Setelah waktu yang lama dilarutkan dalam diam. Mobil mereka sampai di depan pemakaman umum. Walau heran namun Joe yakin ini adalah jalan yang Linn minta. “Disini?” Linn menjawab singkat “Iya, tolong tunggu sebentar di sini ya.” Joe hanya mengangguk. Linn mengambil satu buket bunga dan keluar dari mobil. Langkah kaki Linn memburu. Ia sama sekali belum pernah pergi ke sini sebelumnya. Ia sama sekali tak mempunyai keberanian untuk menginjakan kaki di tempat ini. Namun saat ini Linn sudah datang ke sini. Dengan hatinya yang sudah mantap.
Langkah kaki Linn pun berhenti pada sebuah makam. Di batu nisan itu tertulis ‘Naila Rosenna binti Arsyid’. Linn berjongkok di samping makam. Dan membersihkan beberapa rumput liar di atas makam. “Ibu, Linn sudah datang. Apa ibu kesepian karena selama ini aku tak datang?” bendungan air mata yang Linn tahan selama ini, kini roboh. Untuk pertama kalinya, Ia melihat kuburan ibunya. Luka dari masa lalu yang selama ini tidak dapat Linn terima kembali terasa. Apakah ia sudah dapat menerima kenyataannya sekarang? “Ibu, aku membawa bunga Poinsettia kesukaan Ibu. Aku memesannya dari tante Hana, sahabat Ibu. Lihat, bunganya kini sudah berwarna merah menyala. Ibu selalu bilang kan padaku. Jika bunga ini sudah berwarna merah, itu artinya tahun ini akan berakhir, kan? Tahukah ibu? Kalau selama ini aku selalu mencoba menanam bunga Poinsettia di belakang halaman rumah Bibi. Tapi aku selalu gagal, “Kegagalanku dalam merawat bunga itu, membuatku mengerti, bu. Aku tak dapat memberi pupuk dengan benar seperti yang ibu lakukan dulu. Aku tak dapat menyiramnya dengan benar, ibu mau tahu kenapa? “Setiap aku merawat bunga itu, aku selalu teringat bagaimana cara Ibu merawatnya. Dan sungguh, itu… itu… mebuatku sakit, bu.” Linn sudah tak dapat menahan sesegukkannya. Jantung Linn terasa seperti di remas kuat-kuat. Linn menangis sejadi-jadinya. Ia sudah menyerah menyembuhkan luka hatinya. Merawat bunga Poinsettia hanya membuatnya mengingat hari itu. Di hari yang benar-benar semerah darah. Hari di saat Ibunya mengacungkan pisau di depan matanya, berusaha membunuh dirinya kala itu. Dan di saat pisau itu berbalik menikam jantung Ibu oleh Ayahnya sendiri. Hari yang tak dapat Linn lupakan seumur hidupnya.
Ibu menderita gangguan kepribadian ambang atau dikenal dengan Borderline Dissorder. Di saat Ibu marah, kecewa, dan sedih, merupakan situasi berbahaya bagi siapapun, termasuk Linn. Ibu akan menyakiti dirinya sendiri, tapi untuk kondisi tertentu Ibu akan menyakiti orang lain. Seperti saat Linn yang masih kecil memecahkan pot bunga Poinsettia milik Ibu. Kemarahan Ibu sangat tersulut hari itu. Linn tidak dapat lari karena Ia sudah terpojok oleh Ibunya yang memegang pisau dapur erat. Linn dapat merasakan kemarahan yang amat sangat di mata ibunya saat itu. Linn terus berteriak meminta pertolongan. Sampai ketika pisau itu hampir tertancap di kepala Linn berbalik menusuk jantung Ibu. Dan orang yang melakukan itu adalah Ayahnya sendiri. Dan Linn tak pernah menerima kenyataan itu. Sampai hari ini.
Linn merasakan hangatnya tangan yang menggapai bahu Linn. Linn menoleh dan mendapati Joe yang tersenyum. Linn masih tak dapat menahan tangisnya. Joe berusaha menenangkan Linn. Mengusap-ngusap bahu Linn. Mungkin bagi Linn, Joe tidak akan mengerti penderitaannya seperti apa. Tapi, Joe bisa merasakan apa yang Linn rasakan.
Sesudah Linn menenangkan diri dan berdoa untuk Ibunya, mereka kembali berangkat. Kali ini tujuan berikutnya adalah LP Cipinang. Linn berencana mengambil sesi dua untuk mengunjungi seseorang di Lapas Kriminal. Orang yang selalu ingin Linn temui.
“Kalau begitu aku menunggu di mobil.” Ujar Joe. Yang sudah tak enak dengan suasana lapas. Linn tersenyum. “Tentu saja, aku juga tidak mengizinkanmu untuk ikut, kok.” Ujar Linn sambil nyengir. Dan dengan gesitnya berlalu sambil membawa kantung kecil yang berisi toples kecil dan sebuket bunga yang sama dengan bunga yang tadi Linn simpan di makam Ibunya.
Linn memasuki ruang registrasi untuk mengambil nomor antrian dan formulir kunjungan. Walau ini pertama kalinya Linn untuk mengunjungi seseorang di penjara, namun Linn ingat betul kasus dan blok yang harus ia isi di formulir kunjungan. Itu semua berkat Bibinya.
Setelah selesai dari ruang registrasi, Linn beranjak menuju Portir untuk mengantri. Sesuai dengan nomor antrian yang tadi Ia dapat dari ruang registrasi. Lalu Linn menitipkan handphonenya karena alat elektronik tak di perkenankan untuk dibawa.
Seusai semua barang dan tubuh Linn digeledah, Linn baru dapat keluar dari portir. Setiap langkah Linn jalani dengan hati berdebar. Bagaimana pun juga, sekarang Linn berada di sarang penjahat yang terhakimi masyarakat juga hukum. Aura mereka semua hampir sama.
Linn mendapatkan nomor bangku setelah menyerahkan formulir kunjungan. Dan kini saatnya bagi Linn untuk menunggu orang yang ingin Ia kunjungi untuk datang. Ia meletakkan Macaron dan buket bunga yang Ia bawa di meja. Entah kenapa suasana ruang kunjungan ini Linn rasa mirip dengan Foodcourt.
“Linn?” suara parau seorang pria terdengar dari belakang. Linn menoleh. Seorang pria tinggi dengan memakai rompi kunjungan mematung menatap Linn. Pria itu tertegun menatap penampilan Linn. Perawakan Linn yang cantik dan bintik-bintik merah wajahnya akibat sinar matahari begitu menyentuh hati pria itu. Dan jangan lupa, Linn sangat lain dari yang lain. Rasa bahagia yang tak dapat di ungkapkan dalam kata-kata begitu tergambar. Darahnya yang mengalir di tubuh Linn tersinkron. “Selamat siang, Ayah. Maaf, aku baru bisa datang sekarang.” Ujar Linn dengan mata yang memerah akibat menahan air mata. Ayahnya yang sangat Ia sayangi ada di depan matanya. “Linn, anakku. Satu-satunya anakku!” Ujar Ayah sambil memeluk Linn erat dengan tangis yang tak dapat terbendung. Anaknya yang terakhir kali Ayah temui sedang berumur tujuh tahun. Dengan sekejap berubah menjadi anak gadis berumur delapan belas tahun. “Ayah…” Linn membalas pelukan Ayahnya erat. “Akhirnya kamu dapat datang kesini, Linn. Maafkan Ayah yang membuat kehidupanmu seperti ini. Ayah benar-benar menyesal.” “Tidak Ayah. Semua hal yang terjadi bukan salah siapa-siapa. Aku datang kesini untuk menerima semua kejadian yang telah terjadi, Ayah.” “Tetap saja, Ayah tak dapat memaafkan diri sendiri.” “Pada awalnya, aku juga sama. Karena itu aku ingin memastikannya sekarang.” Linn melepas pelukan Ayahnya. Lalu mereka berdua duduk di tempat yang sudah disediakan. “Memastikan apa, nak?” Tanya Ayah heran. Masih dengan mata sembapnya. “Ayah hanya perlu menjawab pertanyaanku saja. Sudah siap?” Ayah mengangguk.
“Ayah, apa kemarin Ayah hidup?” “Tentu saja Ayah masih hidup, sayang.” “Apa kemarin Ayah hidup?” Linn mengulangi pertanyaannya. Ayah menyerngitkan dahi “Iya, ayah hidup.” “Apakah itu benar-benar hidup?” “Iya, itulah … hidup.” Pikiran Ayah yang melayang memberikan jeda pada kalimatnya. “Apa sekarang Ayah hidup?” “Ayah … hidup.” “Apa sekarang Ayah masih hidup?”
Ayah membeku. Pikiran Ayah mempertanyakan hal yang sama. Apakah dirinya masih hidup sekarang? Setelah kehilangan istrinya. Kehilangan kesempatan untuk membesarkan anaknya. Kehilangan status dalam masyarakat. Dan dicap sebagai penjahat. Apakah pria paruh baya yang berstatus sebagai Ayah Linn ini masih hidup? Apakah Ia benar-benar hidup? Ia sudah kehilangan segalanya! Apakah ini hidup?
Tangan Ayah bergetar hebat. Luka-luka yang Ayah abaikan selama berada di sel penjara akibat membunuh istrinya kembali terasa. Rasa sakitnya begitu nyata. Rasa penyesalan yang tak ada duanya kembali menyeruak. Hari dimana Ayah menikam istrinyalah, Ayah sudah merasa menjadi mayat hidup.
“Ayah!” Teriak Linn membuyarkan lamunan Ayahnya. Wajah Ayah yang sudah dihiasi air mata yang mengalir tanpa Ayah tahu begitu pucat. Anaknya yang saat ini berada di depannya, menggenggam tangannya kuat. “Bukan salah Ayah!” Ujar Linn dengan linangan air mata “Tidak mungkin manusia dapat menjalani suatu hal dengan sempurna. Hari esok pun, manusia akan terus melakukan kesalahan. Kita pasti akan terluka, tapi luka itu juga pasti akan segera terobati. Tapi Ayah, jika Ayah tak berkeinginan untuk mengobati luka hati Ayah sendiri. Itu sama saja dengan bunuh diri. Jadi, selama ini kemana cinta yang Ibu berikan pada Ayah? Apa Ayah membuangnya begitu saja dan digantikan oleh luka yang sebenarnya Ayah buat sendiri?”
Ayah hanya diam dalam tangisannya. Kini satu-satunya anak yang Ia punya berusaha untuk menyadarkannya. Linn mengetahui ini sejak dulu. Ayah sebenarnya bisa bebas dari tuntutan penjara karena murni ketidaksengajaan dan kondisi Ibu yang saat itu memang mengalami gangguan psikologis. Namun, Ayah memilih menyerahkan diri dan mendekam di dalam penjara untuk duapuluh tahun ke depan. Itu semua karena semata-mata rasa bersalah Ayah yang amat dalam.
Linn menyerahkan buket bunga Poinsettia pada Ayah. Ayah tertegun melihatnya. Wajah Naila, isrtinya, kembali tergambar dalam pikirannya. Senyumnya, tawanya, dan wajah kebingungannya, berputar-putar dalam pikiran Ayah seperti Kaleidoskop. Dan semua gambaran itu kini ada di depannya. Linn.
“Ayah, aku mendapat beasiswa sekolah ke luar negeri.” Ucap Linn tiba-tiba. Ayah mendongak. “Benarkah?” ucap Ayah tak percaya. “Iya, Ayah. Ke Jepang. Aku mempunyai peluang bagus di sana.” “Ayah benar-benar tak menyangka. Anak Ayah akan sekolah ke luar negeri.” Ayah kembali memeluk Linn. “Benarkan? Hidupku tidaklah hancur karena kejadian itu. Aku masih bisa melangkah. Karena itu, Ayah juga. Ayah pernah bilang, kan? Cinta itu sebenarnya suci dan tulus. Tapi, karena adanya tekanan, pemaksaan, dan kesombongan, cinta itu berbalik menyakiti manusia.” “Kamu benar, sayang. Ayah pernah mengatakan itu padamu. Dan sekarang malah ayah yang terpuruk. Terimakasih kamu sudah terlahir di dunia ini.” Ayah mengecup kening Linn.
“Kalau begitu, boleh aku menanyakan pertanyaan yang terakhir pada Ayah?” “Ayah siap menjawabnya sekarang juga.” “Besok, akankah Ayah hidup?” “Iya, Ayah akan hidup, nak. Untukmu juga Ibumu.”
Cerpen Karangan: Cannisa Ann/Snowdrop Nivalis Blog / Facebook: www.snowdropnivalis.blogspot.com Cannisa Ann A.K.A Snowdrop Nivalis