“Ahh berantakan semuanya, semua gara-gara kamu jadi istri nggak becus…! Coba kemarin papa nggak ngursin acara perpisahan kamu pasti nggak bakalan begini. Nangis lagi…!!! Bisanya cuma nangis aja.” Bentak papa sambil meninggalkan rumah.
Banyak hal yang harus aku segera mengerti tentang kehidupan ini. Aku sadar aku sudah beranjak dewasa, lulus dari SMA adalah awal dimana aku sekarang mewakili diriku sendiri. Aku sudah harus bisa menentukan sikap dan pastinya bertanggung jawab atas sikap yang telah kuambil. Aku juga harus belajar bahwa kehidupan yang aku jalani memiliki rintangan tersendiri untuk tujuan yang aku tetapkan.
Kata kakek, papa punya ambisi besar buat jadi orang sukses. Setelah lulus sekolah papa langsung melanjutkan usaha mabel milik kakek. Sampai sekarang ambisi papa sama masih besar, tapi seiring usaha papa yang semakin sukses papa pun semakin berubah. Dulu aku punya banyak waktu untuk main sama papa tapi sekarang kita hanya bertemu larut malam itu pun selalu dengan keadan mabuk.
“Lia…” panggil mama. “Iya.. mah ada apa?” jawabku sambil masuk ke kamar mama. “Mama mau kasih tau sesuatu, mama harap kamu bisa ngertiin keadaan keluarga kita sekarang” kata mama yang sepertinya habis menangis. “Jadi perusahaan papa sudah bangkrut total dan papa sekarang pergi nggak tau kemana. Dan rumah ini bakal disita karena papa udah nggak bisa bayar hutang perusahaannya” lanjut mama sambil berusaha nahan air matanya. “Terus nanti kita tinggal dimana? Terus gimana kuliah Aulia?” “Maafin mama, mama nggak bisa kuliahin kamu, kamu harus bisa ngertiin keadaan sekarang. Soal rumah nanti kita bakal tinggal di rumah nenek.” Jawab mama sambil meluk aku erat.
Aku mencoba untuk bisa menerima semua keadaan ini, aku sadar kalau nggak ada keluarga yang sempurna. Setidaknya aku masih punya tempat tinggal yang layak. Aku nggak boleh kecewa dengan keadaan, masih banyak hal yang bisa aku syukuri.
“Uhuk.. uhuk.. uhuk…” suara batuk yang cukup keras terdengar di ruang sebelah, segera aku menghampirinya. “Mama kenapa? Kok muka mama pucet?” kataku sambil memegang dahi mama. “Mama nggak papa kok…” jawab mama lembut sambil menyingkirkan tanganku. “Itu tissuenya kok berdarah? Mama sakit apa?
Keadaan semakin berat saat aku tahu mama penyakit mama semakin parah, selama ini mama selalu bilang kalau mama hanya sakit batuk biasa. Ternyata mama terkena penyakit TBC.
Aku tahu manusia diciptakan dengan masalah mereka sendiri-sendiri. Aku juga tahu kalau Tuhan nggak akan pernah memberi masalah yang lebih besar dari kekuatan yang manusia itu sendiri. Tapi dengan kekuatan apakah aku dapat melewati masalah ini? Aku rasa aku masih terlalu kecil untuk masalah sebesar ini. Aku merasa seperti anak kucing yang harus berhadapan dengan seekor gorila besar. Jangankan kekuatan, keberanian pun tidak.
Selama ini aku selalu mengharapkkan kasih sayang papa. Tapi saat ini aku membencinya, aku berharap papa nggak pernah ada lagi di hidupku. Kenapa ini semua harus terjadi? Kenapa harus aku yang nanggung semua ini? Kenapa harus aku yang jadi korban? Ini semua nggak adil seakan semua beban mengarah ke aku, mama yang sakit udah nggak bisa lagi ngebiayain kehidupanku. Dan aku juga nggak bisa ngandelin kakek dan nenek yang udah tua. Kakek hanya seorang petani yang punya sebidang kecil tanah dan nenek hanya punya warung di pinggir jalan. Aku tahu hasil dari sawah dan warung itu nggak bakal cukup untuk makan kami berempat.
“Permisi… permisi…” “Iya silahkan masuk” “Permisi nek, ini bener rumahnya Aulia?” “Oh iya bener sini masuk dulu nenek panggilin Aulia” percakapan terdengar di ruang tamu. Aku yang memang sudah hafal dengan suara mereka akhirnya langsung menemui mereka. Ternyata benar mereka adalah Gisel dan Fanny sahabatku. memang selama tiga hari ini Hp ku nggak pernah aku sentuh dan itu mungkin yang membuat mereka datang kesini.
“Lia… kamu kenapa sih nggak bales chat kita?” kata Gisel dengan mimik wajah marah. “Iya, kita khawatir tau..” sambung Fanny. Nggak bisa jawab pertanyaan mereka aku hanya memeluk mereka berdua. Aku nggak sangka mereka bakal nemuin aku di sini. Padahal rumah nenek cukup jauh dari pusat kota.
Pembicaraan kita lanjutkan di suatu gubug di pinggir sawah kakek. Aku banyak cerita dengan Fanny dan Gisel apa yang sedang aku alami akhir-akhir ini. Tawa demi tawa hingga tangisan membuat hatiku lebih nyman sekarang. Aku merasakan bahwa mereka memang sahabat yang menerima aku dalam keadaan apapun. Hanya mereka yang membuat hatiku bisa menerima keadaan pahit yang sedang kualami.
Setelah hampir tiga jam kami bercerita kami pun kembali ke rumah nenek. Di jalan kami bertiga melihat pemandangan yang cukup asri di kampung nenek. Tawa yang beberapa hari ini hilang telah kembali merekah. Semua berkat Fanny dan Gisel.
“Kalo kamu nggak jadi kuliah brarti kamu ini mau kerja dulu?” tanya Gisel. “Ehmm… iya tapi aku masih bingung mau kerja apa di kampung, paling juga bantu-bantu nenek jualan di warung. Kalo aku kerja di kota mau kerja apa kan cuma lulusan SMA.” Jawabku yang kebingungan. “Gimana kalo kerja di resto ayahku? Nanti gampang aku bakal bilangin ke ayah. Lagian kan kamu udah kenal sama ayahku.” Usul Fanny. “Boleh-boleh aku mau…” jawabku antusias
Aku sadar besar kecilnya masalah bukan aku sendiri yang menakarnya. Dan besar kecilnya kekuatan manusia juga tidak bisa diukur oleh manusia itu sendiri. Tuhan sendirilah yang tahu bagaimana harus menetapkan jalan manusia. Salah bagi manusia jika dia menganggap dirinya tidak bisa padahal Tuhan sudah mempercayakan suatu masalah untuk ditaklukkan bersamaNya. Aku belajar bahwa segala sesuatu tidak bisa dilihat dengan sudut pandang diri sendiri tapi harus dilihat dari sudut pandang Tuhan.
Cerpen Karangan: Wegga Perkasa Eddyviar Blog / Facebook: Wegga Perkasa