Namaku Yusuf bin Ronie, Aku lahir pada tangal 14 Mei 2000 tepatnya sekarang aku berumur 16 tahun. Ayahku bernama Supratman bin Ronie dan Ibuku bernama Yirum Setiowati binti Ribka, mereka menikah pada tanggal 18 Juli 1998. Ayahku adalah seorang petani yang tinggal di desa kecil, gaji yang sangat pas untuk menjalani kehidupan sehari-hari merupakan hal yang biasa tetapi sangat tidak sebanding dengan apa yang telah dilakukan Ayahku untuk menghidupi Aku dan Ibuku. Kami selalu bahagia, Ayahku selalu bercerita kepadaku bahwa sepeda yang selalu dikenakannya adalah sepeda milik pendahulu keluargaku.
Ayahku selalu berkata kepadaku dengan membungkukkan badanya dan mengusap-usap kepalaku dengan penuh kelembutan. “Saat kamu besar nanti le…! Ayah akan berikan sepeda ini untukmu, dari nenek buyut dan kakek buyutmu ini sepeda paling antik di desa ini dan harganya sangat mahal, ini warisan sejak zaman belanda. Nanti jika Ayahmu iki sudah mangkat ndisiki kowe, jaga dengan baik jangan sampai diberikan atau dijual ke orang lain apalagi kepada sanak saudara, jangan! Sepeda ini adalah bukti perjuangan kakek dan nenek buyutmu saat melawan penjajahan Belanda dan Jepang!”
Ayah dan Ibuku adalah orangtua terbaik bagiku, Ayah selalu menggendongku dan memelukku dengan penuh kehangatan, Ibu selalu memperhatikanku serta dan memberikan kehangatan batin saat batinku sedang terluka. Sejak kecil hidupku sangatlah bahagia walaupun keadaan berbicara lain, keterbatasan ekonomi bukanlah permasalahan yang sangat berat bagi kami sekeluarga. Pada bulan Mei tepatnya tanggal 04 Desember 2008 Ibuku mengandung calon Adikku. Aku merasa sangat bahagia dan berbunga-bunga dalam hati, walaupun keluargaku sangat kekurangan serta merta sedang butuh pas ada, tetapi damai sejahtera dan kehangatan senantiasa bertandang dalam rumah dan hati kami sekeluaraga, meski hanya gubuk kecil dan reot yang kami tempati untuk sekedar menjadi tempat bernaung semasa hidup kami, penghasilan Ayah yang kurang menentu bukanlah sesuatu beban yang berat bagi penanggungan keluarga kami, tetapi yang terutama dalam keluarga kami adalah kesatuan dan damai sejahtera yang selalu ada dan terjaga dalam kehangatan walau badai permasalahan selalu menderu, keteguhan itu akan selalu kami pegang untuk menambahkan senyuman dalam jiwa dan roh ini.
Tetapi kebahagian tersebut tidak bertandang lama di dalam rumahku, saat Ibuku pendarahan Aku sangat sedih, wajah Ibu yang biasanya cerah ceria, saat ini wajah Ibu menjadi murung dan jarang beraktivitas, Kami segera membawa Ibu ke puskesmas terdekat dengan sepeda Ayah, tetapi Kami diberi rujukan untuk pergi ke rumah sakit yang berada di kota, agar mendapatkan penanganan medis yang lebih cepat, efesien dan berkualitas tanpa harus mengeluarkan dana yang banyak, karena rumah sakit yang dimilik pemerintah menyediakan peralatan yang lebih canggih. Aku selalu menemani Ibu dengan penuh kasih sayang seperti Ibu merawat Aku dahulu sejak Aku masih di dalam kendungan selama 9 bulan. Ibu selalu menjaga, berhati-hati, sangat baik dan tulus dari dalam lubuk hati yang terdalam, selalu menginginkan yang terbaik bagi masa depanku. Ia mengajariku dan menasihatiku banyak hal serta membawa Aku untuk mengenal lebih luas dunia yang telah Tuhan YME ciptakan, tetapi sekarang Ibuku sakit. Karena pendarahan yang dialami oleh Ibuku, saat sedang mandi ia terpeleset sikat penggosok baju. Ayah pontang panting mencari pinjaman uang karena tabungan yang dikumpulkan Ayah, Ibu, dan Aku masih kurang untuk melunasi biaya rumah sakit Ibu. Ayah menunggu di luar kamar tempat Ibuku dirawat, Ayah selalu menundukkan kepala serta menangis dalam hatinya.
Tepat pada pukul 18.00 Ayah pergi dengan menitipakan pesan kepada Suster yang sedang menjaga dengan pesan sebagai berikut: “Anakku Yusuf, jaga Ibumu dengan baik! Ayahmu kembali ke desa untuk mencari pekerjaan tambahan dan pinjaman uang jika pekerjaan tambahan tersebut belum cukup untuk pembayaran perawatan Ibu, yang tenang ya Suf jangan khawatir. Salam dari Ayah.” Sejam telah berlalu, datanglah Suster jaga yang membawa surat titipan dari Ayah untuk Aku. “Dok…! Dok…! Permisi…!” Aku segera membuka pintu dan Suster memberikan sepucuk surat itu kepadaku. Aku kembali duduk di sebelah tempat tidur Ibu serta begegas dengan cepat membuka surat yang ada pada tanganku, Aku membacanya dalam hati agar Ibu tidak mendengarnya karena Ibu sedang tidur. Tetapi saat Aku hendak membuka surat itu Ibu pun terbangun dan memegang tanganku dengan berkata, “Nak…! Apakah yang kau pegang itu, beritahu Ibumu!” Aku menjawab “Sepucuk surat Ibu.” Ibu menjawab dengan wajah yang pucat serta meminta segelas air putih kepadaku, “Tolong Bacakan!”
Aku pun membacakan surat yang diberikan oleh Suster jaga dari Ayah untuk Aku. Setelah Aku membacakan Surat yang ditulis untuk Aku yang dibawakan oleh Suster Jaga iitu ekspresi Ibu bertambah sedih dan pucat, jarum infus di tangan kanannya menambah kenyerian dalam jiwanya serta elektrodiograf alat pengukur jantung menunjukkan bahwa detak jantung Ibu semakin melemah, Ibu menjadi sesak nafas dan matanya perlahan-lahan tertutup dan tidak sadarkan diri. Aku segera membuka pintu serta ku berlari dengan cepat untuk mencari Dokter yang menangani Ibuku, Aku terus mencari Dokter Doni dan Aku tidak menemukannya, tetapi Aku melihat Suster jaga yang memberikan sepucuk surat dari Ayah untuk Aku.
Setelah itu Aku menghampirinya serta bertanya dengan wajah panik dan tegang, “Suster apa Dokter Doni ada di rumah sakit ini atau ia sudah pulang?” Jawab Suster itu sambil menggendong tas ranselnya, “O… Dokter Doni? Dokter Doni sudah pulang ada apa ya Dek?” “Tolong Suster Ibuku tidak sadarkan diri, sekarang Ia berada di kamar melati nomer 22 lantai 3!” Jawabku. Suster menaruh ranselnya serta membawa handphone dan menjawab, “O… di kamar yang tadi, ya baiklah Dek ayo segera pergi!”
Aku dan Suster jaga pun segera bergegas menuju ke kamar dimana Ibuku dirawat, Suster jaga tersebut memeriksa Ibuku kira-kira hampir setengah jam Aku menunggu di luar kamar, setelah Suster selesai Aku diizinkan masuk dan Suster menelepon Dokter Doni. “Selamat malam Dok, ini Suster Rita pasien kamar melati nomer 22 lantai 3 keadaanya bertambah buruk tolong segera datang kemari Dok!” jawab Dokter Doni dari telepon, “Baik suster dalam 15 menit saya akan segera sampai mohon Suster menenangkan keluarga pasien serta menunggu Saya di luar kamar rumah sakit, jika Saya telah sampai di rumah sakit Saya akan menelepon ulang Suster!” Jawab Suster Jaga “Baik Dokter!” Waktu menunjukkan pukul 21:30.
Setelah menelepon Dokter Doni Suster jaga itu membeli dua bungkus roti isi dan segelas susu hangat dari kantin rumah sakit serta menjaku untuk makan bersama dan melupakan masalah yang sedang terjadi. “Dek namanya siapa ya kalau boleh tau?” Jawabku kepada Suster Rita “Nama saya Yusuf bin Ronie suster, saya berumur 8 tahun!” Suster rita menjawab “o… Jadi nama bapak kamu tadi yang menitipkan surat, itu namanya Pak Ronie?” Aku menjawab sambil memakan roti isi di tangan kiriku “Ya Ronie adalah nama marga di keluarga saya, tepatnya nama Ayahku adalah Supratman bin Ronie, Suster Rita.”
Tepat pada pukul 21:40 telepon genggam milik Suster Rita berbunyi, “Kring…! Kring…! Kring…!” “Suster Rita itu telephonya berbunyi!” Jawab Suster Rita dengan mengecek teleponya yang berada di tangan kirinya untuk memastikan bahwa Dokter Doni yang meneleponnya. “Halo Dokter, Dokter sudah sampai!” Jawab Dokter Doni dengan berjalan keluar dari mobil untuk bergegas menemui Suster Rita, “Iya, Suster ada dimana sekarang?” Jawab Suster Rita “Dokter di kamar melati nomer 22 lantai 3 Dok!” Jawab Dokter Doni dengan memegang tas koper berisi perlengkapan kedokteran dan menuju kantor tempat Ia bertugas di rumah sakit tersebut, “Ya, terima kasih Suster Rita tolong nanti dampingi saya saat memeriksa kondisi dan keadaan pasien di kamar melati Suster!” Jawab Suster Rita “Baiklah Dokter Saya tidak akan bergegas pulang awal, Saya akan membantu Dokter hingga selesai.”
Dokter Doni menuju ruang kerjanya dan segera berganti baju dengan seragam tugas kedokterannya, serta mengisi daftar absen saat Ia harus menjalankan tugas atau tugas tambahan seperti yang Dokter Doni alami saat ini. Setelah selesai berganti baju, Dokter Doni segera menaiki elevator dan bergegas menuju lantai 3 tepat di kamar melati nomor 22. Suster Rita dan Aku segera menghabiskan roti isi dan susu hangatnya dan segera menjemput Dokter Doni, Kami menunggu di depan kamar dimana Ibuku sedang dirawat di rumah sakit tersebut.
Setelah 2 menit berlalu akhirnya datang, terlihat dari jauh Dokter Doni berjalan dengan cepat Kami segera melambaikan tangan Kami agar Dokter Doni mengetahui keberadaan Kami. “Terima kasih Dokter mau datang selarut ini hanya untuk memeriksa atau merawat pasien Dokter.” Jawab Dokter Doni “Ini adalah kewajibanku Suster, sekarang ayo kita bergegas masuk untuk memeriksa keadaan pasien kita Sus, oh ya Dek Kamu harus menunggu di luar sementara Kami sedang bekerja!” Mereka segera bergegas masuk ke dalam kamar rumah sakit dan memeriksa keadaan Ibu Yusuf.
30 menit kemudian Dokter Doni membuka pintu dan Suster Rita memindahkan Ibu Yusuf ke ruang ICU karena Ibu Yusuf sedang menghadapi koma, dengan ekspresi yang sangat sedih dan menangis Yusuf bertanya kepada Dokter dan Suster Rita “Suster…! Dokter…! Mau di bawa kemana Ibuku, apakah Ia baik-baik saja?” Jawab Suster Rita dengan mendorong tempat tidur di mana Ibu Yusuf sedang terbaring koma “Ibumu harus dibawa ke ruang ICU, keadaanya semakin memburuk Ia sedang dalam kondisi koma dan keritis jika tidak segera ditangani Ibumu sudah berangkat!”
Kami Segera masuk ke ruang ICU, sementara Dokter dan Suster sedang menrawat Ibu, Aku menangis sendirian di tengah hujan lebat mendera lapangan belakang rumah sakit, Aku memikirkan keadaan Ayah dan Ibu “Ya Tuhan, mengapa Engkau memberikan masalah dan ujian sebesar ini, Ayah harus mencari pekerjaan tambahan dan utangan uang, Ibu harus menderita karena pendarahan, serta mengapa kebahagiaan keluargaku Kau ambil, serasa lebih baik mati daripada hidupku menjadi beban dan tidak berguna untuk apapun, mengapa Tuhan kau lakukan semua ini kepada kami?” Aku menangis dengan sangat kencang, hendak mengakhiri hiduku Aku berniat untuk gantung diri, tetapi Aku berpikir bagaimana keadaan Ayah dan Ibuku kelak tanpa Aku, akhirnya Aku mengurungkan niatku dan kembali ke rumah sakit, dan membersikkan diriku. Kini entah pergi kemana Ayah sekarang, Aku ingin melihat bagaimana keadaan Ayah. “Ayah cepatlah kembali dan bawakan kami kebahagiaan yang dulu pernah hilang dari keluarga kita, Ayah!”
“Ya, Tuhan kemana akan Aku cari pekerjaan untuk membayar semua perawatan Istriku dan nafkah keluargaku?” Ayah berjalan terus menyusuri kota hendak pulang kembali ke desa dengan menaiki sepeda tua itu. Dengan ekspresi wajah yang sangat sedih dan tubuh basah terguyur hujan. Ayah mencari pekerjaan di setiap sudut kota tetapi tidak ada pekerjaan apapun yang Ia temukan.
Pada pukul 23:45 Ayah berjalan melewati perumahan sambil menuntun sepeda tuanya itu, di sana Ayah melihat ada segerombolan perampok yang hendak merampok rumah yang sangat mewah “Sepertinya itu rumah milik orang kaya, tapi kasihan orang itu rumahnya dirampok, mending Aku bantu kasihan kalau uangnya dan hartanya dicuri.” Ayah berkata dalam hatinya.
Tanpa pikir panjang Ayah melihat ada batu bata di sebelahnya dan ada orang-orang yang sedang meronda malam Ayah langsung melempar batu bata itu hingga mengenai kaca rumah orang yang kerampokan tersebut. “Hei, lihat itu ada ada apa ya ribut-ribut?” teriak salah seorang dari tim ronda malam. “Rampok…! Rampok…! Rampok…!” Teriak Ayahku dengan sangat lantang dan keras. Tim ronda malam pun segera berlari dan 2 orang perampok tersebut kaget dan tidak bisa berkutik, pemilik rumah pun terbangun dan segera menelepon polisi. Ayah segera memberitahu tim ronda untuk membangunkan warga yang lain, Ia sendiri berjaga-jaga jika rampok itu keluar dari rumah ia segera melemparkan batu bata tersebut kepada perampok itu. Kedua perampok tersebut berhasil keluar dari dalam rumah orang kaya tersebut, dan Ayah perlahan-lahan menuju ke samping mobil pick-up yang dibawa untuk merampok rumah orang kaya itu. “Drub…! Brakk…! Krek…!” Ayahku segera menghantam batu bata itu ke kepala perampok tersebut, ternyata perampok yang satunya membawa pistol, dan Ayah tidak mengetahuinya. Tiba-tiba Ayah disandera dari belakang dengan perampok yang menodongkan pistol di kepala Ayah. Ayah melakukan perlawanan dengan memutar pergelangan tangan perampok yang membawa pistol tersebut dan menggigitnya. Pistol perampok itu jatuh dan Ayah segera merebutnya, Ayah mengembalikan serangan dengan menodongkan pistol ke arah 2 perampok tersebut.
Cerpen Karangan: Antony Victorio Suwondo Facebook: facebook.com/tony.suwondo.3 Nama: Antony Victorio Suwondo Umur: 16 th