Hari itu aku ingin tersenyum selebar mungkin. Bukan karena ada sebuah kebahagiaan mendalam dibaliknya, aku ingin hari itu segalanya berjalan dengan lancar, tanpa aku harus melihat adanya tangis ataupun rasa sakit yang disembunyikan. Aku hanya berfikir tak seharusnya aku sedih seperti saat itu. ini adalah awal untuk memulai sesuatu yang baru, dimana aku harus belajar untuk menghadapi masalah dengan caraku, dimana aku harus memulai sendiri tanpa ada interupsi.
Tepat pukul 06.00 aku telah selesai bebenah, ada yang aneh dengan hatiku. Ya, tak seperti biasanya. Aku selalu semangat setelah habis mandi dan melihan dalam kotak riasku berbagai macam make up yang menyegarkakan. Jika dibayangkan sambil memejamkan mata rasanya mungkin akan sama seperti iklan glade pengharum ruangan. Namun tidak dengan pagi itu, aku bahkan tak berselera untuk menjamahi kotak make upku, aku juga tak merasakan segarnya ruang itu. ada sesuatu yang mengganjal yang mungkin tak aku mengerti.
“Hyuga!, sarapan dulu.. ibu akan bungkuskan nasi untuk makan siang nanti disana”. Entah mengapa aku baru menyadari bahwa kata-kata sederhana itu terasa sangat menyakitkan. aku membereskan rambutku yang baru-baru ini aku potong pendek. Aku berjalan melewati tiga ruangan, itu terasa amat sunyi dan kesepian. Pintu ruang makan itu terbuka seluruhnya seakan akan ada tamu istimewa yang hendak bergabung sarapan dengan keluargaku. Tapi bukan itu yang aku rasakan, justru aku merasa bahwa itu lebih terlihat seperti pintu yang terbuka lebar yang mempersilahkanku untuk segera keluar.
Aku berhenti sejenak. “ngapain harus ikut juga sih? Budhenya aja sudah cukup. Wong Cuma ke Solo bukan keluar negeri lagian nggak pas kalo cuma nganter kok yang ikut banyak banget. Udah di rumah aja. Nantikan ada waktu buat kesana”. Yah itulah yang keluar dari mulut ayahku. Ibuku sendiri tak boleh ikut mengantarku. Aku harus diantar oleh ayah dan budheku. Kenapa harus budhe? Kenapa bukan ibu? Entah apa yang ada di pikiran ayahku. Tidakkah mereka tahu bahwa yang membuatku berat adalah ibu. Ah! Ya sudahlah lagian tak ada gunanya jika aku menolak. Toh semua keputusanku tak akan didengar.
Aku menyendok nasi yang sudah ibu siapkan di piringku. Kepalaku menunduk, dadaku sesak, rasanya tenggorokanku tercekik aku bahkan tak sadar jika aku mulai menitikan air mata yang mungkin terlihat lebay. Aku hanya tak sanggup mellihat ibuku dan bedak yang tertera di wajahnya. Ia sudah dandan begitu anggun hanya untuk mengantarku. Bibir tipisya terlihat cantik dengan lipstik merah mudanya, mungkin seperti wanita umur 25 an. Wajahnya segar namun tak sedikitpun memancarkan kebahagiaan. Dia bahkan rela bangun pukul 03.00 hanya untuk menyiapkan kepergianku, ia juga rela berdandan seanggun itu dan aku sangat paham bahwa ibuku adalah tipikal orang yang sangat malas memoles diri. Ia bahkan tak pernah mempedulikan kulit keriputnya.
Aku tahu ibu sedang menyembunyikan perasaan pahit itu dalam-dalam. terlihat wajahnya tak sedikitpun mendongak, Ia hanya menunduk sembari menyuapkan sendok demi sendok nasi yang diambilnya. “oh ya bu, apa ibu juga membawakan aku daging sapi kurban kemaren? Aku suka rasa gurih asinnya” kataku berusaha memecah keheningan ruang makan itu. namun ibu masih terdiam sampai ia selesai menghabiskan sarapan paginya. “iya, sudah ibu siapkan. Daging dan kering udangnya ada di dapur, ambilah!. Nanti ketinggalan”.
Suara becak tetangga sudah terdengar. Ia akan mengantar aku, ayah, dan budhe ke jalan raya untuk naik bus. Ibuku sudah membawa semua barang-barangku keluar dan ditata rapih di dalam becak. Aku menatapnya dari balik jendela kaca hitam. Aku tahu mungkin hatinya berontak “ini tidaklah adil!”. aku menunggu budheku sembari mengucapkan salam dan pamit kepada saudara-saudaraku. Giliran waktuku berpamitan kepada ibu. Aku bahkan tak tau apa yang mau aku sampaikan kepadanya. Setidaknya kata-kata yang mungkin akan membuatnya tenang. Namun aku bukanlah type anak yang pandai berkata-kata semacam itu. aku terlalu datar dalam sisi mengungkapkam perasaan. Aku memeluknya. Ibuku tak terlalu tinggi jadi lebih nyamman saat dipeluk. Aku mencium kedua pipinya. “bu, aku pergi dulu ya. Doain semoga kuliahnya lancar. Doain juga semoga nggak terpengarus lingkungan”. Aku langsung berbalik begitu saja sebelum ia menjawabnya.
Aku pergi berlalu begitu saja di depannya tanpa senyum ataupun lambaian tangan. Kami sedang sama-sama menahan perasaan yang mungkin terdengar dramatis. Sekilas masih kulihat bedak dan lipstik yang ia poleskan. Itu sakit. Dalam perjalanan aku hanya diam memandang pohon yang seakan lalu namun pada kenyataannya akulah yang semakin berlalu. Aku turun dari bus membawa cukup banyak tentengan dan menuju stasiun untuk melanjutkan perjalananku.
Cerpen Karangan: Al Hyuga Blog / Facebook: Neng Kiki