Seketika dia tergeletak tak berdaya. Seluruh badannya menjadi kaku. Suaranya pun sudah tak dapat lagi melantunkan namaku. Tak ada ekspresi sedikitpun. Hanya kedipan matanya saja yang menjadi harapan terbesarku. Pun kembang-kempis perutnya yang kulihat masih bergerak sepertiku. Kupanggil Ia berkali-kali. “Mamaaa.. maa, ini fatiha ma. Mama dengar fatiha kan?”. Tak ada jawaban dari kata yang ingin kudengar. Hanya kelopak matanya saja yang seakan ingin menjawab tanyaku. Air sungai yang keluar dari kedua hulu mataku tak dapat dibendung. Kencang-sekencang-kencangnya aliran arusnya sungguh tak dapat kuhentikan. Pikiran carut-maut, tapi tetap dengan harapan besar bahwa Ia akan baik-baik saja.
Sebelumnya, namaku Nurul Fatiha. Panggilanku sesuai kehendak hati mereka saja. Tapi yang paling adem kudengar panggilan mama kepadaku, yaitu Fatiha. Beliau adalah malaikat yang dititipkan kepadaku dan menjelma sebagai seorang ibu, dan Ia kusebut Mama. Kasih terdalam, cinta sejati, makanan terenak, tangisan tertulus, perhatian terluap, repetan terenyah, teman curhat terbaik, banyak lagi hal lainnya yang kudapat selama kami hidup bersama. Dia terbaik dari yang terbaik. Dia terindah dari yang terindah. Aku mencintainya karena Allah.
Hanya sampai semester capek saja dia temani hidupku, semester 7 (tujuh). Sedikit lagi seharusnya dia mendampingiku di wisuda. Membayangkan dia memakai kebaya serupa denganku. Melihat tangisan harunya karenaku menyertakan moment bahagiaku bersamanya. Tapi nyatanya semua pupus begitu saja. Setelah Tuhan menjawab doaku untuk kesembuhannya. Walau tak sesuai harap yang kuinginkan. Dia menyembuhkan malaikatku. Mengangkat penyakitnya, serta ruhnya. Tepat! Dia pergi pada 30 Agustus 2017. Tepat pula 2 (dua) hari setelahnya seluruh muslim merayakan idul adha. Tapi Ia sudah tiada. Itulah kenyataannya.
Seketika langit mengandung mendung. Gemuruh di sekelilingku lebih sangar dari badai biasanya. Patah hatiku sepatah-patahnya. Kacau hidupku sudah tak tentu arah. Lupa bagaimana cara tertawa. Senyumpun pergi yang tak dapat kucegah. Lalu jiwaku mati bersamaan jasadnya terkubur ditusuk nisan seadanya. “Sakit sekali Tuhan!” (keluhku dalam hati). “Diriku belum wisuda, nikah, punya anak, menaikkannya haji dan banyak lainnya ya Rabb. Kenapa Engkau jawab doaku dengan jalan seperti ini Tuhan? Masih banyak inginnya yang belum kuwujudkan. Kenapa berat sekali Tuhan?” ocehan yang tak tahu diri kulontarkan kepada Sang Maha Perencana Segala Sesuatunya. Tapi tak ada jawaban apapun kudengar. Tidak sedikitpun. Atau aku hanya keliru. Dia sebenanarnya menjawab semua tanyaku.
3 (tiga) hari sebelum Beliau pergi untuk selamanya. Seperti biasa, aku ikut mengantar mama ke tempat terapinya di dekat rumah bersama ayah. Tarik tiga dengan kereta bututku yang selalu mengantar mama ke tempat terapinya itu. Sebelum pergi, dia kupakaikan baju kurung hijau dan jilbab hijau dari kado ultah yang kuberi untuknya 3 (tiga) tahun yang lalu. Sedikit dia berbicara “jangan pakai celana ini” (sambil dia memegang legging yang biasa kupakaikan untuknya). Benar.. semenjak dia jatuh untuk kali ketiga. Dia langsung tidak bisa bangkit sendiri. Badan sebelah kanannya kaku, dan dia mengalami struk separuh. Cakapnya masih teratur, tapi agak terbata karena lidahnya seperti tertarik ke dalam tenggorokannya. Tapi akulah orang satu-satunya yang paling baik menerjemahkan kalimat-kalimatnya. Dia sering menyebutku “pelawak”, ya mungkin karena aku senang melihatnya tertawa. Jadi, seribu satu cara aku lakukan untuk mendapatkan tawanya. Tapi di hari Senin itu, aku sudah tak temukan tawanya. Dia sedikit berbicara. Sebab kuajak bercakap pun, dia hanya melihatku saja. “Maa.. jangan tenggak kali kepalanya” dan dia hanya menatapku saja. Di detik itu aku sedang tak memikirkan apa-apa. Sampai akhirnya dia kutinggal dengan Ayah. Karena aku balik ke rumah mau membereskan pekerjaan rumah seperti biasa. Dan harapku baik-baik saja.
Sekitar 10 (sepuluh) menit aku di rumah. Ayah datang tergesa-gesa menyampaikan berita luka, hingga berujung duka. “Nurul! Maya! (nama adik pertamaku) Kalian lihat mamak kalian itu, uda sekarat dia disana. Cepaattt!”. Sesaat kekacauan datang menggebu, kaki gemetar tak menentu. Jeritan dengan nada yang aku gak mau tahu. Dengan cepat dan tak beraturan, kaki melangkah tergopoh. Tak kuhiraukan apa yang kulakukan sesaat sebelum ayah datang membawa kabar itu. Pikirku sudah tak menentu, hati terus berdoa untuk kebaikan dirinya. Berusaha tetap positif, bahwa dia tetap ada mendampingi hari-hariku.
Akhirnya sampai pada tujuan. Aku berlari sekencang-kencangnya untuk lebih dulu melihat mamaku. Dan dia sudah layu, diam penuh kata. Menangis tapi air jernihnya sudah habis. Ingin merangkulku, tapi dayanya sudah tak ada kinerja. Ucapku berulang kali “Maa.. ini Fatiha ma. Mama dengar Fatiha kan?, maa.. lihat Fatiha ma.. Fatiha disini ma. Maa..”, tapi tak ada yang kudengar sedikitpun dari mulutnya. Hatiku hancur, hancur sehancur-hancurnya. Pikiranpun sudah tak jelas arahnya. Tangispun memecah saat dia mengalami kejang yang berkepanjangan. Seketika aku ingin meredakannya. Kubacakan yasin agar Ia sedikit tenang. Berulang kali, sampai dia benar-benar melepas lelahnya. Alhamdulillahnya, Allah menenangkannya.
Ayahpun langsung mengambil alih, dan membawanya pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah, kami gelarkan kasur di ruang tamu agar lebih luas berjaga demi mama. Tak hentinya kami bergantian untuk tetap mengaji di sampingnya. Meminta pertolongan Pemilik-Nya agar sadar dari komanya. Pun airmata hampir berganti darah sebab tak ada jeda melihat Ia tergeletak tak berdaya. Menangis, terus menangis. Dan aku takut untuk berfikir bahwa Ia akan pergi. Tidak sama sekali. Aku sangat takut untuk berpikir semacam itu.
Sebelumnya mama pernah bicara kepadaku, bahwa Ia tak mau dibawa ke rumah sakit. Sebab Ia tak mau mendengar penyakit-penyakit yang dideritanya dan akan menambah deritanya. Maka itu, kami anak-anak dan suaminya tak membawa mama ke rumah sakit. Yang ujungnya bakal diletak di ruang ICU dan hanya satu per satu yang dapat menjaganya di ruang itu. Pernah Ia berkata kepadaku “Nanti kalau mama mau pergi, Fatiha ya yang nuntun mama”. Seringnya aku menghiraukan perkataan semacam itu. Karena aku selalu menentang takdir bahwa Dia harus hidup lama bersamaku. Tapi takdir tetaplah takdir. Tak ada yang dapat menentang yang punya kuasa. Ialah Allah Swt.
Tapi syukur Alhamdulillah nya, rejeki kami semua mengantarkannya dan menuntunnya sesuai jalan Allah hingga ke peristirahatan terakhirnya. Semua berjalan lancar, tak ada kendala sedikitpun. Beberapa jam saat malaikatku mau diajak malaikat Allah terbang ke arsy nya. Kami sekeluarga membacakan yasin untuknya, demi kesembuhannya. Dalam hati aku berkata “Ya Allah jika ini memang sudah jalannya, ambil dia dengan tenang, agar dia tak merasakan sakit lagi ya Rabb. Tapi sebenarnya yang kumau, sembuhkanlah Ia ya Allah. Angkat semua penyakitnya, jika bisa beri sehatku untuknya dan sakitnya untukku ya Rabb. Aku ikhlas dengan ketentuanmu”. Walau sebenar-benarnya ikhlas itu tidaklah mudah bagiku. Hingga akhirnya Allah menjawab doaku yang terucap tanpa inginku.
Seketika hening, ustad yang menuntut yasinan itupun diam saja, dengan senyum sedikit tergaris di bibirnya. Sempat ku bertanya, “Ustad.. mama masih ada kan ustad?” dan aku dimarahi ibukku, “Apanya cakap si Nurul ini, gak boleh ngomong gitu, kak Henny (nama mamaku) masih ada kok”, dan ustad pun tak hiraukan pertanyaanku. Pun Ia tak melerai kami beradu kalimat tadi. “Ada apa ini? Kenapa ini? Ayolah maa, bicara! Gerakkan tangan mama” (ocehan yang bergemuruh di hatiku). Hingga akhirnya aku membelakangi mereka semua, demi mencari jawaban tentang keadaan ini. Seingatku, nenek dan adik mama atau tepatnya ibukku sudah jatuh pingsan sesaat melihat Beliau mengucap “Allah” di penghujung mautnya, dan tangan kanan yang semula kaku seketika bergerak ingin meletaknya di atas perutnya. Subhanallah.. sungguh tenang jalannya. Sungguh baik kepergiannya. Insyaallah husnul khotimah sebut ustad yang menyaksikan kejadian itu. Alhamdulillah jika begitu. Surga untuknya, Amiin.
Aku lelah dan tidur di sampingnya, walau mata tetap saja ingin berlinang mengeluarkan air yang sudah kering. Bukan lelah karena mengantuk, tapi lelah karena menangis tanpa jeda. Semua laki-laki yang ada membereskan setiap sudut rumah. Agar besok menyambut orang-orang berdatangan untuk melihat mama terakhir kalinya. Tapi aku, tetap saja masih bertanya-tanya. “kalian semua sedang apa? Kenapa semuanya heboh. Mamaku sedang istirahat, jangan berisik” encamku dalam hati. Hingga besoknya mama tetap tak mau berbicara kepadaku, lelap sekali Ia tidurnya. Sampai kebisingan orang di sekitarnya pun tak dapat mengusik istirahatnya. Pun aku tetap belum percaya bahwa Ia telah pergi tanpa pesan apapun untukku. Sampai detik kutuliskan cerpen ini, aku masih berharap jika dia mati suri. Entahlah.. entah pikiran apa saja yang kuciptakan. Aku tahu Allah tak suka, tapi aku hanyalah manusia biasa yang sangat biasa saja.
Setelah melaksanakan zuhur, ada lebih 70 (tujuh puluh) orang yang bertahan di mesjid untuk lanjut menyolatkan mamaku. Seluruh tubuh masih dalam keadaan rapuh, pengen jatuh. Tapi ini belum selesai, masih ada tahap akhir untuk menyelesaikan fardhu kifayah ini. Aku tak ingin jauh darinya. Dia tetap di sampingku, di dalam ambulan. Kupeluk ia diatas kerandanya, namun tak ada gerakan sedikitpun. Iya.. mungkin dia benar-benar telah pergi dan tak ingin kembali. Dan separuh jiwaku pun ikut mati.
Perlahan lahan aku melangkahkan kaki untuk mengantarnya ke pusara yang sudah menganga untuk menjamunya dari bawah liang kubur. Di detik itupun aku belum percaya dengan semua yang kulewati. “Bangunkan aku cepat ya Rabb, dari mimpi buruk yang panjang ini. Aku tak ingin tidur lelap jika mimpi ini yang kudapatkan. Ayolah bangunkan aku!”, berseru tak karuan dalam hati dan fikiranku. Tapi nyatanya, aku tidak sedang tertidur. Ini semua bukanlah mimpi buruk yang berkepanjangan. Aku benar-benar sedang dalam cerita, dan mama memang benar telah tiada.
Singkat kali jalannya, dia dilepas begitu cepat kurasa. Mereka menurunkannya dengan teratur. Pun lututku gemetar tak mau henti hingga teratur pula aku terjatuh. Sahabat-sahabat yang membopongku sampai lelah menghadapi aku yang tak ringan dan tak henti untuk menangis. Tak kuhiraukan siapapun disitu. Fokusku hanya pada mama yang tak lagi akan kulihat selamanya. Ketika Ia sudah mencium tanah. Seketika papanpun ikut menjadi pelengkap tempat tinggalnya. Aku panggil Ia, “MAMAAAAA..”, pun aku tak dapati sautannya lagi. Ingin rasa aku masuk ke dalam lubang itu. Menemaninya, menghapus airmatanya, memberinya minum, menyuapkannya makan, membawanya berbicara, mendengarkan keluhannya, mengajaknya tertawa, apapun yang biasa aku lakukan di rumah sebelumnya. Tapi apa daya, alam beserta isinya menahanku untuk tak ikut bersamanya. Mereka bilang bahwa Ia sudah Allah yang jaga. Ia tak perlu bantuan lagi untuk itu semua. Sebab Ia telah sembuh, badannya tak lagi kaku. Pun jiwaku sudah mati pada detik itu.
Alhamdulillah kuasa Allah, jalannya baik. Aku sangat bersyukur atas-Nya. Dia selalu punya rencana dibalik rencana. Ada rahasia dibalik rahasia-Nya. Dan aku percaya bahwa ini terbaik buat semua. Walau kadang ada saja hati yang kurang dewasa menyurat tak ikhlas. Baik untuk mama, dia sembuh. Tak harus menjerit lagi setiap kali memanggil anak-anaknya yang terkadang membuatnya lelah hingga berujung jeritan kesal. Baik untuk kami buah hatinya yang tak berbuat kedurhakaan karena sering mengabaikannya. Semua terselamatkan. Maka itu semua harus disyukuri. Pun pelajari arti hidup ini. Jangan dibuang sia-sia masa hidup yang sedikit di dunia ini. Karena semua telah terencana. Tak ada kematian yang bisa diundur sedetikpun. Tak adapula takdir yang sudah ditulis di Lauh Mahfuz dapat kita hapus dan ketik ulang sesuai ingin yang kita mau. Semua tinggal menunggu waktunya. Tunggu saja…
Cerpen Karangan: Nurul Fatiha Blog / Facebook: Nhurul Fatiha Itu Aim saya Nurul Fatiha, kegiatan sedang menempuh skripsi sarjana akuntansi, tetapi hobby menulis dan bernyanyi.