Sejuk pagi hari, harum embun membuat kehidupan di desa begitu menenangkan dan damai. Berdiri di sana, di puncak gunung yang melihat matahari terbit seperti harapan yang ingin dia wujudkan, dia adalah dua orang pemuda yang pemikirannya sudah tiada batasan. Dia adalah Baskoro dan Gono pemuda dengan segala kekuranganya dan berjuang untuk melengkapinya. Mereka sekarang berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana di kampusnya.
Universitas Gajah Mada biasa disebut UGM, kampus yang dipandang menjadi kampus favorit di kota pelajar seluruh indonesia. Selain menjadi kampus favorit di sana juga terkenal dengan sikap mahasiswanya yang dewasa dan selalu berpikiran maju. Mereka dapat kuliah di UGM berkat prestasi mereka, dengan jalan bidik misi. Baskoro dan Gono juga dikenal sebagai mahasiswa yang pintar.
Sedangkan untuk di desanya, Baskoro dan Gono dikenal sebagai pribadi yang ramah dan suka menolong. Segala ilmu yang mereka dapat di kampusnya selalu mereka terapkan di desanya. Banyak sekali karya yang telah mereka buat untuk membantu warga desanya. Seperti contoh kincir air buatnya yang telah membantu listrik di pedalaman desanya. Dari situ warga desa mulai memandang Baskoro dan Gono sebagai pemuda yang hebat.
Baskoro adalah anak orang kaya di desanya, di desa Baskoro juga dipandang sebagai pemuda yang dermawan. Sedangkan Gono adalah pemuda yang hidup hanya sebatang kara tak tau keluarganya dimana. Sewaktu kecil Gono dititipkan bersama neneknya. Hidup bersama neneknya membuat Gono manjadi pribadi yang kuat, tidak mudah menyerah, dan selalu disiplin. Mereka berdua adalah sahabat yang saling melengkapi satu sama lain.
Penantian panjang untuk sidang wisudanya pun datang di depan mata. Empat tahun lima bulan yang telah mereka tempuh dengan segala rintangan yang selalu membentang di tengah jalan pun lolos mereka hadapi. Baskoro dengan keluarga besarnya menghadiri sidang anak kesayanganya. Sedangkan Gono hanya nenek semata wayangnya yang selalu setia di sampingnya. Saat itu Gono menjadi mahasiswa dengan nilai tertinggi di kampusnya, tak hanya itu gono juga mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Jerman. Sedangkan Baskoro tidak menerima beasiswa yang sama dengan Gono.
Setelah satu bulan semenjak wisudanya Gono berpikir keras apakah dia ingin melanjutkan kuliahnya di Jerman dengan meninggalkan neneknya sendirian di desa atau menolak tawaran tersebut untuk menemani neneknya di desa. Setiap malam Gono selalu merenungkan tentang itu. Sedangkan Baskoro sebagai anak orang kaya dia sudah membangun sedikit demi sedikit usahanya di desa dan berencana untuk berbisnis di luar kota. Dengan bantuan ayahnya Baskoro sekarang menjadi pengusaha yang sukses.
Sudah dua bulan Gono hanya menganggur saja. Sampai suatu hari Gono memberanikan diri untuk berbicara kepada neneknya agar menjual satu satunya tanah yang luasnya sekitar seratus mter persegi untuk modal usahanya, tetapi neneknya menolaknya. “bagaimana kamu bisa berbicara seperti itu toh Gono? itu harta kita satu satunya, kita ini keluarga miskin, tak usah kau bermacam macam dengan harta itu!” kata neneknya. “ayolah nek, apakah nenek tega melihat cucumu ini menganggur saja di rumah, kerjaan pun tidak selalu ada untuk menafkahi nenek. Makan pun kita seadanya! Apakah kita hanya ingin seperti ini terus?” kata Gono dengan muka melas. Nenek pun bergegas meninggalkan Gono tanpa sepatah kata pun. Gono hanya terdiam sejenak dan pergi meninggalkan tempat obrolan mereka.
Dua bulan setengah, dan nenek Gono pun juga belum menyetujui apa yang diinginkan Gono. Kabar tentang kesuksesan Baskoro sudah mencapai ke pelosok desa termasuk ke telinga Gono. Rasa iri selalu membayangi Gono, di desa Gono lebih dikenal lebi pintar dari pada Baskoro, tetapi urusan bisnis Baskoro mengalahkan Gono dengan mudahnya. Tidak mudah menjadi Gono untuk memilih terus menemani neneknya atau pergi meninggalkan neneknya untuk kuliah di Jerman.
Tiga bulan Gono hanya mondar mandir di teras rumahnya tanpa suatu pekerjaan tetap yang dilakoninya. Kabar kabur tentang Baskoro membuat Gono semakin frustasi dengan keadaanya saat ini. Hal nekat pun dilakoni bukan untuk pergi kuliah di jerman tapi Gono nekat pergi ke Jakarta untuk mencari nasib di sana. Gono kabur dari rumah dengan uang hasil tabunganya selama hidup dan tak meminta uang sepeserpun dari neneknya, Gono hanya menulis surat untuk neneknya. Yang berisi, “Doakan cucumu dengan hati yang ikhlas untuk mencari kehidupan yang lebih baik, Gono akan kembali ketika Gono sudah sukses nek, jangan tangisi kepergianku, maafkan aku jika tidak bisa menemani hari tuamu, bertahanlah nek! Gono pasti kembali”. Surat yang ditulis Gono dengan cucuran air mata yang terus keluar dari matanya.
Keberangkatan Gono pun terhitung penuh perjuangan, Gono berangkat hanya dengan menumpang sebuah truk yang berencana mengirim barang ke Jakarta. Satu malam Gono tidak tidur karena kedinginan di bak truk yang ditempatinya. Pagi pun datang, aroma asap knalpot dan suasana kemacetan sudah bertanda Gono sampai di Jakarta. Sampai di pusat kota Gono bergegas ke monumen monas. “Bismilah ya allah, aku bertaruh nasibku kepadamu di sini, beri aku kelancaran untuk kesuksesanku dan untuk nenek, aku masih berjuang untukmu” suara batin gono saat memejamkan mata.
Dengan prestasi dan sarjananya Gono sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahhan ternama di Jakarta, kerja Gono pun tidak mengecewakan. Dia selalu melebihi batas ekspetasi dari atasannya. Banyak sekali pujian yang terlontar dari pegawai lainnya yang bekerja di sana, sebagai pemuda yang sudah dilatih disiplin dan tegar serta pendidikan yang cukup bukan hal yang sulit bagi Gono untuk mendapatkan pujian dalam setiap pekerjaannya.
Tiga tahun sudah Gono bekerja dalam perusahaan yang dia tempati, grafik pekerjaan Gono yang semakin meningkat membuat Gono diangkat menjadi manager perusahaan tersebut. Banyak sekali yang kagum pada Gono. Pemuda desa ini sudah menjadi pemuda idaman di kantornya. Tak lama Gono ingat neneknya di desa “Nenek sekarang sedang apa ya, pasti sedang menanami tanah yang menjadi tanah kesayanganya?” begeming lirih Gono berbicara duduk santai di meja pribadinya.
Lanjut tahun ke lima, Gono ingat guyonan neneknya yang menyindir Gono untuk segera menikah. Sampai suatu ketika gono bertemu dengan seorang gadis belia yang cantik, yang bernama Putri. Perasaan Gono pun berdebar debar saat menatap wajah wanita itu. Sebuah pekerjaan mempersatukan mereka, dalam pekerjaan ini mereka terus bersama selama satu tahun kontrak kerjanya. Dalam satu tahun tersebut mereka semakin akrab dan terus menjaga komunikasi.
Tak perlu waktu lama Gono memberanikan diri untuk melamar Putri, bukan hal mudah saat itu Gono hanya sebatang kara di Jakarta. Orangtua putri sempat ragu untuk memberi restu kepada Gono. Bagaimana tidak, keluarga putri terkenal terpandang di sana. Pengorbanan Gono terus diusahakan untuk mendapat restu dari orangtua purti. Tiga tahun mereka terus berjalan bersama, walau masalah kecil yang selalu manggangu hubungan mereka, kesetian Gono menunggu restu dari orangtua putri dan kesabaran Putri untuk selalu bersama Gono pun berbuah hasil dengan ucapan “Iya” dari orangtua Putri yang sudah melihat keseriusan Gono mencintai Putri.
Pesta pernikahan digelar dengan mewah, dengan kekayaan Gono sekarang bukan hal sulit untuk mengadakan pesta pernikahan semewah ini. Tamu undangan pun ramai sumringah melihat pernikahan mereka. Banyak yang terkagum kagum melihat sosok Gono yang sudah sesukses ini. tapi sayang undangan untuk neneknya tidak bisa tepat waktu, entah surat undangan nyasar atau malah neneknya tidak bisa menghadiri pernikahan cucunya.
Tiga tahun keluarga Gono berjalan dengan dihadiahi seorang putra yang bernama ismail yang berumur dua tahun. Suatu hari Gono teringat neneknya di kampung, akhirnya dia sekeluarga memutuskan untuk menengok neneknya di kampung, tapi saat itu juga Putri istri Gono mengajak sekeluarga untuk liburan selama seminggu, maka dari itu rencana untuk menengok neneknya pun ditunda. Dengan berat hati Gono menuruti keinginan istrinya tersebut.
Sudah dua belas tahun Gono meninggalkan neneknya sendirian di kampung. Akhirnya Gono pun berangkat bersama keluarganya untuk pergi ke desa. Di tengah perjalanan Gono sempat mampir ke toko pakaian untuk membelikan neneknya baju dan sandal serta tidak lupa dengan makanan favorit neneknya yaitu dodol. Satu hari satu malam dengan menggunakan mobil pribadi dan kemacetan parah membuat perjalanan semakin lama.
Dengan rasa senang akhirnya mereka memasuki desa, terlihat dari jauh bendera kuning yang terpasang di pagar setiap gang yang Gono beserta keluarga masuki. Semakin lama bendera kuning seperti mengikuti jalan yang dia tuju. Sampai di depan rumah neneknya dan dengan perasaan tidak mengenakan dan hati berdoa untuk tidak terjadi apa-apa terus diucapkan Gono saat turun dari mobil.
Keluar dari mobil dengan air mata berjatuhan, berlari sekencang kencangnya sampai jatuh berulang ulang kali berharap tidak terjadi suatu hal buruk kepada neneknya. Tapi apa yang sudah digariskan oleh tuhan memang tidak bisa diubah siapapun, saat Gono memasuki rumah sudah berbaring sesosok wanita tua yang sudah ditutupi kain kafan, Gono memberanikan diri untuk membuka agar mengetahui siapa dibalik kain kafan tersebut.
Dengan nafas sesak dan air mata tak henti hentinya keluar dari mata Gono saat mengetahui bahwa itu neneknya. Neneknya yang menghidupinya dari kecil sampai dia kabur untuk merantau. Dengan rasa tidak percaya Gono kembali menutup kain kafan dan membukanya lagi. Berharap bahwa itu bukan neneknya, tapi apa boleh buat. Gono tidak bisa bebuat apa apa lagi. Dari belakang Gono didekap oleh seorang laki laki yang selalu paham atas apa yang dia rasakan, yaitu Baskoro.
Baskoro menceritakan kematian neneknya saat sebelum Gono berangkat pulang. “saat pesat pernikahanmu nenek sedang sakit keras, aku menjaganya selama kau pergi Gon” kata Baskoro sambil memeluk Gono. Tak henti Gono menangis. “nenek ini cucumu, cucumu sudah sukses nek! Tapi kenapa nek, nenek pergi? apa nenek tidak mau melihat kita bahagia bersama, aku sudah bawa istri dan anakku untuk ku kenalkan padamu, tak lupa aku bawakan makanan kesukaan nenek, aku tidak lupa nenek, aku masih ingat semua janjiku nekk!!!” kata Gono sambi menagis bersedu sedu. Dengan rasa ikhlas akhirnya Gono bersama keluarganya merelakan kepergian neneknya. Dan tangisan Gono membantu penguburan neneknya.
Setelah kepergian neneknya Gono hanya bisa membayangkan bagaimana keadaan neneknya setelah dia tinggal untuk merantau saat itu. Bagaimana rasa penyesalan saat meninggalkan neneknya berjuang sendirian. Dalam keadaan terpukul, Gono mencoba ikhlas untuk merelakan kepergian neneknya. Dan akhirnya tanah kesayangan neneknya dipergunakan untuk membangun pondok pesantren yang sudah dipesan oleh neneknya ssat masih hidup. Gono tidak mau masuk di lubang yang sama, selama hidupnya dia tidak mau meninggalkan keluarganya untuk kepentingan pribadinya. Dia merasa keluarga adalah harta yang tidak bisa dicari lagi.
Cerpen Karangan: Ikhsan Nur Himawan Blog: cerpengunungkidul.blogspot.com jika mau tau kunjungi dan komen blog saya yaa!!