Aku terhenyak tak percaya mendengar kalimat yang diucapkan Windu, adikku. “Yu, mohon restunya, minggu depan aku akan melakukan operasi pergantian kelamin,” katanya seperti sebuah bom di telingaku. Aku tahu sejak kecil ada yang aneh dengan Windu. Adikku yang malang. Orang-orang menyebutnya dengan si banci. Lelaki yang harusnya kuat perkasa, tetapi justru lembek, kenes dan kemayu.
“Haruskah kau melakukan ini, Win? Apakah sudah kamu pikirkan untung dan ruginya?” tanyaku dengan suara kelu. Aku tak mengira akan mendengar berita mengejutkan ini dari bibir adikku. Aku memang kadang membaca di koran-koran tentang operasi seperti ini. Tetapi, tidak terlintas sedikit pun bila Windu pun akan menempuh cara ini. “Aku ingin jadi wanita sejati, Yu,” jawabnya, lebih sebagai ratapan di telingaku. “Tapi kenyataannya kamu laki-laki, Win. Kamu terlahir sebagai laki-laki. Sebagai Windu Dewa Nugraha,” aku mencoba mengingatkannya. “Fisikku memang laki-laki, tetapi sebenarnya aku wanita, Yu. Aku sudah konsultasi dengan dokter yang ahli di bidang ini. Mereka sudah melakukan serangkaian tes yang membuktikan bahwa kromoson x-ku ternyata lebih dominan dibandingkan dengan kromoson y. Itu membuktikan bahwa sebenarnya aku ini perempuan. Aku terjebak di tubuh yang salah. Jiwaku terjebak pada wujud luar yang tidak semestinya. Bahkan pengacaraku sudah mengajukan permohonan penggantian jenis kelamin ke pengadilan. Sebentar lagi secara hukum aku sudah benar-benar perempuan, Yu” jelasnya panjang lebar dengan berbagai argumentasinya.
Aku tak paham dengan semua argumentasinya itu. Bagiku semua yang dikatakannya sangat tidak masuk akal. Mungkin karena aku hanyalah penjual koran yang bodoh dan tidak berpendidikan. Sebagai kakak, aku tidak ingin adikku melampaui batas. Aku tidak ingin adikku salah jalan dan menyesali keputusan yang menurutku sangat ekstrimnya itu.
“Apakah ini tidak menyalahi kodrat Illahi? Apakah kau tidak melawan takdirmu?” bisikku pelan. Aku mencoba mematahkan keyakinannya. “Jangan bicara soal itu, Yu! Aku sudah dewasa untuk menanggung semua akibatnya. Apa pun yang kau katakan aku tak akan mengurungkan niatku ini,” ujarnya ketus. Sepertinya ia tak menyukai komentarku. “Aku mohon berikan restumu. Besok pagi aku akan berangkat ke Thailand,” katanya lagi. Aku hanya bengong. Sudah sedemikian canggihkah dunia hingga bisa mengubah takdir Illahi? Aku tak bisa berkata-kata lagi. Sejak dulu Windu memang keras kepala. Kalau sudah punya keinginan tak akan ada yang bisa menahannya. Dengan atau tanpa restuku ia akan tetap melakukan keinginannya ini.
Dalam hatiku aku menyalahkan diriku sendiri. Aku ikut andil dalam menjerumuskan Windu dalam situasi seperti ini. Kemiskinan keluarga kami telah membuat Windu tumbuh tak normal. Sepeninggal Bapak, hidup keluarga kami sangat kekurangan. Begitu miskin hingga Simbok tak mampu membelikan baju yang layak untuk Windu. Sejak kecil ia terpaksa memakai baju perempuan, baju bekas kami, kakak-kakaknya. Tanpa sadar kami telah memperlakukannya secara tak adil. Ditambah lagi tak ada figur lelaki di rumah kami. Maka jadilah Windu dengan cap bancinya seperti sekarang ini.
“Kau sudah memberitahu keluarga yang lain?” tanyaku. “Ah, tidak perlu, Yu. Sejak Simbok meninggal tak ada lagi yang peduli padaku. Aku hanya punya kamu, Yu,” jawabnya ketus.
Memang hubungan Windu dengan saudara-saudaraku yang lain renggang. Tepatnya sejak Windu nekat berdandan ala banci. Yuni, Heni, dan Ida menentang keras. Mereka malu memiliki saudara banci seperti Windu. Demikian juga dengan suamiku. Ia melarangku bertemu dengan Windu. Tetapi secara sembunyi-sembunyi Windu sering menemuiku di kios. Tentunya tanpa sepengetahuan suamiku.
Bagaimanapun Windu adikku. Walaupun memiliki kekurangan ia tetap adikku. Dan aku tak ingin mengingkari hal ini. Aku hanya menginginkan adikku mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kurasa Windu sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihannya hidupnya. Lagipula siapa yang dapat menentang keinginanannya? Windu sangat keras kepala.
“Win, aku hanya bisa mendoakanmu. Mudah-mudahan kamu menemukan kebahagiaan hidup. Aku tak akan menghalangi yang sudah kauputuskan,” kataku kemudian. Aku tak punya pilihan lain. Kukira hanya ini yang bisa kukatakan untuk adikku, Windu. Senyuman Windu mengembang. Ia memelukku erat sambil berkata, “Terimakasih, Yu. Aku sangat membutuhkan dukunganmu.” Aku menitikkan air mata. Entah air mata haru, sedih, senang, atau kecewa. Aku tak yakin dengan perasaanku sendiri. Apalagi saat Windu berkata, “Setelah operasi, aku akan memulai hidup baru. Aku akan menjadi manusia baru dengan identitas baru. Aku akan pergi jauh ke tempat di mana tak ada yang tahu masa laluku. Sementara jangan cari aku. Suatu saat bila saatnya telah tiba, aku pasti akan pulang.” Aku menangis tersedu mendengar kalimatnya.
Itulah pertemuan terakhirku dengannya. Hingga tujuh tahun ini belum sekalipun ia memberi kabar. Sosoknya seolah lenyap ditelan bumi. Keluargaku yang lain menganggapnya telah hilang. Suamiku bahkan meyakini Windu sudah mati. Namun aku yakin, Windu baik-baik saja. Suatu hari Windu pasti akan pulang. Aku yakin ia pasti akan memenuhi janjinya padaku.
Cerpen Karangan: Tri Mulyati Blog / Facebook: Tri Mulyati