Kami sekeluarga akhirnya sampai di tempat tujuan. Dengan perjalanan memakan waktu kira-kira 4 jam itu aku lelah dan tentu saja ayahku yang menyetir juga kelelahan. Tempat ini tidak banyak berubah mungkin karena rumah kakek ini memiliki banyak kenangan yang sulit dilupakan olehku. Selagi turun dari mobil aku merentangkan kaki dan seluruh tubuhku yang pegal. “Oh lihat, itu Nenek!” Ibuku dengan senyum memeluk nenek dengan hangat karena sudah lama kami tidak mengunjungi beliau. Kira-kira 6 tahun lamanya tetapi kami sekeluarga tetap berkomunikasi dengan mereka. Memang sulit mendapatkan sinyal di sini karena tempat ini jauh dari kota dan aku harus akui mereka hebat bisa mempelajari handphone walau sudah tua.
“Doni sini! Salam dulu Nenekmu!” “Iya Mah.” Bergegas aku menanggapi Ibuku. “Wah cucuku yang ganteng, kamu sudah besar rupanya. Kata Ibumu, kamu sudah masuk SMP ya?” Tanya Nenekku dengan halus dan agak bergetar. “Iya, Nek. Doni udah SMP.”
Tempat ini memang tak banyak berubah, mulai dari pohon mangga kesayangan kakek, tangganya yang berdecit, atapnya yang tinggi, tembok gelap dimana ada senjata perang milik kakek dan foto-foto kakek dan nenek jaman mereka muda. Yang aku rindukan adalah saat kakek dan aku memanjat pohon mangga kesayangannya walau aku lah yang memanjat pohon dan kakek menjagaku agar tidak jatuh, Nenek melihat kami dengan senyum hangat selagi menyiapkan minum untuk kami. “Hati-hati Doni! Jangan sampai jatuh!” Ujar nenek memperingatkan, “Iya Nek. Tenang aja, kan ada kakek.” Balasku. Kami melakukan ini saat sore jika ada mangga yang matang dan aku menginginkan mangga dari pohon besar itu. Setelah berhasil mendapatkan mangga, aku dan kakek duduk di bangku halaman sambil mengupas mangga tadi. Minuman yang nenek sediakan menyegarkan tenggorokan yang kering karena capek memanjat.
Hal yang paling kuingat adalah ketika kakek mulai bercerita, “Kek, ceritakan lagi dong! Kisah kakek ketika melawan para penjajah!” Teriakku bersemangat dengan mata berapi-api, dengan tawa, dan keringat, serta mangga yang tinggal separuh di tangan kanan. Kakek pun dengan senyum lebar di wajahnya, “Mau cerita lagi? Baiklah dengarkan baik-baik karena cerita kakek akan membuatmu berkeringat daripada memanjat pohon mangga kakek.”
Beliau sangatlah pandai bercerita, apalagi ceritanya tentang masa penjajahan dulu, tentu saja karena sudah Ia pernah ada ditengah-tengah sejarah masa itu. Kakek bercerita banyak hal, seperti kakek yang harus melawan senjata api milik para penjajah dengan bambu runcing, para pejuang lain yang tidak bisa makan dan minum dengan pantas, taktik untuk melawan Belanda, dan bagaimana semangat perjuangan teman-teman perang dan kakek dalam melawan para penjajah keji.
“Dulu ketika melawan Belanda Kakek memakai bambu runcing yang telah dilumuri tai kerbau supaya jika musuh terluka karena senjata kakek, luka musuh itu akan infeksi…” Aku mendengarkan dengan seksama dan aku membayangkan diriku ada di medan perang bersama Kakek. Terus kulahap potongan mangga demi potongan sambil mendengarkan tanpa mengalihkan perhatian tak memedulikan sekitar ala bocah. “Hahaha…” Tawa terpotong-potong milik Kakek khas dengan suara seraknya, “Pelan-pelan makannya Doni. Kakek tidak mau kamu tersedak mangga gara-gara dengarkan cerita Kakek.” Aku tersenyum dan menelan potongan mangga yang ada di dalam mulutku dengan pelan. Kakek sangatlah baik hati dan ramah, jika Ia tertawa bisa terlihat bekas luka di dekat bibirnya.
Dari semua cerita, yang paling kusukai adalah cerita tentang bagaimana usaha kakek menyelamatkan temannya yang sekarat tertembak Walanda. “Disaat itu Kakek dan teman kakek sudah dalam keadaan terkepung!” Aku pun tertegun, “Kaki Kakek dalam keadaan tertembak dan teman Kakek mendapat 3 tembakan di badan!” “Lalu?!?” Ucapku. “Kakek mencoba mengeluarkan peluru dari kaki kakek dengan pisau milik teman kakek. Selagi itu kakek membawa teman kakek tadi dan mencoba melindungi diri di parit.” Sangatlah menegangkan untuk mendengarkan ceritanya dan benar, Kakek benar tentang aku akan berkeringat karena cerita-cerita ini. “Teman kakek tak sadarkan diri dan Kakek berdo’a agar diberikan perlindungan Yang Maha Kuasa.” “Lalu lalu!?!” Buruku, “Kakek terus bertahan dari serangan-serangan mereka. Ketika Kakek sudah akan menyerah, Kakek juga hampir tak sadarkan diri. Ketika itu Kakek mulai tak bisa fokus pada apa yang ada di sekitar Kakek namun beberapa saat kemudian terdengar suara “SERANG!!!” dan kemudian tentara Belanda pun mundur. Terlihat mereka itu merupakan pasukan pejuang bantuan. Kakek bersyukur tertolong karena mereka datang.” “Wah, lalu bagaimana dengan teman Kakek?” Dengan penasaran aku bertanya, namun Kakek hanya menggelengkan kepala. Nampaknya teman Kakek terlambat tertolong.
“Mereka yang di garis depan telah berkorban demi Bangsa dan Negara. Kamu sebagai generasi penerus harus bisa meneruskan semangat perjuangan seperti Kakek dan teman Kakek Ya, Doni.” Elusan tangan Kakek sangat halus dan tak terlupakan, kata-kata terakhir dan senyumannya sebelum aku meninggalkannya sangat mengelukan. “Aku rindu Kakek.” Bisik hatiku. Tak terasa air mataku menetes di lantai.
“Doni.” Aku kaget dan segera melihat siapa yang memanggilku itu sambil mengelap air mataku, “Ayo sekarang kita berangkat mengunjungi makam Kakekmu.” Aku pun tersadar, “Tunggu sebentar Mah. Doni mau cuci muka dulu”
Sekarang Kakek berada bersama dengan teman-teman seperjuangannya dulu. Mereka melihat apa yang diperjuangkan mereka sampai sekarang. Dan aku bangga sebagai cucu Kakek dan penerus bangsa akan terus memperjuangkan semangat perjuangan mereka.
Keluar dari kamar mandi, ketika itu aku melihat melalui jendela bisa terlihat pohon kesayangan Beliau, kemudian aku pun tersenyum “Kakek, buah mangganya sudah matang.”
Cerpen Karangan: Restu Estu Blog / Facebook: tonirestu[-at-]rocketmail.com