Dentingan piano mengalun perlahan terdengar merdu di telingaku ketika aku sedang istirahat di taman belakang sekolah. Aku tertarik dengan suara dentingan piano nan indah itu sehingga kuputuskan untuk mencari darimana asal suara tersebut. Tidak kupedulikan bel tanda istirahat telah habis meraung-raung sejak sepuluh menit yang lalu.
Kulangkahkan kakiku ke arah belakang, yaitu gedung sekolah lama yang sudah tidak digunakan lagi untuk kegiatan belajar mengajar tetapi masih digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler, yang menurutku dari sana asal dentingan itu. Semakin dekat langkahku ke gedung lama itu, semakin dekat pula suara yang berhasil menarikku untuk melangkah jauh kesini.
Dan akhirnya aku menemukan asal suara tersebut di kelas paling selatan gedung ini. Namun, ketika tanganku mulai menyentuh knop pintu, dentingan tuts piano tersebut telah lenyap. Meskipun sudah tak ada lagi dentingan, aku tetap membuka pintu kelasnya. Benda berbentuk persegi panjang tinggi itupun sudah terbuka. Dan dari sini aku bisa melihat punggung seseorang yang telah memainkan piano dengan indah itu. Aku merasa familiar dengan laki-laki itu. Seorang laki-laki dengan rambutnya yang bermodel raven dan berwarna hitam, yang saat ini sudah berbalik dan tengah menatapku juga. Aku terkejut melihatnya, begitu juga dengannya. Aku bisa melihat itu dari sorot matanya namun hanya beberapa detik saja karena ia sudah menormalkan ekspresinya.
Namun, ekspresi normal laki-laki itu tidak bisa dikatakan normal seperti pada umumnya. Tatapannya sangat dingin dan tajam seperti akan menusukku. Sejenak aku merasa jantungku berdegup kencang karena tatapannya itu. Namun, kupikir itu sudah biasa. Aku sering mendapat tatapan seperti itu darinya, kakakku sendiri. Yah, laki-laki yang saat ini tengah menatapku tajam itu adalah kakakku. Well, hubungan kami, aku dengan kakakku, bisa dikatakan kurang baik. Tidak, bukan kurang baik lagi, kurasa sangat buruk lebih tepat untuk menggambarkan hubungan kami. Kenapa? Karena kami adalah saudara tiri. Dia belum bisa menerimaku sebagai adiknya atau bahkan mungkin tidak bisa karena pernikahan ayahnya dengan ibuku dua tahun yang lalu. Entahlah aku juga tidak tau.
Aku tidak pernah menyangka kalau dia bisa, bahkan mahir dalam memainkan piano. Kupikir dia akan lebih senang berkutat dengan laptop kesayangannya. Karena setahuku, dia selalu membawa benda itu kemana pun dan dimana pun ia berada.
“Apa yang kau lakukan disini?”, tanyanya padaku. “Aku mendengar alunan piano di tempat ini,” jawabku. “Aku tidak tau jika kakak pandai memainkan alat musik itu,” lanjutku. Walaupun dia bersikap dingin dan seolah tidak peduli padaku, aku masih dan akan tetap selalu menghormatinya, karena dia adalah kakakku, walapun hanya kakak tiri. Lagi pula usianya terpaut dua tahun diatasku. Ya, aku ada di tingkat satu Senior High dan kakak ada di tingkat tiga Senior High. “Pergilah. Kau menggangguku,” ucapnya dengan nada datar dan lebih dingin daripada sebelumnya. Dan itu sukses membuatku merasa semakin terintimidasi.
Namun, aku mencoba untuk tidak terpengaruh akan kata-katanya yang setajam mata belati itu. Karena aku sedang berusaha untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan kami yang memang sangat kritis. Yah, walaupun aku tidak tau ini akan berhasil atau tidak. Jika bukan aku yang memulainya, siapa lagi yang bisa diandalkan? Ayah? Ibu? Ah, mereka bahkan tidak tau dengan keadaan kami. Atau bisa dibilang tidak mau tau. Mereka selalu sibuk dengan dokumen-dokumen yang katanya penting itu. Mereka pikir dengan memberikan kami segudang uang bisa membuat kami bahagia. Yang benar saja. Anak-anak seperti kami akan lebih butuh kasih sayang dan perhatian dari kalian daripada segudang kertas bernilai tinggi itu.
“Waktu istirahat sudah berakhir sejak 20 menit yang lalu,” ucapku. “Aku tidak peduli,” balasnya. “Berhentilah bersikap seolah-olah kau dekat denganku. Ini membuatku muak,” lanjutnya dengan sadis. Oh Tuhan, ini sangat menyakitkan melebihi apapun. Seberapa keras aku berusaha, kakak tidak akan pernah peduli padaku. Aku tau aku hanya adik tiri, tapi bukankah tidak ada salahnya jika saling berbagi kasih? Jika pun memang sangat enggan berbagi kasih, setidaknya kakak bisa sedikit menghargaiku. Sedikit saja, tidak perlu banyak. Hanya mengingat namaku pun tak apa, setidaknya dengan tau namaku itu sudah membuatku merasa dianggap ada.
“Hiks..” Satu isakan berhasil lolos dari mulutku. Entah sejak kapan air mata ini mengalir dipipiku. Kugigit bibir bawahku guna meredam isakan ini agar tidak terdengar oleh kakak, karena aku tidak mau diangap cengeng. Aku tidak tau jika rasanya diabaikan dan tidak dianggap itu akan sesakit ini. Tapi, kurasa percuma menutupinya karena kakak sudah terlebih dulu tau kalau aku tengah menangis. “Ck! Kau membuatku menjadi semakin tidak berguna, dasar bodoh,” ucap kakakku.
Aku tidak tau harus melakukan apa saat ini. Mau membalas perkataan kakak kurasa juga tidak akan berguna karena aku akan semakin terlihat bodoh. Namun jika diam saja pun aku juga akan terllihat bodoh. Ah. Mau bagaimanapun juga aku akan tetap terlihat bodoh.
“Hiks.. Tidak bisakah kakak menganggapku sedikit saja? Mikha, aku ingin kakak memanggilku seperti itu, memanggil namaku. Aku juga ingin seperti teman-temanku yang lainnya hiks.. Bisa berangkat dan pulang bersama kakaknya. Bisa bermanja-manja dengan kakaknya hiks.. Bisa berbagi cerita ketika sedang ada masalah. Bisa-” Kalimatku terpotong oleh ucapannya, “Kau ingin aku menganggapmu sedikit saja? Iya? Kau bilang sedikit? Lalu, jika kau ingin kupanggil namamu, ingin seperti teman-temanmu yang lain, ingin berangkat dan pulang bersama, bermanja-manja, berbagi cerita ketika ada masalah, apa itu yang artinya sedikit? Itu yang kau maksud sedikit menganggapmu? Ha? Tidakkah kau tau arti kata sedikitmu itu sangat banyak!”. Intonasi tinggi mengakhiri ucapannya yang panjang lebar.
Aku semakin terisak mengetahui langkah kakak yang semakin menjauh. Kenapa? Kenapa hidupku seperti ini? Aku memiliki banyak uang, tapi aku tidak bisa membeli kebahagianku dengan uangku. Aku kaya materi, tapi miskin kasih sayang. Aku tidak ingin seperti ini terus. Aku ingin merasakan yang namanya kasih sayang. Tapi kenapa sulit sekali untuk mendapatkan itu? Seperti inikah suratan tanganku? Jika ada satu saja harapan untukku, aku ingin meminta bintang kehidupanku bersinar membawa kebahagiaanku.
END
Cerpen Karangan: Anhar Restu Blog / Facebook: Anharrestu FOLLOW IG: @anharrestu_ facebook: Anhar Restu -itsumo isshou Anhar Restu-