Rangga mendekap kaleng racun serangga yang isinya nyaris habis tak bersisa, sementara itu seekor kecoak di hadapannya menari gembira.
—
Hari ini adalah awal semester ganjil. Rangga melangkahkan kakinya ringan menuju kelas. Seragam putih abunya terlihat cemerlang di bawah sinar mentari pagi. Kelas 2 kemarin, seperti biasa, hasil rapor Rangga memuaskan. Ranking satu lagi. Apa yang dikatakan orangtuanya setiap semester baru selalu terngiang ngiang di telinganya. “Kamu adalah putra kami satu satunya. Oleh karena itu jangan pernah mengecewakan kami.” “Mama tidak mau kamu lengah sedikit pun, di luar sana banyak sekali yang menginginkan posisi yang kamu tempati sekarang.” “Mama dan papa menjadi seperti sekarang ini karena perjuangan kami yang sangat berat. Kamu ingin seperti kami kan? Menjadi orang terpandang, punya keahlian, disegani, dan berpenghasilan besar? Belajar dan belajar adalah kuncinya. Jangan sampai ada hal hal lain yang mengusik dan membuatmu melemah.”
Rangga terkadang merasa lelah dan bosan dengan semua yang harus dijalaninya. Les ini les itu, sesekali ingin rasanya mengalihkan pandangannya barang sejenak untuk melihat dunia. Dunia remaja yang indah. Namun ia selalu meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua itu hanyalah keinginan yang tak layak ia dapatkan. Ia tidak ingin membuat orangtuanya kecewa. Ia tidak ingin membuat rasa bangga orangtuanya luntur ketika ada pertemuan keluarga.
Pagi yang ribut. Semua orang berceloteh gembira. Saling bercerita tentang liburan yang mereka lalui dua minggu kemarin, termasuk Gery teman sebangku Rangga yang kini tengah bersenda gurau dengan Andre dan Raisa. Hanya Rangga yang duduk diam memandangi wajah wajah ceria teman temannya untuk kemudian ia goreskan di atas lembar buku tulisnya.
Lalu saat itu pun tiba. Saat dimana matanya terpaku menatap wajah seseorang yang baru saja datang bersama pak Ikhwan. “Anak anak perkenalkan, ini Sisi, teman baru kalian. Semoga kalian bisa menjadi teman yang baik bagi Sisi ya.” Ucapan pak Ikhwan disambut dengan sorak sorai teman-teman prianya. Sementara itu para anak wanita saling berbisik dengan teman sebangkunya. Sisi duduk tepat di depan Rangga bersama Reni. Lila, teman sebangku Reni, semester ini pindah sekolah mengikuti orangtuanya yang harus berdinas di luar pulau. Rangga melirik Gery yang terlihat sangat antusias dengan keberadaan Sisi, dan entah mengapa hal itu membuatnya kesal.
Rangga tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Wajah Sisi yang diterjemahkan oleh Gery sebagai wajah bidadari yang turun dari langit itu selalu menghampiri di setiap mimpinya. Padahal sampai detik ini Rangga belum pernah sekalipun berbincang dengannya. Selama ini, ia cukup puas hanya menikmati wangi rambut panjang Sisi yang selalu berkelebat di hidungnya. Mengagumi leher jenjangnya. Memandangi ikat rambutnya yang mempunyai bandul bandul berwarna pink lembut. Hal hal kecil namun bagi Rangga itu terasa sangat besar. Dan ia sangat menyukai itu semua.
Rangga menekuri lukisan indah di lembar buku yang terbuka di hadapannya. Perpustakaan selalu menjadi bungkernya ketika waktu istirahat tiba. “Hei, kamu bawa pulpen gak, boleh pinjam?” Sebuah suara merdu terdengar di telinga Rangga, namun tak membuat matanya beranjak dari halaman yang tengah ia resapi. “Rangga? Bawa pulpen atau pensil mungkin?”
Rangga menoleh ke asal suara. Ia terpana dengan seseorang yang baru saja mengajaknya bicara. “Oh iya, ini.” Rangga mengambil pensil 2B yang ada di saku kemejanya dengan gugup. “Kamu sering kesini ya? Aku perhatikan setiap istirahat kamu pasti pergi kesini. Pulang sekolah juga.” Dia memperhatikanku. Hidung Rangga kembang kempis, sementara ia hanya bisa menganggukan kepalanya kikuk. “Sedang baca apa?” Tanpa berkata sepatah pun, Rangga menggeser buku di hadapannya. Sisi tersenyum. “Eh, tahu gak, nanti siang di Galeri Serambi ada pameran lukisan dari perupa ini. Kita bisa bertemu dengan perupanya sekalian omong omong, asik kan?” Sisi menggeser balik buku itu. “Aku ingin kesana, tapi semua orang yang aku ajak gak ada yang tertarik. Bagaimana dengan kamu? Kamu tertarik gak, ke sana yuk?” Rangga sangat senang sekali dengan ajakan Sisi itu, perupa ini adalah favoritnya yang selalu memberinya banyak inspirasi, tapi di kepalanya telah menumpuk daftar acara hari ini yang pantang ia lewatkan. “Maaf, aku ada bimbel di Sigma.” Jawab Rangga datar. “Hmm, bimbel kamu jam berapa memangnya?” “Jam 3, tapi sebelumnya aku ada…” Belum sempat Rangga menuntaskan kalimatnya, Sisi lebih dulu angkat bicara. “Nah, ini namanya cocok, gimana kalau kita kesana dulu, Serambi kan letaknya di belakang tempat bimbel kamu itu kan?” Rangga mengangguk. “Jadi gimana? satu kayuh dua pulau terlampaui kan? Bayangkan kamu bisa bertemu dengan orangnya plus mengagumi lukisan dan beberapa karya instalasinya secara langsung, daripada di sini hanya melihat dari buku.” Rangga terdiam sejenak, betul juga apa yang dikatakan Sisi. Mungkin tidak akan menjadi masalah bila dia membolos barang satu kali pertemuan di Les Robotik nya, pikirnya. Rangga lalu menatap Sisi dan akhirnya mengangguk dengan pasti.
—
“Kamu telah mengecewakan Mama, seorang gadis hanya akan membuat konsentrasi kamu buyar. Seorang gadis hanya bisa mengacaukan isi kepala kamu.” Rangga terdiam, menundukkan kepalanya dalam. Ternyata Mama melihat dirinya tengah bersama Sisi keluar dari Galeri Serambi tadi siang dan itu membuat wanita itu murka. “Rangga, kamu sudah punya jadwal yang harus kamu ikuti. Mengapa kamu melanggarnya. Kami telah membayar mahal untuk kelas robotik kamu itu.” Rangga diam. Ia tahu Mamanya tidak bisa di debat. “Kamu tahu, apa yang Mama dan papa lakukan terhadap kamu adalah demi kebaikan kamu sendiri. Demi masa depan kamu. Agar kamu bisa melakukan banyak hal, menjadi yang terunggul. Dan tidak mudah ditumbangkan.” Rangga mendengus. Aku tak ingin menjadi manusia super, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri.
Sejak mamanya berbicara keras kepadanya, Rangga selalu menghindari Sisi, dan membuat gadis itu bertanya-tanya. Rangga hanya bicara seperlunya, bila Sisi mengajaknya berbincang.
Satu tahun telah dilewati Rangga dengan baik. Nilai UN nya adalah yang tertinggi di sekolah. Bukan main bangganya kedua orangtuanya. Alih alih merasa senang, Rangga justru sedih karena saat ini apa yang ia cita citakan telah kandas di tangan orangtuanya sendiri. Rangga menatap formulir pendaftaran masuk perguruan tinggi itu dengan hati yang terkoyak.
“Hei, sudah lama kita gak ngobrol ya?” Rangga terlonjak, Sisi tersenyum Awalnya ia berpikir untuk pergi dari tempat itu, namun ia urungkan. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa mungkin ini adalah pertemuan terakhirnya dengan gadis itu karena sebentar lagi mereka akan keluar dari sekolah ini untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
“Selamat ya, seperti biasa, kamu memang tak tergoyahkan.” Rangga tersenyum. “Makasih, selamat juga untuk kamu.”
Sisi melirik kertas yang ada di tangan Rangga. “Rencananya pilih jurusan apa? Senirupa?” Rangga menggeleng. “Arsitektur?” Rangga menggeleng lagi. “Lalu?” “Kedokteran.” “Oh ya? Ternyata aku salah tebak ya?” “Kamu gak salah tebak. Bila boleh memilih aku memang ingin masuk ke salah satu jurusan itu.” “Lantas kenapa enggak?” Rangga menaikan bahunya. Sisi menatap wajah murung pemuda itu. “Keinginan orangtua ya?” Rangga mengangguk. “Kamu gak ngomong apa yang kamu inginkan?” “Percuma, aku tidak berhak mempunyai keinginan. Ada yang bilang anak adalah aset. Dan aset tidak bisa berkembang sendiri tanpa campur tangan sang pemilik aset.” Sisi menggigit bibirnya. “Hei semangat ya. Walau terasa berat, orangtua kamu pasti tahu bahwa semua ini yang terbaik untuk kamu.” Rangga tersenyum kecut.
Rangga menundukkan kepalanya dalam. Sementara mamanya melontarkan kekecewaan yang sangat kepadanya ditimpali oleh papanya. Marah, kesal, kecewa mereka lampiaskan saat itu juga. Telinga Rangga sampai panas dibuatnya. Rangga tahu ini memang salahnya karena telah mengecewakan orangtuanya. Sebenarnya soal soal itu mudah saja baginya, namun entah apa yang ada di dalam pikirkannya saat itu sehingga ia menghitami bulatan bulatan yang bukan seharusnya.
“Rangga, mulai besok akan ada guru private untuk kamu. Kamu tidak ingin mengecewakan mama dan papa lagi tahun depan kan?” Rangga mengangguk lemah. “Sekarang masuk kamar. Kamu dihukum. Itulah yang pantas kamu dapatkan saat ini.” Rangga tersaruk memasuki kamarnya. Hatinya tercerabik.
Tuhan, aku lelah. Maafkan aku.
Cerpen Karangan: Ika Septi kompasiana.com/Ika Septi