Dinginnya angin malam membuat tubuhku menggigil. Kupeluk tubuhku erat-erat dengan kedua tanganku. Jaket yang kukenakan tak sanggup melawan dinginnya angin malam. Kakiku terus melangkah tanpa tujuan. Entah sudah berapa lama aku berjalan dan sudah berapa jauh aku berjalan, aku pun tak tahu. Sebenarnya kakiku telah lelah melangkah namun aku enggan berhenti. Aku terus menyusuri jalan setapak ini tanpa tahu harus kemana. Bahkan sekarang aku tak tahu berada dimana dan aku tak peduli. Yang pasti aku hanya ingin pergi jauh dari rumah.
Bukan tanpa alasan aku pergi dari rumah. Pertengkaran orangtuakulah yang membuat aku tak betah berada di rumah. Setiap hari aku selalu mendengar mereka bertengkar tanpa aku tahu apa yang sebenarnya mereka perdebatkan. Aku sudah tak tahan lagi mendengarnya sehingga aku nekat kabur dari rumah. Aku pergi tanpa membawa apa-apa hanya pakaian yang melekat di tubuhku saja. Tak terpikirkan olehku untuk membawa uang karena aku berharap malaikat maut datang menjemputku secepat mungkin. Terdengar mengerikan, bukan? Tapi itulah yang aku harapkan. Lebih baik mati daripada harus menanggung perihnya kehidupan ini, pikirku.
Langit sepertinya ikut bersedih dengan nasibku. Butiran-butiran air matanya sedikit demi sedikit jatuh membasahi bumi. Tak sedikitpun aku berpikir untuk mencari tempat berteduh. Kubiarkan air hujan yang mulai deras jatuh membasahi tubuhku. Alhasil aku semakin kedinginan. Aku berpikir kalau aku akan mati kedinginan.
Jalanan terlihat sangat sepi dan hanya aku seorang yang berada di jalanan ini. Kalau dipikir-pikir, siapa yang mau berjalan di tengah hujan seperti ini. Orang-orang pasti lebih memilih tinggal di dalam rumahnya sambil menikmati minuman hangat atau pergi ke dunia mimpi.
Aku terus berjalan tanpa arah hingga pandanganku mulai kabur. Kurasakan kakiku yang tidak mampu lagi menopang tubuhku. Sepertinya aku akan pingsan. Namun aku berharap aku takkan bangun lagi untuk selama-lamanya. Aku berhenti berjalan dan merasakan kalau aku akan terjatuh namun seseorang menangkap tubuhku sehingga aku tidak terjatuh. Meski samar-samar, aku dapat mengetahui yang menolongku adalah seorang wanita. Dia menarik tanganku dan membuatku berjalan mengikutinya.
“Lepaskan tanganku. Mau kau bawa kemana aku?” tanyaku lemah. “Ke rumahku,” jawabnya singkat. “Untuk apa kau membawaku ke rumahmu? Aku bahkan tak mengenalimu.” Wanita itu berhenti lalu membalikkan badannya. “Tentu saja menolongmu. Lihatlah dirimu. Kau hampir mati.” “Itu bagus.” Wanita itu mengernyitkan dahinya. “Apa maksudmu? Kau mau mati?” tanyanya. “Ya, aku memang mau mati.” Wanita itu tertegun sejenak lalu membalikkan badannya dan kembali berjalan menuju rumahnya sambil menarik tanganku. “Hey, lepaskan tanganku!!!” perintahku. Wanita itu tak menggubrisku dan terus berjalan. Aku berusaha melepaskan tanganku namun aku tak mempunyai tenaga yang cukup untuk melakukannya.
Sampailah kami di rumah wanita itu. Rumahnya tepat di depan tempat kami bertemu. Hanya perlu menyeberangi jalan saja. Wanita itu membuka pintu dan menyeretku masuk. Wanita itu membantuku untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu. “Aku akan mengambil beberapa selimut. Jadi tunggulah sebentar dan jangan kemana-mana,” ujarnya. Aku berusaha untuk berdiri namun aku tak punya tenaga untuk itu. kakiku terasa kaku untuk digerakkan. Badanku menggigil dan gigiku bergemelatuk sehingga menimbulkan bunyi. Aku benar-benar kedinginan.
Wanita itu kembali membawa beberapa selimut dan handuk. Diambilnya handuk lalu diusapkannya ke wajah dan kepalaku dengan lembut lalu menyelimutiku dengan selimut yang sudah dibawanya tadi. Aku merasakan sedikit kehangatan berkat selimut-selimut yang menyelimuti seluruh tubuhku kecuali kepalaku. Wanita itu duduk di sampingku.
“Amelia. Itu namaku. Boleh aku tahu namamu?” tanyanya. Aku menoleh ke arahnya. “Tio,” jawabku. “Apa aku juga boleh tahu kenapa kau ingin mati?” tanyanya lagi. Aku terdiam dan berpikir apakah aku harus memberitahu wanita yang baru aku kenal tentang masalahku. “Ayolah.. Kumohon…” pintanya. Aku merundukkan kepalaku. “Setiap hari orangtuaku bertengkar dan aku sudah tak tahan mendengarnya. Aku nekat minggat dari rumah dan berharap kalau aku akan segera mati. Jika aku mati maka aku tak akan pernah mendengar mereka bertengkar lagi.” “Dan kau berpikir kalau kau mati maka semuanya akan baik-baik saja? Kau sudah siap bertemu dengan maut atau tinggal di liang lahat? Kau berpikir kau akan beristirahat dengan tenang? Apa kau sudah mempunyai cukup “bekal” untuk mati?” tanyanya dengan nada kesal. Aku tak mampu menjawab pertanyaan Amelia. Aku semakin merundukkan kepalaku dan butiran-butiran air mulai jatuh membasahi pipiku.
“Maaf, aku tak bermaksud menyakiti perasaanmu. Tapi menurutku apa yang kau inginkan itu salah. Aku tahu bagaimana sakitnya perasaanmu tapi mati bukanlah hal yang bagus,” ujarnya.
Lama kami terdiam sampai dia mulai pembicaraan lagi. “Apa kau masih sekolah?” tanyanya. Aku menganggukkan kepalaku. “Aku masih kelas dua SMA”. Lalu dia memegang daguku dan menolehkannya sehingga membuat kami saling bertatap-tatapan. Kulihat lekat-lekat wajah Amelia. Dia cukup cantik dengan bola mata hitam dan wajah tirusnya dan menurutku dia 2 tahun lebih tua dariku. “Kau masih muda sekali. Kau masih punya masa depan yang cerah. Ingatlah satu hal, bahwa mati itu tidak enak. Kau tidak bisa melakukan apa-apa ketika kau sudah mati. Dan ketika kau mati, kau hanya punya banyak rasa penyesalan,” ujarnya lirih. Aku tersenyum kecil, “Kau berkata seolah kau pernah mati saja.” Dia tersenyum. “Tidurlah. Kau harus beristirahat,” perintahnya. Entah kenapa aku menurut saja dengan apa yang dia perintahkan. Kubaringkan tubuhku di sofa dan mulai tidur. Aku merasakan dia membelai. “Aku tak ingin kau bernasib sepertinya, Tio,” ujarnya dengan suara yang sangat pelan, namun aku masih bisa mendengarnya. Sebenarnya aku bingung dengan perkataannya. Siapa “nya” yang dia maksud? Aku hendak bertanya namun aku mengurungkan niatku karena aku merasakan kantuk yang tak tertahankan. Mungkin besok aku akan bertanya kepada Amelia dan tak lama kemudian aku sudah berada di alam mimpi.
Aku mendengar suara wanita menangis. Perlahan kubuka mataku. Entah kenapa mataku terasa berat sekali untuk dibuka. Akhirnya aku berhasil membuka mataku namun pandanganku masih samar-samar. “Mas, lihat mas. Tio sudah bangun mas,” ujar seorang wanita. Aku merasakan tanganku digenggam erat dan aku melihat dua sosok yang sepertinya aku kenal. Pandanganku mulai jelas dan aku ternyata sosok yang kulihat adalah papa dan mamaku. “Tio dimana, ma?” tanyaku sambil melihat sekelilingku. “Kamu di rumah sakit, nak,” ujarnya sambil menangis. Aku bingung kenapa aku berada di rumah sakit. Seingatku aku berada di rumah Amelia. Bagaimana mama dan papa menemukanku? Dan kenapa mama dan papa menangis? “Ma, kenapa Tio ada di sini?” tanyaku lirih. “Kamu ditemukan pingsan dan kamu demam tinggi makanya kami membawa kamu ke rumah sakit,” jawab papa. “Pingsan? Kalian yang membawaku ke rumah sakit?” tanyaku lagi. “Tentu, nak.” “Maafkan kami, Tio. Maaf karena kami selalu bertengkar sehingga membuatmu kabur dari rumah,” ujar mama. “Iya sayang. Maafkan kami, kalau saja kami tidak bertengkar pasti malam itu kamu tidak kabur dari rumah,” kali ini papa yang bicara. “Kami pikir kami akan kehilanganmu, ketika kami melihatmu terbaring di area pemakaman.” “Pemakaman? Apa maksud mama? Bisakah kalian menceritakan padaku apa yang terjadi selama aku tidur? Dan bagaimana kalian menemukanku?”
“Malam itu adalah puncak dari pertengkaran kami sayang, kami hendak berpisah. Papa ingin membawamu pergi bersama. Saat papa masuk ke kamarmu, papa tidak menemukanmu dan papa melihat jendela kamarmu terbuka. Saat itu papa berpikir bahwa kamu kabur dari rumah. Papa lalu memberitahu mamamu. Kami panik dan langsung keluar mencarimu. Kami seperti orang gila, berlari di tengah hujan sambil meneriaki namamu. Sampailah kami di pemakaman. Kami melihat beberapa orang sedang berkerumun dan kami langsung menghampiri kerumunan itu. Alangkah terkejutnya kami melihatmu tergeletak tak berdaya di sebuah makam, nak. Kami melihat wajah dan tubuhmu pucat sekali, kami kira kamu sudah meninggal. Tapi ketika papa memegang urat nadimu ternyata masih berdenyut, papa dibantu beberapa orang membawamu ke rumah sakit. Demammu sangat tinggi. Kami pikir kamu akan tidur lebih lama lagi,” jelas papa. “Tidur lebih lama lagi? Apa maksud papa?” “Kau sudah tidur selama 3 hari, nak.” “Apa? 3 hari?” Aku tak menyangka kalau aku sudah tidur selama 3 hari.
“Tio, kami berjanji kami tak akan bertengkar lagi. Kami tak ingin membuatmu menderita lagi. Kami menyayangimu dan selalu menyayangimu,” ujar papa sambil menggenggam erat tanganku dan mama. Aku senang mendengar ucapan papa. Tapi aku masih bingung, kenapa aku berada di pemakaman. Seingatku aku tertidur di rumah Amelia. Tiba-tiba aku teringat ucapan terakhir Amelia. Apa Amelia yang memindahkanku ke pemakaman sehingga orang-orang dapat menolongku? Tapi itu tidak mungkin. Mustahil dia membiarkanku tergeletak begitu saja di tengah hujan deras. Bukankah dia ingin menolongku? Aku akan menanyakan hal ini pada Amelia ketika aku keluar dari rumah sakit, pikirku.
Dua hari sudah aku berada di rumah sakit dan akhirnya dokter mengizinkanku pulang. Aku berencana untuk menemui Amelia dan meminta penjelasan darinya. Aku meminta papa untuk melewati jalan dimana mereka menemukanku. Awalnya mereka heran dengan permintaanku dan bertanya terus apa tujuanku ke sana. Namun aku hanya menjawab kalau aku akan memberitahu nanti.
Sesampai disana, aku meminta papa berhenti di depan sebuah rumah. Ya, rumah Amelia. Aku masih ingat betul rumahnya tapi aku bingung melihat keadaan rumahnya yang kotor dan seperti tidak berpenghuni. Aku turun dari mobil dan berjalan menuju rumahnya. Sampai di depan rumahnya aku langsung mengetuk pintu rumahnya. Lama aku mengetuk pintunya namun tak seorang pun yang keluar. Aku merasa heran, apa Amelia sedang tak berada di rumah.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku kaget lalu menoleh dan melihat seorang lelaki paruh baya sedang berdiri. “Maaf dek membuatmu kaget,” kata lelaki paruh baya itu. “Nggak papa pak.” “Ngomong-ngomong, adek ini mau cari siapa?” “Saya mau mencari wanita yang tinggal di sini pak. Namanya Amelia.” Bapak itu mengernyitkan dahinya lalu berkata, “Adek ini temannya?” “Iya pak, saya temannya.” “Owh mungkin adek ini sudah lama tidak bertemu sama Amelia makanya nggak tahu kabarnya sekarang kan?” Aku hanya diam dan tak menjawab pertanyaan bapak ini. “Mari dek, ikut saya,” ajaknya. “Kemana pak?” tanyaku heran. “Ikut saja, nanti kamu mengerti.”
Aku hanya diam dan mengikuti bapak itu. Beliau menuntunku ke pemakaman yang tak jauh dari rumah Amelia. Aku heran mengapa bapak ini mengajakku kemari. Kemudian bapak itu berhenti di depan sebuah makam. Aku melihat nama di batu nisan itu dan kaget membaca nama yang terukir di sana. “Amelia.” “Iya dek, sekarang Amelia sudah nggak ada.” Dan yang paling membuatku kaget lagi adalah ketika aku membaca bahwa Amelia sudah meninggal 3 bulan yang lalu. Lalu siapa yang menolongku 5 hari yang lalu?
“Boleh saya bertanya pak?” “Boleh dek.” “Apa penyebab kematian Amelia pak?” “Amelia meninggal karena sakit dek.” “Sakit apa ya pak?” “Sakitnya sih cuma demam saja dek tapi demamnya tinggi dan nggak turun-turun selama berminggu-minggu.” “Apa dia tidak dibawa ke rumah sakit pak?” “Sudah dek, kami para tetangga membawanya ke rumah sakit dan menjaganya secara bergantian. Maklumlah dek, Amelia ini kan hidup sebatang kara. Orangtua dan adiknya sudah meninggal.”
Keadaan hening sesaat hingga bapak itu melanjutkan perkataannya. “Menurut kami penyebab Amelia sakit karena adiknya yang meninggal.” “Kalo boleh tahu lagi, penyebab kematian adiknya apa ya pak?” “Adek ini temannya kan? Tapi kok gak tahu sama sekali tentang Amelia?” “Sebenarnya kami baru kenal dan kami cuma bertemu beberapa kali saja dan saya belum mengetahui tentang keluarga Amelia,” jawabku bohong.
Bapak itu menganggukkan kepala, “Amelia punya adik laki-laki namanya Surya. Orangtua mereka sering bertengkar hingga suatu malam, Surya tidak tahan mendengar pertengkaran orangtuanya dan kabur dari rumah. Padahal malam itu hujan deras banget dan katanya Surya lagi sakit waktu itu. Amelia yang sadar adiknya kabur langsung memberitahu orangtuanya. Mereka langsung mencari Surya dan menemukan Surya tergeletak di lapangan yang ada di persimpangan jalan Duku. Ketika mereka mendekati Surya, wajahnya sudah membiru dan ternyata Surya sudah meninggal karena kedinginan. Amelia marah dan menyalahkan kedua orangtuanya atas kematian Surya. Orangtua mereka membawa pulang jenazah Surya dengan mobil tapi Amelia tidak mau ikut naik mobil dengan mereka karena masih marah. Akhirnya orangtua Amelia pergi meniggalkan Amelia di lapangan. Mungkin karena terlalu sedih sehingga tidak konsentrasi menyetir mobil, mobil yang dikendarai oleh orangtua Amelia tertabrak tiang jalan dan membuat mereka meninggal di tempat.”
Aku sedikit shock mendengar cerita bapak ini. Apa yang dialami Surya sama dengan apa yang aku alami kemarin. Namun bedanya aku masih bertahan hidup karena Amelia… tidak… tapi arwah Amelia yang menyelamatkanku. Aku akhirnya mengerti ucapan Amelia kemarin. Dia tak ingin aku bernasib seperti adiknya. Dengan penuh kesopanan aku pamit pulang dengan bapak itu.
Aku masuk ke mobil dan memandang rumah Amelia dari jendela mobil. Kulihat sosok Amelia di balik jendela rumahnya sedang tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumannya. Mobilku bergerak menjauhi rumah Amelia hingga tak kelihatan lagi.
“Terima kasih atas apa yang telah kau lakukan kepadaku, Amelia. Semoga kau tenang di alam sana,” doaku.
Cerpen Karangan: Siti Aisyah (Polar Bear)