Petang itu aku sangat gembira. Senyum senantiasa mengembang di bibirku. Bagaimana tidak, pihak HRD mengabari bahwa Hasna Lestari lulus dalam psikotes dan interview di salah satu perusahaan di Bekasi. Besok aku mesti ke Cikarang untuk melakukan Medical Check Up.
Tapi satu kejadian merenggut segalanya. Kegembiraanku menguap. Sebagaimana angin menerbangkan asap. Lenyap. Aku yang keliru karena melewati jalan sepi. Kupikir jalan pintas ini akan mempersingkat waktu. Supaya aku cepat sampai di rumah.
Seketika laju motorku terhenti. Tatkala dua orang laki-laki berpakaian hitam menghadang di badan jalan. Keduanya memakai penutup wajah. Ingin rasanya aku segera melesat pergi. Akan tetapi pisau tajam itu sudah lebih dulu menempel di kulit leherku. “Cepat turun! Atau nyawamu melayang!” ancam seorang lelaki berbadan tambun. Sedang seorang lagi mengunci tanganku dan bertugas menodongku dengan pisaunya.
Mendengar itu nyaliku ciut. Pikiran ini ramai merutuki diri yang tak pernah belajar bela diri. Aku seorang wanita yang tak berdaya melawan dua orang pria dewasa. Dalam hati aku menyesai hal ini. Menyedihkan.
Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Mereka telah berhasil membawa kabur motorku. Napasku terengah-engah. Saking takutnya aku sampai lupa bernapas.
“Tolong! Tolong!” teriakku sekencang-kencangnya. Berharap ada yang mendengar lalu datang menolong. Nihil. Lima menit berlalu. Selama itu pula tak ada yang datang menghampiriku. Masih sepi. Suaraku hampir habis teriak terus. Serak.
Langkah kaki ini gontai. Bulir-bulir bening berlinang di pipi. Baru saja perasaanku senang meletup-letup merasa bahagia. Namun dalam sekejap, cerah berganti mendung. Aku merasa menjadi orang paling malang di dunia. Padahal tinggal selangkah lagi. Iya, selangkah lagi mimpi itu terwujud. Membahagiakan orangtua dengan jerih payah sendiri. Sisa satu tes lagi. Dan aku bisa bekerja di perusahaan dengan penghasilan layak.
Lagi-lagi kejadian nahas yang tidak kuharapkan -bahkan terbayang sekali pun- tiba-tiba datang menghancurkan hidupku. Asa ini musnah. Membuatku terpuruk. Jatuh. Kini aku berdiri di ambang keputusasaan. Tinggal terjun, maka aku hilang di kedalaman jurangnya.
Entah sudah berapa kali padangan aneh tertuju padaku. Malah ada yang berbisik-bisik saat aku lewat. Mungkin mereka heran melihat seorang gadis menangis sendirian di jalan. Aku tak peduli itu! Pikiran dan hatiku kini berkabut.
“Eh, Hasna!” Sepeda motor matic berhenti tepat di depanku. Dia membuka helmnya dan kaget begitu melihatku banjir air mata. Dia segera menggiringku ke dalam hangat dekapannya. Alih-alih tenang, tangisku kian menjadi.
“Kamu kenapa, Has? Apa yang terjadi?” tanyanya cemas mendapati keponakannya kacau balau. Aku menggigit bibir bawahku. Kepala ini menunduk. “A-aku di.. begal, Lik, hiks” terbata-bata aku menjawabnya. Beruntung, Lik Ina tidak marah. Dia malah berbaik hati mengantarku pulang.
Singkat cerita, kini aku tengah duduk di tikar dalam rumahku. Di hadapanku ada Ibu. Sedang di sampingku ada Lik Ina. Dia tidak hanya mengantarku, akan tetapi juga membantuku menyampaikan musibah yang menimpaku. Dalam hati aku bersyukur. Namun itu tak merubah banyak. Aku masih takut. Takut kedua orangtuaku menyalahiku. Perihal motor Honda Beat dibegal saat aku pakai.
Mata tua Ibu membelalak seiring membukanya mulut. Dia terkejut. Penuturan Lik Ina -yang merupakan adik kandungnya-laksana petir baginya. “Ya Allah, Hasna,… kenapa ini bisa terjadi?” tetes-tetes bening bergulir di matanya. “Nak, motor itu masih kredit, belum lunas terbayar. Ya Gusti, bagaimana Ibu harus mengatakan ini pada Bapakmu nanti?”
Kepalaku kian tertuduk dalam. Tiada berani menatap mata sendu Ibu. Tadinya aku ingin melukis senyum di bibirnya. Namun apa yang telah kuperbuat? Malah tatapan luka yang kini ditunjukannya. Hari ini ada seorang anak yang mengecewakan ibunya. Catat itu dalam sejarah!
Tak lama Bapak pulang dengan sepeda bututnya. Beliau memasuki rumah dan menyalami kami semua. Wajah lelahnya terheran-heran melihat aku dan Ibu. “Lho, iki kenopo podo nangis toh? Bapak mulih, bukannya disambut, malah nangis-nangis.” kata Bapak kental dengan logat jawa. Beliau duduk di samping Ibu.
Badanku gemetar. Aku takut. Takut kalau Bapak tahu yang sebenarnya. Terlebih sepeda motor itu miliknya. Aku ingat betul, sudah sejak lama Bapak mengidamkan kendaraan beroda dua itu. Hingga dia rela menyisihkan gaji bulanan sebagai OB, demi mencicil sepeda bermesin itu.
Kami bertiga bungkam. Hening. Tak ada yang berani angkat bicara. Sebelum akhirnya tangan Ibu meraih tangan kokoh Bapak. Menggenggamnya. Jemari kecil Ibu saling terkait dengan jemari besar Bapak.
Ibu mengangkat wajah. Keduanya saling bertatapan. Gurat kebingungan tercetak di wajah keriput lelakinya. Suami yang telah menemaninya selama belasan tahun.
“Mas,…” panggil Ibu pelan. “anak kita, Hasna,…” Ibu menarik napas sebelum melanjutkan, “Hasna dibegal, Mas. Motor kita raib.” Bapak mengeryit. Dia masih tak mengerti. Bapak teramat percaya dengan anak sulugnya.
“Mana mungkin, Bu. Wong Bapak tau Hasna iku kuat. Ono-ono wae Ibu iki.” sangkal Bapak terkekeh. Bapak bersikeras menampik pernyataan Ibu dan Lik Ina. Beliau tak akan percaya kalau bukan aku yang langsung mengatakannya. Aku tak tega melihatnya berlakon seperti itu.
Aku menguatkan hati. Berupaya mengusir takut barang sejenak darisana. Bilamana mungkin aku akan dibenci oleh Bapak setelah menyampaikan ini, itu lebih baik ketimbang melihat beliau terus-terusan menyangkal kenyataan. “B-betul, Pak,” aku menarik napas dalam. Bapak terdiam. Menunggu kalimatku selanjutnya. Aku memejam mata menghindari selidik matanya. “H-hasna dibegal, Pak.” sederet kalimat sukses meluncur dari bibirku. Kepala ini tertunduk tak kuasa memandang raut keterkejutan di wajah keriputnya.
Belum usai penyesalanku, Bapak tumbang. Ia memegangi dada kirinya. Bukan. Lebih tepatnya meremas. “Bapak!!” aku dan Ibu menjerit berbarengan. Mulut Bapak mengap-mengap. Dia seperti kesulitan bernapas. Keadaan semakin genting dengan terisaknya Ibu. Tangan kasih Ibu menaruh kepala Bapak di pangkuannya. Aku panik. Gusar. Ketakutan kian menggila. Mengerogoti setiap inci asa dalam jiwa. Tangis menderas. Mengurai sedih hati. Merembas sampai ke jilbab putih yang kukenakan.
Aku memang takut Bapak kecewa dan memusuhiku. Tapi aku lebih takut bilamana kehilangan sosok Bapak. Dan ketakutan menjadi nyata tatkala Bapak berhenti bergerak. Lik Ina menggeleng saat ia memeriksa nadi di pergelangan tangan dan leher Bapak. Itu berarti dia tak merasakan denyutnya. Jantung Bapak berhenti memompa darah. Ketakutan terbesarku hari ini menyapaku tiba-tiba. Aku teramat belum siap. Bapak meninggal sebelum sempat aku membahagiakannya. Detik itu aku merasa terlempar ke jurang keputusasaan.
—
Mataku membuka. Tubuhku kontan mengambil posisi duduk. Napasku terengah-engah seperti aku baru saja lari maraton. Jantung ini berpacu lebih kencang dari biasanya. Tak lupa bajuku kuyup oleh keringatku sendiri. Hal yang pertama kulakukan adalah menampar wajahku. Memastikan apakah ini mimpi? Atau hanya ilusi? Aku meringis. Sakit. Pertanda ini bukan mimpi. Entah mimpi apa yang membuatku demikian kacau begini -Bapak! Aku mimpi Bapak meninggal. Segera kaki ini bergegas menuju kamar kedua orangtua.
Krieet Pintu kayu itu membuka. Melalui celah aku mengintip ke dalam. Ada Ibu yang tengah memeluk Bapak di kasur. Sedang Bapak asyik mendengkur. Seolah tak terganggu dengan kebisingan yang dibuat mulut Bapak, Ibu lelap tertidur. Damai sangat wajah keduanya. Seakan tak ada beban bergelayut di pikiran mereka. Tanpa sadar sudut bibirku tertarik ke atas. Tersenyum. Sungguh aku ingin sekali membuat keduanya tersenyum karenaku.
Cukup lama aku mematung di tempat. Memandangi keduanya. Sama sekali aku tak berniat masuk ke dalam dan mengusik mimpi indah mereka.
Sebening embun pagi, bulir air mata menetes begitu saja. Membelai permukaan pipi pucat yang masih dingin. Kuseka dengan punggung tanganku. Oh, Ya Allah… Mataku bengkak. Pasti karena terlalu lama menangis dalam mimpi sampai terbawa ke dunia nyata.
Mata ini melirik jam di dinding. Masih pukul 03:13. Aku adalah tipe orang yang tak bisa kembali tidur setelah terbangun. Menyadari itu, tentu aku tak menyia-nyiakan waktu sepertiga malam terakhir. Waktu mustajab bagi terkabulnya doa-doa. Aku beranjak mengambil wudhu untuk melaksanakan salat qiyamul la’il. Dalam sujud aku bersyukur. Allah belum meminta kedua orangtuaku pulang ke rahmatullah. Aku berdoa kepada Sang Khalik, memohon agar aku diberi kesempatan untuk menorehkan senyum di wajah tua keduanya. Setidaknya aku bisa membalas jasa-jasa mereka meski hanya secuil tidak sampai setengahnya. Sebelum akhirnya kedua orang yang paling kusayangi pergi dari hidupku… selamanya.
Subuh itu juga aku sadar. Apa yang paling membuat tangisku merembas deras adalah… kehilangan. Aku takut kehilangan orang yang paling kukasihi. Sungguh aku tak mampu membayangkan bagaimana kehidupan ini berjalan tanpa adanya bimbingan orangtua.
Memang terdengar berlebihan. Tapi terus terang, aku belumlah siap. Terlebih bila aku kehilangan sebelum sempat membuat keduanya bangga. Membuat keduanya tenang tanpa harus memikirkan keadaan anaknya. Itulah penyesalan yang paling berat membebani hati seorang anak.
-Rampung-
Bekasi, 130917 #Haryati
Cerpen Karangan: Harniharyati Blog / Facebook: Harni Haryati