BRUG! “Nah, sudah, nak.” Pak Tukiran tengah memasukan kursi roda Keyzie ke bagasi. Yaps, anak itu sudah di dalam mobil kursi tengah sembari mendengarkan alunan berdentum yang mengalir sangat indah di telinga Keyzie, suara Taehyung menggemaskan -batinnya.
Brrmm.. Mobil bercat cokelat kilau itu sudah menginjak jalan raya, sesekali Pak Tukiran bersiul pelan menghilangkan jenuhnya ditengah kemacetan di lampu merah yang belum jauh dari sekolah Keyzie.
“Bagaimana sekolahnya, nak Keyzie?” supir itu memulai konversasi. Tak ada sahutan dari kursi belakang. “Nak?” Pak Tukiran menoleh ke belakang, tidak tahu kalau anak majikannya itu tengah menikmati dentuman khas Korean pop. “Oalah haha,”
Keyzie melihat bingung ke arah Pak Tukiran yang menoleh ke belakang, Note: Ada apa? Ia melepas earphone kirinya. “Tadi sekolahnya baik-baik kan?” Pak Tukiran mengulang inti kalimatnya, Note: Iya, tadi aku berkenalan dengan baik dan punya sahabat baru! Anak itu tersenyum bangga, “Bagus lah, bagus sekali. Saya juga ikut senang nak Keyzie mulai berbaur seperti itu kok,” puji supir pribadi Keyzie membuat yang dipuji mangut-mangut senang.
Sampai gerbang rumahnya, Pak Tukiran membantu Keyzie menaiki kursi rodanya, kemudian masuk kembali ke mobil untuk parkir di garasi. Keyzie dengan hati yang penuh ceria menggiring dirinya sendiri dengan menggerakan roda kursinya menuju ruang tamu. Tapi. Kosong. Tak ditemukan orang yang ingin diajak cerita canda, yakni Ms. Lisa. Ibunya sendiri.
Ia menemukan note tempel di vas bunga yang paling terlihat Keyzie, tertulis disana, Keyzie sayang, mama ada rapat pendesign se Indonesia di Tangerang, mama menginap mungkin ya 2-3 hari. Jadi mama titipkan kamu dengan Pak Tukiran di rumah, jaga diri baik-baik ya Keyzie, mama sayang kamu~
‘Lagi’? Keyzie menghela nafas kasar, ntah sudah yang keberapa kalinya ia sering ditinggal mamanya seperti ini. Membuatny sudah merasa nyaman tanpa sesosok mama di rumah. Haha.
Ia memutuskan menulis pesan untuk Pak Tukiran, To: Pak Tukiran Tolong bantu aku naik. Cepat ya
Tidak begitu lama, sang supir menjawab To: Keyzie ok nak, bpk sgera ksna….
Gadis itu menunggu sembari tersenyum ringan membaca balasan Pak Tukiran yang disingkat-singkat seperti iklan suatu merk kartu telepon. Langkah kaki yang diyakini Pak Tukiran sedikit lari tergopoh-gopoh menuju Keyzie. “Hoh.. hoh.. maaf saya lama, Nah sudah. Memangnya nak mau kemana? Kamar?” tanya Pak Tukiran setelah membantu kursi roda Keyzie menaiki tangga datar yang miring 45 derajat –sengaja agar kursi rodanya bisa naik. Note: iya kamar, tapi kamar mama. Cepet, jangan menyangkal. Pak Tukiran tersentak melihat kalimat dari note Keyzie, tapi mau tidak mau ia hanya sebagai supir dan diminta untuk menjaga Keyzie belakangan ini.
Akhirnya dua pasang roda berisikan Keyzie mendarat di kamar Ms. Lisa, terpampang jelas di sana manekin-manekin berpakaian layaknya model terkenal, dengan rak buku yang sudah Keyzie yakini semuanya koleksi mamanya. Oh ya, tadi Keyzie meminta supirnya itu untuk tidak menemaninya saat di kamar Ms. Lisa, dan yang diminta menurut saja “Saya izin ke warung depan sebentar mau beli rok*k nak,” begitu tadi kata Pak Tukiran, Keyzie mengangguk acuh tak acuh.
Anak semata wayang itu menggratak isi kamar mamanya dengan rasa penasaran, padahal sejujurnya ia tak tahu apa yang harus dia kepoin. Wah, mama beli perhiasan emas sebanyak ini nggak takut hilang apa ya -batin nya melihat dan mencoba coba gelang dan kalung mamanya itu.
Jendela ruangan Ms. Lisa terbuka lebar, fakta sekarang masih siang hari pukul 2 lewat beberapa menit. Pohon-pohon dan ayunan di taman menjadi pemandangannya, Keyzie masih sibuk dengan perhiasan mamanya. Dari jauh ada yang memerhatikan kegiatan anak itu tengah asyik.
“HAI CANTIK! GELANGMU BAGUS SEKALI!” Keyzie kaget bukan main, rasanya jantung mau copot saja. Apalagi ditambah sekomplot berbaju hitam yang ternyata memandangi aksi coba-pakai gelang Keyzie dari tadi. Komplotan itu masuk dari jendela yang terbuka, Keyzie disekap dan diikat dengan rafia yang uh, kencang. “Anak konglomerat sepertimu tak pantas hidup! Warisan mamamu buatku saja ya cantik,” dengan sergap dua orang yang memasukkan seluruh barang berharga Ms. Lisa ke tas, dan dua lagi berurusan dengan pisau dan Keyzie yang panik bukan main. Ya Tuhan, salah apa aku. Bagaimana ini!? Mama pasti marah besar padaku.
Cucuran keringat tak beraturan menggembira di wajah Keyzie, mulut dan tangannya dilakban dan dirafia, tak ada kebebasan dan hawa kehidupan disana. Semuanya mencekat. “Sampaikan salam terakhirmu, cantik! Karena ajalmu hari ini, Hahahaha,” kedua orang itu tertawa, dan malangnya tak terdengar apa apa dari luar rumah yang faktanya sangat besar.
Pak Tukiran dimana, mama.. mama! Tolong aku, sekali ini saja. Aku belum mau mati! Ya Tuhan, apa hidupku sampai hari ini saja? Keyzie berimajinasi liar membuatnya semakin takut akan dirinya saat ini. Dua orang itu terus mengasah asah bangga pisau tajam yang sekali tusuk bisa mengangkat nyawa seorang.
“Alahh kau ini, tidak ada salam terakhir? Begitu? Hahaha baikl-”
BRUKK! Pintu terdobrak, Pak Tukiran pongo kaget bukan main melihat apa yang dilihatnnya, tanpa basa basi, SUK! “Aah..”
“Nak Keyzie, Astagfirullah!” Pak Tukiran yang memang sudah tua tak sanggup mengejar komplotan tak punya hati yang lenyap sudah dari hadapannya. Kabur membawa perhiasan Ms. Lisa dan berhasil melayangkan nyawa seorang anak konglomerat cantik yang berharap belum mau mati. “Ya Allah ini gimana, na-nanti saya ya-yang di.. aduh!” Saking paniknya Pak Tukiran tergagap keringat mencekam bercucuran di wajah keriputnya, menggoyang goyangkan raga yang nyatanya tak bisa terbangun lagi.
Dengan inisiatif akhirnya supir sesepuh itu menelepon polisi, dan Ms Lisa. Polisi tanpa banyak omong langsung mengiyakan dan segera berangkat dari tempatnya ke rumah Keyzie. Ms Lisa kaget bukan main, ia tak bisa berkata-kata, memutuskan meninggalkan aula rapat dan menghubungi suaminya yang tengah bertugas di Riau.
“Dengan Pak Tukiran di TKP! Angkat Tangan!” komplotan polisi itu mengajukan pistol kecil di masing-masing tangannya. Pak Tukiran yang tak tahu menahu soal kejadian tadi menggeleng geleng pasrah saking tidak bisa berkata-kata sedangkan dirinya panik. “Sa-saya tidak tahu, saya ke sini, nak- nak Ke-keyzie suda-h..h begini.” Tak disangka, setetes air kesedihan dari mata sang supir menetes membasihi pipinya. Salah seorang polisi menenangkan, dan setelah beberapa saat mereka mulai bercakap soal kasus ini dan akan menyelidikinya.
—
“A-apa ibu bilang?” seketika tubuh Anesse seperti tak bernyawa, ingin rasanya tegar mendengar apa yang reporter sedang katakan di televisi kecilnya,
Kasus: Pembunuhan sekaligus pencurian oleh komplotan di rumah mewah. Begitu judul tertulisnya, “Katanya, setelah diotopsi namanya Keyzie anak konglomerat yang cacat, orangtuanya sedang tidak di rumah. Ia sendiri sedang membuka-buka perhiasan emas mamanya yang sangat banyak, lalu komplotan itu melihatnya, lalu-” “STOP! Cukup bu! Jahat sekali- kenapa harus sekasar itu! ‘cacat’, apa kami terlalu hina, dibedakan, tak diterima, sehingga pantas dibunuh hah?” sesegukan Anesse emosi. “Astaga, jangan seperti itu Anesse, kamu sangat berharga di dunia ini!” ibunya memeluk anak tirinya itu dan merasa kasihan dengan anak asuhnya itu. “Itu-.. itu, benar Ke-keyzie sahabatku?” Anesse tertunduk meneteskan air mata dukanya, sang ibu tiri menengangkan Anesse dengan turut prihatin.
Berita itu secara cepat menjalar layaknya kobaran api, ayah Keyzie yang akan sampai malam ini langsung datang ke pemakaman Keyzie. “A-aku.. akan datang, bu.” Ibu tirinya menangguk, “Nanti ibu temani, sayang.” Suasana saat itu sangat menegangkan dan penuh hawa tak bersahabat.
Buku diary usang yang penuh memori itu terpajang di kamar sang ibu sekaligus sang pemilik uranium di Aceh, mereka tersenyum haru dengan tangis yang menghiasi ruangan itu, keduanya merangkul dan membayangkan Keyzie di atas sana –atau mungkin sedang di sini bersama orang tuanya membaca cerita kehidupannya?
Rasa menyesal pasti ada ketika Mr. Hitori meminta istrinya menggugurkan Keyzie setelah tahu anak pertamanya akan cacat fisik, padahal tak dipungkiri lumayan banyak prestasi yang dihasilkan anak mata wayangnya itu dalam bidang sastra tulis.
Begitupun Ms Lisa.
Jadi yang berbeda tak harus dispesialkan, bukan berarti hina juga. Berbeda dengan yang beda itu indah, dengan perbedaan itu kita bisa saling mengenal suatu hal yang baru, bukan dengan menatap jijik ke arah mereka.
– fin.
Cerpen Karangan: Sekar Melati Kamah Blog: littlejungg.wordpress.com
HAIII MAAF GAJELASS:”)
jakarta. iseng2 aja hehe. hi touch w me at fb; sekar melati kamah twt; @mxlati ig; @taeoreo hehe