Tangan seputih susu itu memasukan Macaron ke dalam toples mini bercorak stroberi. Dengan teliti gadis itu menyusun Macaron sesuai dengan warnanya. Merah, hijau, kuning, biru dan coklat. Macaron itu semakin terlihat imut dengan gradasi warna unik yang Linn buat. Pupil mata berwarna merah muda milik Linn yang seringkali diduga berwarna putih, kini terlihat berseri-seri. Hari ini, ia akan menemui orang yang berharga baginya. Yang telah memberikan hidup dan cinta dalam satu paket untuknya. Senyum di wajah pucatnya pun kembali mengembang.
“Linn, kamu di mana?” suara teriakan wanita yang lembut juga familiar itu sampai pada telinga Linn. Linn menjawab “Aku akan segera kesana!” Ia menutup toples kue itu dan meletakkannya di atas meja makan. Lalu langkah kakinya melangkah menuju asal suara tadi. Terlihat siluet tubuh wanita yang Linn cari di halaman belakang. “Ada apa, Bi?” Tanya Linn pada Bibinya ketika jarak mereka sudah dekat. Bibi menoleh dan tersenyum. “Wah, kamu sudah bersiap-siap ternyata.” Ujar Bibi melihat penampilan Linn yang sudah rapi mencuri perhatiannya. Dress yang mempunyai panjang sampai mata kaki Linn terlihat seperti gaun yang menyelimuti malaikat di depan matanya. Rambut Linn yang seputih susu juga bagai berkilauan diterpa cahaya mentari. Wajahnya yang sedikit dipoles warna merah muda akibat panasnya matahari menghiasinya dengan alami. Sungguh, siapapun akan kehabisan kata-kata jika melihat penampilan Linn hari ini. Gadis albino di depan matanya benar-benar putih. “Iya, Bi. Macaron yang aku buat sudah matang. Jika Bibi mau mencicipinya aku sudah siapkan di dalam toples biru di dapur.” “Bukan itu sayang, kamu cantik sekali hari ini.” Ujar Bibi terus terang saat menyadari Linn salah tangkap dalam mencerna apa yang Ia sebutkan sebelumnya. Dalam sepersekian detik Linn tersipu malu. Lalu tersenyum dan terkekeh. Membuat Bibi ikut tersenyum kembali. “Benar-benar mirip Naila, wajahmu dan senyummu itu.” Ujar Bibi kembali. Mendengar Bibi menyebutkan nama Ibu kandungnya, Linn menunduk. Tanpa melepaskan senyumnya sama sekali. Walaupun Ibunya bukanlah seorang albino, namun wajah Linn sama sekali tak lepas dari bayang-bayang wajah Ibunya. “Sepuluh tahun yang lalu, Ayah juga berkata seperti itu.” Suara Linn yang begitu pelan terdengar lembut. Dan mungkin saja suara Linn dapat menggelitik telinga Bibinya sehingga membuat Bibinya terpingkal-pingkal geli di usia senjanya saat ini.
Tangan Bibi menggapai kedua pipi Linn dan menengadahkan wajah Linn sehingga Bibi dapat menatap mata Linn lembut dengan penuh arti. Linn sempat kaget namun seketika terdiam menatap mata Bibinya yang ingin membisikkan sesuatu. Yang mungkin saja tak dapat diungkapkan dengan kata-kata maupun suara dan hanya dapat Linn rasakan. Begitu hangat dan memenuhi jiwanya. “Aku menyayangimu, Linn. Kamu sudah seperti anakku sendiri. Tak terasa aku dapat membesarkanmu selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia.” Bibi memeluk Linn tiba-tiba. Sangat erat, dan lagi kembali terasa hangat. Hangatnya tubuh Bibinya dan juga hangatnya kasih sayang yang begitu tulus. Linn membalas pelukan Bibinya erat “Aku juga sangat menyayangi Bibi. Di saat keadaan sulit pun, Bibi selalu ada untukku dan merawatku sangat baik. Jika tidak ada Bibi, aku sama sekali tidak tahu apakah aku masih hidup atau tidak.” Linn mengatakannya dari lubuk hati. Memang benar, jika saja hari itu Bibi tidak ada untuk merangkulnya. Linn yakin, ia akan tenggelam di hari yang benar-benar merah itu. Di sepuluh tahun yang lalu.
Kaleidoskop itu sedikit demi sedikit kembali memenuhi pikiran Linn. Begitu menyakitkan. Rasa sakit yang tak hilang walau bertahun-tahun telah berlalu. Walaupun beratus-ratus malam telah Ia lewati. Walaupun berliter-liter air mata telah jatuh. Rasa sakit itu tidak berubah. Masih membekas di lubuk hati Linn yang terdalam. Dan hari ini, Ia harus dapat menyembuhkannya. Harus. Isakan tangis Bibi dan Linn pun menjadi satu.
“Sudah lama menunggu?” Tanya Linn pada seorang laki-laki yang mematung di depan bunga Lily. Saat ini Linn sedang ada di sebuah toko bunga langganan Bibinya dan juga Linn sendiri. Laki-laki tadi yang Linn sapa menoleh dan terdiam menatap penampilan Linn, namun akhirnya berkata “Linn, akhirnya kau datang juga.” “Maafkan aku, Joe. Aku sedikit terhambat di rumah.” “Tak masalah. Oh iya, aku akan mengambil bunga pesananmu dulu sebentar.” Ujar Joe dan segera berlari ke arah belakang toko. Linn hanya mengiyakan singkat.
Pandangan Linn beredar pada rentetan bunga yang disusun dengan rapi dan cantik di sekeliling toko. Bunga Mawar dengan berbagai warna terlihat begitu indah, bunga Seruni yang kecil terlihat sangat manis, bunga Gladiol yang anggun begitu mempesona, dan berbagai macam bunga lainnya yang terlihat berlomba-lomba memamerkan keindahan khasnya beserta kesegarannya. Harumnya pun begitu memenuhi toko ini. Tak heran, banyak kupu-kupu yang masuk ke dalam toko dan menambah nilai plus keindahan bunga-bunga yang sedang dirawat.
“Kamu Linn, kan?” suara seorang wanita di belakang Linn membuatnya memutar badan. Ternyata tante Hana, ibu Joe alias pemilik toko bunga ini. “Selamat siang tante, sudah lama tidak bertemu.” Sapa Linn ramah dengan senyumannya. “Wah, iya. Kamu sedang mengambil bunga pesananmu, kan? Ck ck … Joe lama sekali.” Linn mengangguk “Tak apa tante.” “Bagaimana keadaan Bibimu? Sehatkah?” “Bibiku sehat, tante. Hanya saja sedikit bermasalah dengan gula darahnya. Aku sedikit khawatir.” “Hati-hati, kamu juga harus bantu Bibimu itu. Jangan sampai kebablasan tensi gula, lho.” “Hehe, Bibi selalu mengecek tensi gulanya setiap hari. Bibi sudah mulai menjaga kesehatannya sendiri.” Ujar Linn sambil mengingat-ingat gelagat Bibinya saat menjaga kesehatannya sendiri. Bagai mengatakan pada Linn ‘Aku dapat mengurus diriku sendiri, jangan khawatir.’
Tiba-tiba Joe kembali sambil membawa dua buket bunga “Kok Ibu sudah pulang?” “Ibu pulang lebih cepat karena urusan di rumah nenekmu sebentar. Ehk, apakah kalian janjian hari ini?” Tanya tante Hana jahil. Joe mulai salah tingkah. Linn hanya tersenyum kecil “Aku meminta Joe untuk mengantarku. Bibi bilang aku harus ditemani seseorang jika ingin bertemu dengan Ibuku hari ini.” Tante Hana tertegun sesaat. Lalu tersenyum lembut. Senyum khas seorang ibu. “Sudah sepuluh tahun juga aku tidak bertemu Naila. Ah, aku jadi kembali flashback masa mudaku.” Ujar tante Hana dengan suara renyah. Linn hanya mengangguk dan menunduk. Menyadari situasi yang agak canggung Joe segera menyerahkah buket bunga yang ia bawa pada Linn “Bunga Poinsettia yang sudah berubah jadi berwarna merah.” “Ah, iya. Terimakasih.” Ujar Linn sambil menerima dua buket bunga yang sudah Ia pesan dari Joe.
“Euphorbia Pulcherrima Linn. Nama latin dari bunga Poinsettia. Namamu diambil dari nama bunga ini, Linn.” Ujar tante Hana tak di duga. Linn hanya diam dan menatap sendu bunga Poinsettia di pangkuannya “Aku sudah mengiranya. Namun, aku sama sekali tak pernah mendengarnya langsung dari Ibu maupun Ayah.” “Ibumu dulu banyak menanam bunga ini di belakang rumahnya. Awalnya aku sama sekali tak mengerti, kenapa dia menanam bunga warna hijau yang sama sekali tak menarik di mataku. Sampai pada saat bulan Desember. Ibumu dengan semangat menunjukkan padaku bunga ini. Bunga poinsettia yang sudah berubah menjadi merah dan indah. Lalu dia mengatakan padaku, bahwa setiap bunga mempunyai waktunya sendiri untuk berubah menjadi indah.” Linn tak menunjukkan respon apapun. Hanya menunduk dan menatap merahnya helaian bunga di pangkuannya. Bentuk kelopak bunga dan daun Poinsettia memang sama. Awalnya, bunga Poinsettia akan berwarna hijau daun sebelum bulan Desember. Di saat masuk pada musim dingin dan natal. Perlahan kelopak yang berwarna hijau itu berubah menjadi warna merah menyala. Bunga poinsettia juga sering di lambangkan sebagai bunga natal. Tentu saja Linn mengetahui semua itu saat Ia masih kecil. Merawat bunga Poinsettia dengan Ibunya adalah kenangan yang tak terlupakan. Dan Linn pun tak akan pernah melupakan helaian kelopak bunga Poinsettia yang bercampur merahnya darah pada hari itu.
“Ya ampun, ternyata tante terlalu banyak bercerita, ya.” Lagi lagi tante Hana membuat suara yang begitu renyah sehingga membuat lamunan Linn buyar. “Ibu terlalu banyak bicara. Sebentar lagi siang, keburu panas nanti. Iya kan, Linn?” celetuk Joe. Linn hanya mengiyakan dengan tawa kecil yang kaku. “Oke, Ibu mengerti. Kalau begitu, jaga Linn dengan baik ya Joe. Awas kalau macam-macam.” Sifat jahil tante Hana keluar kembali. “Memangnya aku cowok apaan, bu!” Joe membalas dengan salah tingkah kembali. Dan lagi, Linn hanya tertawa kecil. “Terserah kamu saja Joe. Dan juga kamu, Linn. Tante titip salam untuk ayahmu juga, ya.” “Unn, akan kusampaikan.” Jawab Linn dengan anggukan pasti.
Linn dan Joe pun berpamitan pada tante Hana. Joe mengantar Linn dengan mobil Ibunya. Itu atas permintaan tante Hana sendiri karena khawatir dengan kulit Linn yang tidak kuat sinar matahari. Joe melirik heran kantung bawaan kecil yang Linn bawa.
“Apa itu?” Tanya Joe Seakan mengerti maksud Joe, Linn tersenyum “Ini? Isinya Macaron. Kamu mau?” Joe memalingkan wajah tak bisa menjawab dan berpura-pura fokus menyetir. Namun Linn kembali mengerti dan mengeluarkan toples kecil berisi Macaron dan memberikannya beberapa pada Joe. “Aku mengerti walau kamu tak bilang. Ini buatanku, ayo coba,” ucap Linn pada teman masa kecilnya itu. “Ya ampun kamu ini.” Joe mengambil Macaron dari tangan Linn dan memakannya. “Kamu terlalu mudah ditebak, Joe. Waktu kecil kamu juga begitu, kok.” “Susah menyembunyikan sesuatu darimu. Kuakui itu. By the way, ini enak. Makin lama kuemu mirip kue ibuku.” Linn terkekeh “Resep yang aku pakai ya resep dari tante Hana. Aku mengingat resepnya karena waktu itu tante Hana berkunjung ke rumahku dan mengajariku. Tante bilang aku tak boleh seperti Bibiku yang selalu gagal jika membuat kue.” Kini Joe yang tertawa “Aku mengerti maksud Ibu. Tapi masakan Bibimu itu sangat enak. Aku ingat omelet sayur yang Bibimu buat saat kita masih sekolah dasar. Itu omelet terenak yang pernah ada.” “Untuk anak yang selalu lari jika diberi makan sayur sepertimu?” Linn kembali tertawa. “Hadeuh, kita sudah berteman sejak sepuluh tahun lalu, Linn. Kau sudah terlalu banyak tahu.” Linn tersenyum dan menatap pohon-pohon yang berlarian di luar kaca jendelanya “Kamu benar.”
“Tapi kamu licik, Linn.” Linn tersentak mendengar perkataan Joe. Sama sekali tak bisa Ia tebak “Maksudmu?” “Kamu begitu tahu tentangku. Aku juga merasa tahu segala hal tentangmu. Tapi aku salah. Kamu terlalu banyak menyimpan rahasia sendirian.” Linn tak bisa mengelak. Itu semua memang benar. Dari dulu kepribadian Joe yang jujur dan ceria sangat Linn ketahui. Namun, Linn bukanlah pribadi yang terbuka dan ekstrovert. Sampai saat ini, Linn tidak pernah mengatakan apa yang mengganjal di hatinya pada Joe. Termasuk kejadian yang membuatnya seperti ini. “Maaf,” ujar Linn akhirnya. Mendengar itu, Joe hanya mendengus kesal. Bukan kata maaf yang Joe inginkan. Sama sekali bukan.
“Kamu sudah mendapat beasiswa ke luar negeri, kan?” “Iya…” Linn menunduk dan menggigit bibirnya. Sebenarnya Linn sama sekali tak ingin membicarakan itu untuk saat ini. Ia sudah mengatakan hal ini pada Bibinya jauh-jauh hari. Namun Ia sama sekali tak dapat mengatakannya pada Joe. Sepertinya Joe sudah mengambil start terlebih dahulu. Linn pasrah. “Kemana?” “Jepang.” “Kapan?” “Bulan depan.” Helaan nafas Joe kembali terdengar untuk yang kesekian kalinya dan akhirnya berkata “Oh.”
Atmosfer di antara mereka berubah menjadi dingin. Linn hanya diam dan Joe fokus menyetir. Walau matanya terkadang mencuri pandang pada wajah pucat Linn yang menghadap kaca jendela pintu mobil. Dan untuk sementara, Joe menginginkan keheningan ini.
Cerpen Karangan: Cannisa Ann/Snowdrop Nivalis Blog / Facebook: www.snowdropnivalis.blogspot.com Cannisa Ann A.K.A Snowdrop Nivalis