Seorang anak berlari di sepanjang pinggiran jalan raya. Di bawah teriknya matahari lalu mengguyur habis tubuhnya dengan keringat. Tampaknya anak itu belum lelah untuk berlari. Hingga pada akhirnya, sampailah ia di sebuah sekolah. Sekolah yang sederhana, dengan siswa yang sederhana. Melangkah anak itu kemudian, memasuki lingkungan sekolahnya. Alfa, namanya.
“Hei, Alfa!”, panggil seorang temannya. Alfa pun melambaikan tangannya dan meleberkan senyumannya. “Alfa! Udah buat pekerjaan rumah belum?!”, tanya temannya yang, satu lagi. “Mana ada dia buat, memangnya dia sanggup beli pulpen? Lusuh gitu…”, imbuh teman sekolahnya yang lain.
Sontak seisi kelas pun dipenuhi tawaan sertakan sorakan. Alfa menutup kedua telinganya erat-erat, dengan kedua tangannya. “Pergi!”, usir Alfa ketika teman-teman yang menertawakannya mendekat. “Lusuh, kusam, dan.. Ukh! Bau pula!”, komentar Rina tiba-tiba. “Kamu bisa diam ga, sih?”, tanya Alfa dingin. “Kenapa? Marah ya?”, jawab Rina nantang. “Udah deh, rin”, “Sebaiknya kita jauh-jauh deh dari dia, supaya ke’dekil’annya gak tertular!”, sahut sahabat Rina di sampingnya. Rina pun setuju dan mengajak kedua sahabat yang ikut bersamanya itu untuk pergi.
Yah, begitulah rutinitas lika-liku kehidupan yang harus dirasakan oleh seorang anak berumur 13 tahun, Alfa. “Aku mau pulang..”, lirih Alfa pelan. “Pulang? Kukira kamu tak punya rumah!”, bentak temannya, Dendi. Dengan wajah yang masih tertunduk, Alfa terus mengoceh. “Beri aku kesempatan untuk pulang”, lirih Alfa lagi. “Hahahaha! Liat, deh. Wajahnya. Duh, duh… Betapa menyedihkannya kamu, teman…”, ujar seorang anak laki-laki di samping Dendi. “Kamu bawa uang, kan?!”, tanya Dendi. “Uang? Aku bahkan ga punya uang sepeserpun di tangan atau saku celanaku sekarang”, ungkap Alfa kesal. “Alah, pasti di tasnya itu banyak uang!”, “Udah miskin, nipu lagi!”, imbuh anak di samping Dendi tersebut. Tak berselang lama, tas yang dipakai oleh Alfa ditarik paksa oleh Dendi dan temannya. Alfa hanya tertunduk dan terdiam pasrah, membiarkan Dendi dan temannya itu membongkar isi tasnya. “Ah, dekil! Dimana uangmu?!”, teriak Dendi geram ketika tak menemukan sepeserpun uang di dalam tas Alfa.
“Sudah kukatakan, aku tak punya uang..”, jawab Alfa dengan suara bergetar. Tampaknya hati Alfa teriris melihat tasnya dibongkar sedemikian rupa oleh kedua anak tersebut. “Udah, deh. Kita pulang aja. Dia gak punya apa-apa!”, ajak teman Dendi tersebut. Dendi pun setuju, kemudian pergi tanpa membereskannya. Alfa pun berjongkok memunguti barang-barangnya kemudian.
Setelah itu, ia kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, ayah Alfa segera menyambut kepulangannya. “Selamat malam, Alfa sayang!”, sapa ayahnya gembira. Namun tidak bagi Alfa. Wajahnya tampak lesu, sedih dan tak karuan. “Anak kesayangan ayah kenapa murung?”, tanya ayahnya. “Alfa sayang?”, panggil ayahnya kembali. Tak ada sahutan sedikitpun yang keluar dari bibir Alfa sampai ia memasuki kamarnya.
Menjelang larut, sang ayah mengetuk pintu kamar, kemudian masuk. Alfa hanya melirik cuek ke arah pintu. “Ayah minta maaf karena sudah membuat Alfa kesal. Alfa kenapa?”, tanya ayahnya pelan-pelan. “Gak ada, yah. Cuma capek aja”, jawab Alfa singkat. “Benarkah?”, tanya ayahnya. “Iya, yah”, balas Alfa meyakinkan. “Baiklah, selamat tidur anakku. Kalau kamu ada apa-apa, beritahukan ayah, ya”, ucap ayahnya pelan.
Tak lama kemudian, mereka sudah tersapu oleh alam mimpi. Keesokan paginya, Alfa mencongkel-congkel kaleng tabungannya, mengambil beberapa lembar uang, kemudian ia masukkan ke dalam tas lusuhnya itu. “Ayah, Alfa berangkat ya”, pamit Alfa pada ayahnya.
Sesampainya di sekolah, kembali lagi teman-teman sekolahnya datang dan mengganggu Alfa. Namun kali ini Alfa tak menundukkan kepalanya, namun ia menatap rupa teman-temannya itu, kemudian berdiri. “Wah, udah berani ya Alfa!”, sahut seorang anak perempuan dari ujung kelas. “Aku.. Punya uang juga kok!”, ujar Alfa dengan sedikit terbata. Sontak seisi kelas yang semula sibuk dengan kegiatannya, menoleh ke arah Alfa. “Serius, kamu?”, tanya Dendi kemudian mendekat. “Coba sini tasnya!”, bentak seorang anak laki-laki di depannya. Lalu mulailah tasnya dibongkar dengan semena-mena. Namun hingga tas itu sudah benar-benar kosong, tak sepeserpun uang ditemukan. Hal ini membuat seisi kelas geram. “Kamu berbohong, kan?”, bentak Dendi. “A.. Apa? Aku benar-benar membawa uang tadi!”, teriak Alfa tak terima. Ia merebut tasnya kembali, dan merogoh-rogoh isi tasnya yang sebenarnya sudah kosong melompong. “Tidak… Tidak mungkin!”, lirihnya cemas. “Dasar penipu!”, sorak seorang anak di depannya. “Aku tak bohong! Aku benar-benar membawa uang!”, balas Alfa. Seisi kelaspun ricuh menyoraki Alfa. Untung saja mereka semua telah berhenti mengganggu Alfa saat bel masuk berbunyi, sehingga para guru tak mengetahui kejadian ini.
Seusai pembelajaran, Alfa kembali membongkar isi tasnya dengan teliti. Ia sadar betul telah memasukkan uangnya ke dalam tas. Namun, kemana uang itu sekarang? Saat sedang merogoh tas lusuhnya itu, Alfa menemukan robekan yang lumayan besar di ujung bawah tasnya. Lantas ia sadar, bahwa akibat robekan pada tasnya, uang yang ia masukkan kemungkinan jatuh di jalanan. Ia pun merasa sangat sedih dan tertekan, pasalnya uang yang hilang tersebut tidaklah sedikit dan merupakan uang yang ia tabung selama berminggu-minggu. Emosinyapun semakin tidak stabil semenjak insiden ini. Kemudian Alfa pun akhirnya pulang.
Di rumahnya, emosi Alfa meledak. Ia kemudian membentak ayahnya, memarahi dan menyalahkan ayahnya atas kejadian ini. Semua karena tas yang ayahnya berikan, tas yang sudah sobek, tas ayahnya saat masih sekolah. Betapa lapuk dan lusuhnya sudah tas itu. “Ayah sudah pernah ingatkan, jangan diambil uang tabungannya, nak. Kan bisa untuk beli tas baru”, lirih ayahnya pelan. “INI SEMUA KARENA TAS JELEK AYAH! Aku benci! Aku tak ingin memakainya lagi!”, bentak Alfa, Tak lama kemudian air mata sang ayah menetes, tak menyangka jika ternyata anaknya begitu membencinya.
“Ma.. Maafkan ayah, nak..”, lirih ayahnya dengan suara bergetar. Tangan keriputnya memegang dadanya. “Ayah belum bisa memberikan apapun untuk..mu..”, ucapan ayahnya terpotong seketika ayahnya tumbang dari posisinya. Alfa melihat ayahnya terkulai lemas tak berdaya di lantai dan terkejut. “AYAHHH!”, teriak Alfa histeris.
Setelah memanggil bantuan dan membawa ayahnya ke rumah sakit, ternyata nyawanya tak tertolong lagi. Disaat itulah Alfa menyesalkan perbuatannya. Memang, Tuhan itu adil. Alfa menyesal, karena memilih untuk berbohong pada ayahnya secara diam-diam, dan tak pernah menceritakan masalahnya selama ini pada ayahnya, guru maupun orang lain. Ia justru melukai hati ayahnya, beberapa detik sebelum ayahnya meninggalkan ia sendiri di dunia, menyusul sang ibu ke alam sana.
Bagaimana kita memperlakukan orang lain, maka kita akan mendapatkan perlakuan yang sama pula. Jangan sekali-sekali kita menyakiti orang lain, terutama orangtuamu. Karena pada akhirnya, orang yang baik akan selalu ditolong oleh Tuhan, dan orang yang suka menyakiti, akan mendapatkan penyesalan atas rasa bersalah sepanjang hayatnya.
Cerpen Karangan: Luthfia Zahra Larosa Blog: luthfiasasa.blogspot.com Hai! Panggil saja aku Sasa. Aku berasal dari Aceh, dan aku gemar menulis. Yuk, kunjungi blogku dan berteman di ig: @luthfiasasa. Terimakasih sudah membaca! Mohon like, share dan comment yahhh! :v