“Is, nanti sore ke rumahku ya?” sebelum berangkat ke sekolah, kubaca sebuah pesan singkat dari Septi, sebelumnya Septi mengatakan kepadaku kalau mama papanya memang tidak ada di rumah setiap Kamis sore. Dan dari kemarin aku memang sudah meminta izin kepada emak, dan gayung pun bersambut. Emak mengizinkanku.
“Mak, Iis berangkat ke sekolah, habis itu nanti langsung ke rumah Septi” kucium punggung tangan emak. “Ingat pesan emak jangan sampai kamu bikin masalah di sana” “Bapak mana Mak?” sebenarnya Aku sudah tahu jawabannya. Pasti bapak sudah bekerja di ladang. Ini hanya basa-basiku saja, pasti emak tahu maksudku. “Nyari bapak atau mau minta uang?” aku hanya cengengesan. Emak memberiku selembar kertas bernominal lima ribu tersebut. Dua ribu untuk transportasi berangkat dan dua ribu lainnya untuk pulang. Tapi hari ini aku sedikit mendapatkan rezeki, soalnya waktu pulang nanti naik mobil Septi, lumayan lah aku bisa memberi makan ayam plastik yang sangat jarang kuberi makan.
Kamis, 14:56 WIB “Pak Maman, jemput sekarang ya?” Septi dengan mudah menelepon sopirnya untuk segera menjemputnya, sementara aku jika ingin pulang bisa jadi harus menunggu berbagai menit-menit, itupun belum tentu mendapatkan tempat duduk.
Dalam hitungan menit mobil berwarna hitam yang mewah itu berhenti tepat di depan aku dan Septi berdiri. “Pak, di restoran ya? aku lapar” “Siap non” kurasa Septi adalah anak yang paling beruntung. Septi cerdas, pintar, cantik dan satu lagi dia tidak sombong.
“Ayo makan!” ucap Septi, berbagai makanan dihidangkan, aku teringat Lala yang waktu itu menangis gara-gara ingin makan spageti. Tapi bapak waktu itu punya saja ide, bapak membelikan mie goreng instan dan sosis seribuan. “Nih.. spaghetti tuh cuma mie goreng ada sosisnya sama ada saosnya. Tapi Lala jangan maka saos itu dibuat dari cabe busuk” begitu kira-kira ucapan bapak. Lala yang memang masih kelas 3 SD percaya begitu saja. ia senang sekali bisa makan spaghetti ala bapak. “Iis kok senyum-senyum?” “Aku ingat adik. Dulu pengen banget makan spaghetti” “Ya udah deh kapan-kapan kalau aku main ke rumahmu kubawain. ayo makan!”
Kamis, 20:30 WIB “Papa, kapan pulangnya?” Septi tersambung dengan papanya melalui via telepon. “Aduh sayang papa lagi sibuk nih” aku dapat mendengar apa yang dikatakan oleh papa Septi “Kamu mau apa papa beliin” tanpa menjawab Septi langsung memutuskan percakapan itu. Ia menangis. “Septi, udah sep?” “Aku benci papa dia lebih menginginkan pekerjaan daripada anaknya” “Papa kamu kerja itu demi kamu kan?” “Kalau tujuannya cuma cari uang. Aku butuh berapa juta hanya untuk menikmati waktu bersamanya?” hatiku turut merasakan apa yang dirasakan Septi. Aku menyadari ayahku memang bukan orang yang berpendidikan tinggi setiap hari bekerja di ladang tapi beliau selalu mengajariku arti kebersamaan. Makan malam dengan menu seadanya, sholat berjamaah, dan kata beliau menanam jagung di kebun adalah sebuah piknik.
Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh, aku dan Septi belum bisa tidur apalagi suara kucing yang membuat kami semakin takut. Kalau di rumah biasanya bapak yang mengusir kucing dan menunggunya sehingga anak-anaknya dapat tidur dengan nyenyak. “Septi, aku takut” “Aku juga” memejamkan mata adalah cara yang kami bisa.
Keesokan harinya aku berangkat dari rumah Septi. Aku lupa buku fisikaku tertinggal di rumah, bapak dan emak tidak memiliki handphone tentu saja aku tidak bisa menghubunginya. Aku pasrah bila hari ini mendapat hukuman Bu Maya. Perasaanku berkecamuk aku takut Bu Maya yang notabene guru killer, sementara aku sungkan jika meminta Septi mengantarkanku ke rumahku. “Kok dari tadi bengong sih?” “Nggak pa-pa kok sep” alibiku
Kulihat seorang lelaki yang terseok-seok mengayuh sepeda di belakang kami. Itu bapak, kenapa bapak kesini? aku buru-buru menghampiri bapak. “Ada apa pak?” Bapak mengeluarkan buku dari kantong plastik hitam ternyata itu buku fisikaku. “Bapak liat buku itu.. biasanya hari Jumat kamu bingung gara-gara buku ini” aku meneteskan air mata, bapak dengan susah payah mengayuh sepeda ke sekolah hanya untuk mengantarkan buluku. “Ini buat jajan” bapak memberikan uang sepuluh ribu. Jarang sekali biasanya bapak hanya memberi lima atau tujuh ribu. “Jangan banyak-banyak pak” “Maafin bapak ya, bapak nggak pernah ngasih kamu uang buat jajan” ‘nggak papa pak asal bapak selalu ada untuk keluarga itu lebih dari cukup’ucapku dalam hati
“Pak doain Iis supaya bisa bahagian bapak dan emak” aku mencium tangan bapak. “Bapak sudah bangga kepadamu nak” Bapak akhirnya pulang kembali dan aku juga masuk ke kelas untuk mengikuti pelajaran.
Cerpen Karangan: Inti Fatul Khoiroh Blog / Facebook: Inti Fatul Khoiroh Saya hanya penulis amatir… Maaf karyanya jelek