Rumah sederhana dengan dinding bambu yang dianyam itu terlihat sepi… seperti tidak ada suatu tanda-tanda kehidupan manusia di dalamnya. Hanya ada suara yang menggema dari mulut beberapa ekor jangkrik yang menembus gendang telinga. Entah berapa lama lagi malam ini akan menjadi sunyi bagi seorang nenek renta yang kini tengah berbaring menikmati desiran angin yang membelai kulitnya dengan lembut. Menurut nenek Minah, malam saat itu enggan untuk menjadi pagi… Menjadi hari dimana ia berjalan mengitari perkampungan untuk mendapatkan sejumput uang dengan menjadi pedagang kue yang ia buat sendiri dengan tangannya yang sudah mulai berkeriput.
Nenek Minah tidak pernah menunjukan bahwa dia lelah menjadi seorang pedagang kue kepada Mira, cucu semata wayangnya yang kini tengah duduk di bangku SD kelas empat. Pahlawan yang berperang melawan penjajah selama ratusan tahun aja tidak mengeluh, kenapa nenek harus mengeluh. Toh kita tinggal nikmatin aja kan?, begitulah jawaban nenek Minah ketika ia ditanya tetangganya,
Setiap matahari kembali muncul dengan senyum ramahnya, nenek Minah berjualan kue mengelilingi kampung perumahannya. Ia melakukan semua itu supaya bisa membiayai sekolah Mira, cucu semata wayangnya. Hampir setiap pagi nenek Minah selalu bangun pagi mendahului ayam jantan yang biasanya berkokok. Ia bangun dan langsung menuju tempat dimana dia bisa menyalakan api dengan korek dan sepotong bambu utuh sepanjang dua puluh sentimeter untuk menghidupkan api di tungkunya yang masih dalam keadaan dingin. Sebenarnya dulu ia mempunyai kompor gas yang pernah diberi oleh pemerintah, tapi belum satu tahun berjalan kompor itu sudah tidak bisa dipakai. Ada beberapa masalah yang sering terjadi dengan kompornya. Membuat nenek Minah enggan untuk memakainya.
Angin sepoi-sepoi menampar pipi keriput nenek Minah saat ia berjalan melalui jalan berbatu kerikil tanpa alas kaki di tengah sawah. Fisiknya memang terlihat tua, tapi tidak dengan jiwa pekerja kerasnya. Saat ada seseorang yang ingin membeli dagangannya, nenek Minah berhenti lalu meletakkan tampah yang biasa ia bawa sebagai tempat kue-kuenya itu. Ia meminta pelanggan untuk memilih sendiri kue yang seperti apa yang ingin mereka beli. “Nek, kok kemarin saya tidak melihat nenek dagang?” tanya salah seorang pembeli. Nenek Minah hanya tersenyum lalu mengelap kasar air asin yang sudah menganak sungai di bagian pelipisnya. “Kemarin saya sedang tidak enak badan bu, maaf,” jawab nenek Minah ramah.
Mira hari ini mendapatkan mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang pekerjaan orangtua. Mira sedih, raut wajah polosnya seketika berubah menjadi muram ketika ditanya gurunya mengenai pekerjaan orangtua, Mira hanya bisa menangis lalu pergi ke luar kelas masa bodo.
Begitu ia sampai di rumah dan melihat neneknya sedang duduk sambil menyesap kopi yang masih dipenuhi kepul asap di atasnya, ia langsung mengutarakan pertanyaanya. “Nek, pekerjaan ayah Mira apa sih? Kok nggak pulang-pulang? Ayah nggak sayang Mira ya? Sampe ayah nggak mau ketemu?” Mira meletakkan bokong mungilnya di kursi panjang yang terbuat dari kayu sederhana karya Pak Bowo, tetangga sebelah. Nenek Minah mengelus-elus rambut Mira yang panjangnya sebahu. “Kenapa Mira bertanya seperti itu sama nenek? Siapa bilang ayah nggak sayang Mira? Ayah pasti sayaaaaang sekali sama Mira. Di dunia ini, nggak ada orangtua yang nggak sayang sama anaknya. Mira liat itu?” Nenek Minah menunjuk ayam betinanya yang sedang mencakar cakar tanah berdebu di depan rumahnya, berharap ada secuil makanan untuk dimakan bersama dengan anak anaknya. Mira mengangguk. “Mira sama seperti anak ayam itu, ibu ayam aja sayang sama anaknya. Masa ayah nggak sayang sama Mira. Ayah itu sedang bekerja buat sekolah Mira. Kayak ibu anak ayam itu. Mira ngerti kan maksud nenek?” tanya nenek Minah, memastikan bahwa ucapanya tadi dapat dicerna oleh cucu semata wayangnya.
Tahun ketiga setelah Darmin, ayah Mira pulang dari tempat mengadu nasibnya, nenek Minah menjadi berhenti untuk berjualan kue. Tubuhnya yang semakin dimakan usia kini hanya berbaring lemah di atas tempat tidur yang terbuat dari kayu sederhana. Hanya saja di atas lapisan kayu itu terdapat sebuah kasur yang tebalnya tak seberapa. Yang hanya bisa untuk mengusir rasa pegal di bokongnya yang semakin renta.
Darmin memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, setelah dulu ia diberi kabar oleh tetangganya bahwa nenek Minah sedang sakit. Akhirnya setelah kepulangannya dari kota metropolitan itu, Darmin berusaha untuk membuka kedai Mie ayam sayur yang ia dapat dari hasil perasan keringatnya saat di Jakarta.
Ketika senja di barat bermetamorfosa menjadi malam yang gelap, Darmin mulai menanak nasi dengan tungku yang ia buat sendiri dengan semen untuk makan Mira dan juga nenek Minah. Mira yang tadinya sedang asik bercanda ria dengan sang nenek kemudian ikut turun ke dapur dan membantu ayahnya menunggui api di tungku yang menyala merah.
Tuhan memang adil, disaat nenek Minah sudah berbaring lemah di atas kasur rentah, bisnis yang dilakoni Darmin berjalan dengan lancar. Semakin hari warung yang ia bangun hanya dengan karung lebar dan beberapa potong bambu laris terjual. Nenek Minah senang mendengar kabar itu. Syukurlah, kalau ada orang mengatakan hidup itu bagai roda yang berputar, sekarang saya percaya. Karena saya sudah membuktikannya…
Pada bulan ketiga setelah warung Darmin laris diserbu pembeli, Darmin memutuskan untuk merenovasi rumah tuanya yang pasti sudah bocor saat hujan menabraknya dari atas langit. Atapnya yang terbuat dari beberapa lembaran seng, kini ia ganti dengan genteng sederhana yang cukup untuk menahan literan air yang turun dari balik awan. Dinding yang semula terbuat dari beberapa lembar anyaman bambu, kini sudah ia ganti dengan tumpukan batu bata yang memperkokoh rumah baru dan tetap sederhana itu.
Perlahan, usaha yang setiap hari ia tekuni itu melesat seperti roket. Sekarang Darmin sudah bisa membuka cabang dagangannya sampai ke luar perkampunganya. Selain itu ia juga sudah bisa memperkerjakan beberapa karyawan untuk membantunya bekerja. Nenek Minah selalu mengatakan pada anak menantunya itu, “Kalau kamu nanti sudah sukses, kamu jangan lupa sama Gusti Allah ya? Nanti kalau kamu sudah tua kayak Ibu, kamu juga akan ngomong hal yang sama ke anakmu.” Ia mengatakan itu sambil menyesap seduhan kopinya yang terlihat masih mengepul. “Insya Allah bu. Ibu makan dulu ya? Saya sudah buat mi ayam special khusus buat Mira sama Ibu.” Darmin menunjukan hidangan mie ayam yang sudah tertata di meja kayu itu. Tepatnya di ruang tengah biasa keluarga nenek Minah menerima tamu.
“Pak kalau nanti Mira ditanya bu guru lagi apa pekerjaan ayah Mira, Mira udah bisa jawab. Iya kan nek?” kata Mira gembira sambil sesekali memasukan sesendok kuah mie ayam rcikan tangan ayahnya sendiri. Nenek Minah dan Darmin tertawa, lalu mengelus puncak kepala Mira.
Seperti kebanyakan. Semakin tinggi pohon, semakin tinggi pula angina yang menerpa. Begitu juga usaha yang Darmin alami. Setelah beberapa tahun usahanya berjalan dengan mulus tanpa rintangan, kini usahanya telah gagal dalam sekejap. Ia menandatangani sebuah surat pernyataan yang diberikan oleh pegawainya yang bilang bahwa pernyaataan itu adalah kontrak antara dirinya dengan karyawanya. Ia tidak sadar bahwa dirinya telah tertipu oleh karyawan sekaligus tetangganya sendiri. Dengan perasaan geram Darmin mendatangi rumah tetangga yang beberapa hari lalu memberikaan suratnya itu kepadanya. Namun… nihil tetangganya sudaah pergi entah kemana seperti angin.
Akibat kejadian itu Darmin terserang stress hebat. Setiap hari ia hanya bisa menyesali kejadian waktu itu. Dimana ia memberi secoret tanda tangannya kepada orang yang sebenarnya sudah ia kenal baik sejak lama. Ia terlalu percaya dengannya. Dan saking percayanya, ia sampai tidak memperhatikan apa isi surat yang diberikan kepadanya. Ahhh… Nasib memang selalu begitu. Sepertinya baru saja menikmati hasil peraan keringatnya, tapi nasi memang sudah menjadi bubur.
Pohon nyiur yang berdiri kokoh di depan rumahnya melambai lambai ketika ada angin lembut yang sengaja menggodanya. Dari jendela rumahnya, Mira menatap lurus Darmin yang sedang sibuk dengan pikirannya. Nenek Minah juga turut gubdah melihat menantunya terpukul, terbantai, bahkan mungkin hancur. Tapi dia tau butuh waktu untuk bisa mengubah semua itu menjadi seperti sedia kala.
Dengan langkah lemahnya, nenek Minah berjalan mendekati Darmin yang sedang duduk di depan rumahnya. Darmin yang menyadari keberadaan ibu mertuanya itu langsung tersadar dari lamunannya. “Ibu,” kata Darmin mengubah posisi duduknya. Nenek Minah tersenyum melihat menantu yang selalu ia banggakan itu akhirnya bisa kembali menciptakan rona senyum di wajahnya. Tapi walaupun begitu, nenek Minah tau, Darmin melakukan itu hanya agar ia tidak merasa cemas dan khawatir. Ia tau, bahwa di dalam lubuk hati Darmin yang paling dalam, ia menjerit. Oh tidak… Mungkin saja menangis tersedu sedu, kehilangan semuanya yang sudah ia rintis dari nol itu tidak mudah, sangat tidak mudah. Jangankan itu, terkadang kehilangan uang lima ribu saja kita sudah menggerutu tak menentu.
“Semua pekerjaan pasti ada resikonya Nak,” kata nenek Minah mengelus punggung Darmin. Darmin mengangguk paham. “Saya hanya butuh waktu bu.” Darmin menatap wanita tua yang kini duduk bersamanya itu. Disaat kelopak matanya sudah mulai mengeriput, dan giginya yang tadinya utuh kini perlahan mulai runtuh, ia masih bisa menyemangatinya dengan kalimat- kalimat bijak yang menenangkan. “Ibu dulu punya sahabat pena. Dia pernah seperti kamu. Dia sudah menjadi pengusaha martabak manis sukses, tapi tidak lama setelah itu usahanya bangkrut dalam sekejapan mata gara-gara tertipu.” Darmin terdiam tetapi masih menyimak perkataan nenek Minah. “Awalnya ia memang tak menyangka akan ada orang yang tega melakukan itu kepadanya. Tapi akhirnya, ia sadar sedekat dekatnya kita dengan seseorang, kita harus tetap berhati-hati. Karena bisa saja orang yang paling dekat dengan kita ternyata malah musuh terbesar kita.” Darmin mengangguk. “Terus, apa dia jatuh miskin?” tanya Darmin. Nenek Munah menggeleng. “Dia bangkrut. Tapi karena dia bangkit dan bangun dari keterpurukannya, akhirnya ia kembali menjadi pengusaha martabak manis yang sukses.” “Kamu mau terus begini? Mau mengalah sama nasib?” tanya nenek Minah. “Saya nggak mau melawan nasib bu. Kan itu sudah menjadi kehendak Tuhan.” Darmin mengelus hidung mancungnya. “Melawan nasib, bukan berarti kita tidak menerima nasib kita. Kita memang disuruh untuk menerima nasib. Tapi nggak ada salahnya kan kalau di coba lagi?” jelas nenek Minah. Darmin mengangguk.
Setelah satu tahun Darmin menekuni usahanya lagi, manatanya lagi, Darmin akhirnya bisa menjadi seorang pengusahaa mie ayam yang sukses. Kini ia sudah mempunyai lima belas cabang warung mie ayam dan dua puluh orang pekerja. Kehidupanya kini pun berubah. Tetapi tetap saja ia masih menerapkan kesederhanaan dan bersedekah dengan orang orang di sekitarnya. Ia sekarang tau, kalau usaha memang tidak akan menghianati hasil.
SEKIAN
Cerpen Karangan: Lifian Rahmah Andriani Blog / Facebook: Lifian Rahmah Andriani