapkan masalah pernikahan saja.
Beberapa tahun lalu, Ibuku meninggal karena sakit. Adat istiadat pernikahan di tempat kami sangat rumit, Ayah berencana meminta bantuan saudara untuk mengurusnya.
Kakak nampak bolak-balik, tampak ingin sekali membawa Elisa ke rumah.
"Belvi, nanti kamu harus bantu Kakakmu mengurus pernikahan, melakukan apa yang harus dilakukan seorang adik perempuan." Ayahku mengetuk meja melihat aku bengong.
"Ayah, Kakak masih belum terlalu kenal dengan orangnya, dan tiba-tiba menikah begitu saja, apakah itu benar-benar baik?"
Aku baru saja selesai berkata, Kakakku pun langsung merasa tidak senang. Sejak pertemuan orang tua kedua keluarga, dia selalu merasa diriku memandang buruk Elisa, dan sengaja ingin menggagalkan pernikahan mereka.
"Bukan aku yang memandangnya buruk, tapi...kita tidak tahu bagaimana dengan isi hatinya, bahkan ada beberapa orang yang pandai berakting."
"Kamu bilang aku kurang kenal, kalau begitu kamu seberapa kenal dengannya. Kalian baru saja bertemu sekali, kamu pun sudah begitu memusuhinya. Belvi, Kakak sangat kecewa kepadamu."
"Aku tidak seperti itu! Hanya saja...dia benar-benar..." Aku dibuat kehabisan kata-kata, tapi saat ini aku sungguh tidak tahu harus mulai dari mana, mulai dari diriku yang depresi setelah ditindas atau dari diriku yang diasingkan di sekolah...
Melihat diriku dan Kakakku sudah mau bertengkar, Ayahku langsung memasang wajah serius mengetuk meja, "Berantem apa kalian! Jangan bicara semua, makan!"
Kata-kata Kakak bagai pisau yang menusuk hatiku, disalahpahami oleh orang terdekat bahkan disalahkan, rasa ini jauh lebih sakit daripada menerima 10 kali tamparan.
Aku merasa sangat kesal, jadi hanya bisa mencurahkannya kepada kawanku Sally. Dia adalah salah satu dari sekian banyak temanku yang mengetahui masa laluku.
Sally adalah wanita yang sangat langsung dan bisa membedakan cinta dan benci. Saat dia mengetahui Elisa menjadi kekasih Kakakku dan memasuki rumahku dengan santai tanpa rasa menyesal sama sekali, dia pun langsung marah-marah dan mau pergi mencarinya.
Aku tersenyum menahannya, dan memberitahunya bahwa sekarang adalah zaman peradaban, orang beradab tidak akan memukul orang.
Meski aku tahu tindakannya ini agak berlebihan, tapi rasa dipercayai dengan tulus dan dilindungi ini sungguh enak. Sebenarnya yang membuatku sedih adalah sikap Kakakku.
Sally mengetahui masalahku dan bertanya, "Kalau begitu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
Harus bagaimana? Bahkan masalah ini sudah berlalu 10 tahun, tapi aku masih tidak bisa melupakannya. Mau aku tinggal serumah dengan Elisa, aku tidak bisa melakukannya, tapi Kakakku adalah satu-satunya Kakakku. Bagaimana aku harus menghadapinya?
"Kalau aku tahu kekasihku menindas adik-adikku, aku akan langsung menendangnya dan mengusirnya pergi."
Sally membujukku untuk memberitahu kenyataannya kepada keluarga. Mereka adalah orang terdekatku, mereka pasti akan memikirkan perasaannya dan membuat keputusan yang baik untukku.
Saat itu, hanya Ibuku saja yang mengetahui hal ini. Ayah bertahun-tahun menjalani bisnis di luar dan Kakak juga kuliah di luar. Ibu lah yang menemaniku ke sekolah mencari kepala sekolah, menemaniku mengobati penyakitku, dan akhirnya juga membantuku pindah sekolah tanpa peduli segalanya...
Aku memeluk Sally pelan, "Andai Ibuku masih ada, pasti tidak ada orang yang berani menindasku seperti ini."
"Jangan takut, kamu masih ada Ayah, Kakak dan aku."
03
Malam berikutnya, aku memasak untuk kakak laki-lakiku dan berniat mengatakan padanya tentang masalah Elisa. Melihatku berdiri di depan pintu, kakak memanggilku untuk mendekat dan berkata bahwa dia sedang mencari aku.
Aku membuat nasi goreng telur sosis, resep yang pernah ibu ajarkan ke aku, sangat cocok untuk perut yang lapar tengah malam.
"Nasi goreng ini sangat enak, punya cita rasa Ibu. Belvi sudah besar sekarang, sudah tahu bersimpati kepada orang lain." Kakak memuji sambil menikmati pangsit kecil.
"Kak, ingat tidak waktu aku di sekolah menengah dan ibu selalu memindahkanku ke sekolah lain?"
Kakak mengangguk.
"Apakah kamu tahu sebabnya?"
Kakak menggeleng keheranan.
"Karena aku tidak bisa bertahan lagi di sekolah. Setiap hari aku dihina, disiram air, dipukul. Pada akhirnya, aku jadi makan berlebihan, kehilangan minat belajar dan bahkan depresi. Orang yang mendalangi itu semua adalah Elisa."
Sudah 10 tahun, aku pikir aku bisa mengatakannya dengan tenang, tetapi rasa malu dan sakitnya masih terukir jelas di hatiku. Pada akhirnya, aku hampir menangis saat aku berbicara terputus-putus tentang apa yang Elisa lakukan padaku.
Kakakku mengerutkan kening dan mendengarkan, diam cukup lama sebelum akhirnya berbicara.
"Aku tidak menyangka...kamu masih merasa seperti ini. Sebenarnya, ketika Elisa pulang, dia mengatakannya padaku. Dia menyesal atas ketidakdewasaannya waktu kecil dan menyakitimu dalam konflik para gadis. Dia merasa bersalah selama ini dan memintaku minta maaf atas namanya. Kita harus melihat ke depan dan melupakan masa lalu."
Penyesalan? Permintaan maaf? Melepaskan masa lalu dengan mudah?
Mengapa orang bisa dengan mudah mengatakan "memaafkan" ketika berkaitan dengan rasa sakit orang lain?
"Kak, aku tidak mengatakan ini hari ini untuk memaksa kamu putus dengannya. Tetapi mari kita bertukar posisi. Bagaimana perasaanmu jika aku membawa seseorang yang pernah melukaimu?"
"Belvi, mengapa kamu begitu keras kepala dan mempertahankan kesalahan? Dia sudah minta maaf!"
"Minta maaf? Kalau minta maaf cukup, mengapa kita masih perlu polisi? Hah! Seharusnya dulu aku melaporkannya dan membiarkannya dipenjara!"
"Belvi, sudah cukup. Ini hanya pertengkaran antar teman sekelas. Semua orang pernah mengalami hal seperti ini. Ketika aku kecil, aku sering berkelahi dengan Santono, tapi sekarang kita bahkan berbisnis bersama."
"Tapi ini benar-benar berbeda!"
"Bagaimana ini berbeda? Jangan terlalu sensitif, ok? Bisa jadi Elisa benar tentangmu, bahwa kamu terlalu manja?"
"Apa?" Aku merasa marah dan ingin tertawa. Apa yang Elisa katakan kepada kakakku sehingga dia dengan penuh keyakinan percaya bahwa aku ingin mendapatkan perhatian, bertingkah manja, seperti musuh alami bagi seorang menantu perempuan.
Sungguh suatu serangan yang mendahului, pembelokan yang luar biasa, dan gangguan hebat pada aturan!
"Belvi, bahkan jika aku menikah, kamu tetap akan menjadi adikku, dan kita semua tetap akan mencintaimu..."
"Tidak seperti itu sama sekali!" Aku keluar dengan marah, menutup pintu dengan keras.
Dalam hal ini, Elisa mengenaliku di jamuan makan, tetapi dia dengan santai menepis peristiwa masa lalu sebagai pertikaian saudara perempuan yang tidak serius, meminta maaf dengan tidak tulus, dan kemudian secara provokatif melabeliku sebagai seseorang yang mencari perhatian melalui penyakitku, menyebabkan mengabaikan apa yang ingin aku katakan.
Aku dan kakak laki-laki akhirnya berpisah dengan tidak bahagia sekali lagi. Namun, aku tidak menyangka dia menyebarkan kejadian itu ke keluarga kami keesokan harinya. Sekarang semua orang tahu bahwa aku pernah diintimidasi dan menderita depresi, tetapi tidak ada yang peduli denganku.
Semua kerabat, secara terbuka atau diam-diam, menasihatiku untuk berpikiran lebih terbuka, mengatakan bahwa masa lalu adalah masa lalu dan itu hanya masalah anak-anak, bukan perundungan.
Sejak itu, aku menolak menghadiri pertemuan keluarga apa pun, pertama karena aku tidak ingin melihat kerabat dan kedua karena aku tidak ingin bertemu dengan Elisa, sampai hari ulang tahun tanteku tiba.
Aku sangat dekat dengan tanteku, dan hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-40. Dia meyakinkanku bahwa tidak akan ada orang luar yang diundang, hanya sekelompok anggota keluarga yang akan merayakannya dengan gembira.
Aku mempercayainya dan dengan senang hati membawakan kue red velvet.
Tetapi begitu memasuki pintu, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Hampir semua kerabat hadir. Itu bukan pertemuan kecil anggota keluarga seperti yang dijanjikan.
"Belvi, kita semua tahu situasinya. Kamu telah diperlakukan tidak adil."
Tante maju ke depan dan memegang tanganku. "Hari ini, aku akan membuat keputusan. Elisa akan meminta maaf padamu, dan kita akan melupakan masalah ini. Kita bukan orang yang picik. Di masa depan, kakak iparmu akan memberimu banyak keponakan untuk diajak bermain."
Elisa segera berlutut dan berkata, "Belvi, ketika aku masih kecil, aku tidak tahu apa-apa. Aku telah menyakitimu, dan aku minta maaf."
Melihat hal ini, para kerabat segera membantunya berdiri dan berkata, "Kita tidak perlu memikirkan hal ini sekarang. Di masa depan, kamu akan menjadi kakak ipar Belvi. Dia tidak akan sanggup menanggungnya. Bangunlah, cepatlah bangun."
Aku tidak tahan dengan permintaan maaf yang terlambat ini. "Jika kamu benar-benar ingin meminta maaf, kamu tidak akan menunggu sampai hari ini atau membuat pertunjukan untuk memaksaku dalam situasi ini."
Mata Elisa langsung memerah. "Aku... aku benar-benar tidak tahu. Apa yang bisa aku lakukan agar kamu memaafkanku?"
"Meminta maaf berarti menerima reaksi emosional orang lain dan siap secara mental bahwa mereka mungkin tidak akan pernah memaafkanmu. Jika kamu bahkan tidak bisa menerima itu, lalu apa gunanya meminta maaf..."
Elisa mendengus dan bersembunyi di pelukan kakakku "Reo, Belvi tetap tidak mau menerima aku."
"Cukup, Belvi, jangan terlalu jauh. Elisa sudah memberimu kesempatan untuk mengikhlaskannya, tapi kamu masih saja menuntut."
Para kerabat mencoba menengahi. "Sudahlah. Maafkan dia. Kita semua adalah satu keluarga sekarang. Ini bukan masalah besar. Kamu tidak akan terpengaruh olehnya dalam jangka panjang..."
Bukankah selama ini aku baik-baik saja? Hanya karena aku tidak menjadi gila, melompat dari gedung, atau menyerah pada diriku sendiri, apakah aku masih belum cukup sempurna sebagai korban?
Aku memaksakan diri untuk menjalani terapi, meminum setumpuk obat, menanggung efek samping dari kenaikan berat badan, jantung berdebar, dan ketidakseimbangan hormon. Aku berusaha sepuluh kali lebih keras daripada orang pada umumnya untuk perlahan-lahan mendapatkan kembali kehidupan yang normal, dengan diam-diam mencerna semua rasa sakit dalam mimpi buruk berkali-kali.
Apakah itu cukup untuk mengimbangi kerugian yang dia timbulkan padaku?
"Keluarga ini, dengan atau tanpa dia, dengan atau tanpa aku, aku telah mengatakan yang ingin aku katakan hari ini!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, aku pergi sendirian ke makam ibu dan menangis untuk waktu yang lama.
Sejak itu seperti ada tembok antara aku dan kakak laki-lakiku. Tidak ada satupun yang mengakui kehadiran satu sama lain, baik di rumah maupun di kantor. Dia bicara denganku hanya untuk masalah bisnis lalu pergi dengan wajah dingin, seolah-olah aku telah melakukan kesalahan.
Bahkan para kerabat berhenti berbicara di grup keluarga kami. Mereka percaya bahwa aku memiliki masalah psikologis dan membuat grup terpisah dengan Elisa dan menyembunyikannya dariku.
Karena hal ini, ayah melakukan percakapan yang berarti denganku. Dia percaya bahwa karena kakak telah memilih Elisa, aku harus lebih murah hati dan tidak memikirkan masa lalu, jika tidak, akan sulit untuk bergaul di masa depan.
Mengenai perundungan yang aku alami, sepertinya dia tidak mengingatnya lagi.
Selama masa sekolah, ayah selalu bepergian untuk urusan bisnis, dan satu-satunya saat dia pulang ke rumah karena kejadian itu adalah ketika ibu bersikeras memindahkanku ke sekolah swasta di kota lain. Dia menggerutu dan kembali untuk membayar biayanya.
Pada saat dia kembali ke keluarga, aku sudah masuk perguruan tinggi. Dia hanya melihat seorang anak perempuan yang cerdas, ambisius, dan dapat dianggap sebagai anak muda berprestasi. Seolah-olah anak perempuan yang pemurung, penakut, dan histeris itu tidak pernah ada sama sekali.
"Konflik antar para gadis, seberapa besar masalah yang bisa ditimbulkannya? Kamu dan kakakmu adalah saudara kandung, yang terhubung oleh darah dan tulang. Jangan biarkan hubungan kalian tegang karena orang luar. Setelah mereka menikah, mereka akan pindah, jadi berhentilah membuat masalah."
Masalah? Aku tidak menanggapinya dan malah pergi dan mabuk berat dengan Sally.
Pada Hari Valentine, kakak berhasil melamar Elisa. Dia memberikan 199 bunga mawar dan neon LED raksasa yang bertuliskan "Reo love Elisa." Itu adalah lamaran yang cukup megah.
Ketika postingan Instagram membanjir, aku baru menyadari bahwa kakak telah memblokirku!
Selama waktu itu, sakit perutku kambuh karena minum dan makan berlebihan.
Untuk mencegah keluarga menjadi khawatir, aku berbohong dan mengatakan bahwa aku akan melakukan perjalanan dengan teman-teman, tetapi sebenarnya aku menghabiskan lebih dari setengah bulan di rumah sakit. Tak disangka, keluargaku sama sekali tidak menyadarinya dan dengan senang hati mempersiapkan pernikahan kakak.
Hatiku berubah menjadi abu. Ikatan keluarga bisa menjadi sangat dingin dan dangkal, tetapi aku sedikit menduga bahwa hal-hal yang lebih menjijikkan masih akan datang!
Setelah dipulangkan, aku kembali ke perusahaan untuk menghadiri rapat hari Senin, hanya untuk menemukan bahwa tempat dudukku telah diambilalih.
Selama beberapa tahun terakhir, ayah perlahan-lahan mundur, menyerahkan perusahaan kepada kami. Kakak bertanggung jawab atas produksi dan operasi, sementara aku mengelola pemasaran dan keuangan. Kami masing-masing memiliki tanggung jawab kami sendiri.
Tiba-tiba, Elisa turun tangan, dan aku memiliki firasat buruk tentangnya.
Ketika tiba waktunya untuk presentasi departemen pemasaran, tiba-tiba dia berdiri di hadapanku dan dengan percaya diri membuka PowerPoint. Darahku mendidih.
"Ini adalah proyek yang telah aku kerjakan selama enam bulan. Bagaimana bisa tiba-tiba menjadi miliknya?"
Semua orang di ruangan itu saling bertukar pandang, tetapi tidak ada yang berani berbicara.
Aku menyela Elisa di depan semua orang, dan dia menatap kakakku dengan ekspresi tak berdaya.
"Kamu membuat ulah dan menghilang selama setengah bulan. Jika bukan karena Elisa yang mengambil alih, departemen pemasaran pasti sudah kacau sekarang." Kakak berbicara untuk mendukung Elisa.
Akuk tertawa karena marah. Jika dia lebih peduli padaku, dia akan tahu bahwa aku dirawat di rumah sakit karena sakit.
Selama setengah bulan itu, perusahaan telah mengalami perubahan besar. Singkatnya, hal ini dapat digambarkan sebagai "perebutan kekuasaan dan perebutan posisi."
Semua orang tahu bahwa Elisa adalah istri calon general manajer, dan tidak ada yang berani menyinggung perasaannya. Tim mengabaikanku dan melapor langsung kepadanya, mengesampingkanku. Bahkan kakak mengumumkan bahwa dia akan menggantikankucsebagai kepala departemen pemasaran, dengan alasan bahwa hal itu akan meringankan bebanku.
Perasaan sedih menyelimutiku. Taktik manipulasi Elisa benar-benar efektif. Dalam waktu kurang dari tiga bulan, kerabat di rumah menghindariku, dan tidak ada satu pun rekan kerja yang memberitahuku tentang situasinya.
aku menjadi sosok yang kesepian dan terasing, sementara dia akan naik ke tampuk kekuasaan. Taktik ini mengingatkanku pada masa lalu, pertama-tama mengisolasiku dan kemudian menekan, sebelum melakukan apa yang dia inginkan.
Namun, aku bukan lagi aku yang dulu. Jika diganggu, aku akan melawan. Jika ditekan, aku akan melawan. Milikku adalah hal terlarang, tak tersentuh, dan tidak boleh diincar.