Sudah hampir lima tahun, Rian tak menatap wajah lelah emak. Bukan mereka tak bertemu. Hampir seminggu sekali emak pulang ke rumah. Emak bahkan berusaha memancing Rian untuk bicara. Namun, Rian tetap tak bergeming.
Hari ini emak kembali datang. Kebetulan Rian sedang duduk di sofa tua, yang masih kuat menopang berat badannya. Sofa putih nan kusam, sebagai saksi kehangatan keluarga yang tinggal kenangan.
“Rian… Rian… kamu dengar emak, nggak?” Berulang kali emak, memancing suara Rian. Supaya terdengar. Meskipun keluhan atau bahkan kemarahan. Emak sudah siap menahan hati. Tapi, apa mau dinyana. Rian seperti orang bisu di depan emak. Tapi, di depan yang lain, Ia mau bicara. Bahkan bercanda.
“Rian… kenapa sih, kamu selalu menghindar dari emak. Tak mau bicara. Apa salah emak?” “katakan, Nak.. apa yang salah dari emak! Apa yang kamu inginkan dari emak?.” Rian diam seribu bahasa. Ia berlalu tanpa rasa. Emak terhenyak, terhempas dan sedih berjuta rasa.
Emak sujud di tengah malam sunyi. Memohon pada Sang Pencipta, “Ya Allah, ampuni dosa hamba, lembutkan hati anakku Rian. Bukakan pintu hidayah baginya.” Emak berdo’a dengan khusyuk. Bulir bening membasahi pipi yang sudah keriput. Bukan saja diam membisunya yang membuat Emak sedih. Tapi, sudah pensiunnya Rian sujud pada Allah membuat emak hancur, remuk redam hatinya.
Terkadang emak harus bertanya pada tetangga atau teman-teman Rian, untuk sekedar mendapat kabar tentang kegiatan anak lelakinya itu. Bila kabar baik, maka bahagia hatinya. Bila kabar buruk, emak tetap mendo’akannya. Benar-benar kasih ibu sejati.
Suatu hari, emak menangis di kamar. Sinta dan Riri masuk. “Ada apa emak…? kok nangis?”. Sinta berusaha menenangkan emak. “nggak… emak Cuma kepikiran Rian… apa sebenarnya yang ia marahkan pada emak?. Kenapa Ia tak mau bicara dengan emak?. Ia selalu menghindar dari emak. Melihat emak seperti melihat hantu saja. Emak jadi sedih. Emak kecewa. Setidaknya dia ngomong. Apa masalahnya. Apa salah emak?” Sinta dan Riri berusaha mendengarkan curahan hati emak. Tak terasa emak menangis. Padahal emak jarang memperlihatkan kesedihannya pada anak-anaknya. Kali ini emak benar-benar terluka dengan sikap Rian. “Emak, mungkin Rian kecewa karena emak pindah rumah.” Riri mencoba menganalisa akar masalahnya. “atau karena Rian merasa ada ketidakadilan. Aku dikuliahkan, sementara Dia tidak.” Sinta pun ikut menduga-duga. “entahlah… kita tak tahu pasti… Rian tak mau bicara… emak bingung…”
Hari ini Emak kembali pulang ke rumah. Kebetulan ada Rian duduk di ruang tengah. Ia sedang menonton TV. Duduk di kursi plastik. Kursi yang juga sudah terhitung tua. Sepertinya, tak ada penambahan perabot di rumah ini. Apalagi emak dan abah pindah ke rumah Sinta. Rumah abah, ditinggal begitu saja. Hanya dihuni Rian dan Ridho. Ridho sudah berkeluarga. Rian belum ada tanda-tanda akan menikah.
“Rian… bicaralah… katakan apa yang kamu rasakan?. Katakan apa kesalahan emak!. Kalau memang emak tak lagi kamu butuhkan, emak takkan lagi mengganggu kamu. Tapi, setidaknya bicaralah. Satu lagi harapan emak. Sujudlah. Shalatlah. Berapa lama kamu meninggalkan sajadah” “kamu itu sudah dewasa. Bahkan kamu sudah pantas menikah. Kamu sudah mempunyai penghasilan sendiri. Emak ingin kamu menikah. Meskipun kamu marah sama emak, setidaknya kamu pikirkan masa depanmu. Pikirkan juga bekal akhiratmu. Meskipun kamu tak menganggap emak sebagai emakmu.. emak tak apa. Emak maafkan kamu. Tapi, tolong perbaiki hidupmu!” Rian tetap tak bergeming.. Rian bangkit dan berlalu. Emak pasrah.
Suatu hari, emak tak sengaja bicara dengan tetangga. “Saya sebenarnya mau pindah lagi ke sini. Tapi, rumah ini belum selesai direhab. Kalau selesai kemungkinan Saya kembali ke sini.” “Baguslah Bu Tini, pindah aja ke sini. Manalah tahu Rian jadi berubah.. saya pernah mendengar, kalau dia kecewa, karena Bu Tini pindah rumah.” “oh ya… begitu katanya… tapi, saya sudah mengajaknya. Dia yang tak mau.” “mungkin dia segan dengan kakaknya… yang ngajak kan Ibu, bukan Sinta. Jadi dia segan ikut pindah.” “mungkin juga benar kata Bu salma.”
—
“Rian… kata emakmu, dia mau pindah ke sini lagi, kalau rumah sudah selesai direhab.. kamu senang kan emakmu kembali?” Bu salma berusaha memancing Rian bicara. Tapi, kali ini Ia justru bicara yang tak diduga, “itulah, sudah kukatakan, jangan pindah. Masih juga pindah. Kan, tak tahan lama juga.” Bu salma tercekat, “eh… kok ngomong seperti itu… dia itu kan ibumu… seharusnya kamu senang beliau mau kembali.” Sepertinya Rian tidak suka dinasehati Bu Salma. Ia melengos pergi. “iihh… benar-benar anak tak tau diri… masa’ sama ibu sendiri begitu..” Bu salma menggerutu sendiri. Niat baiknya tak disambut.
Begitulah Rian, kalau sudah kecewa, selalu mendendam. Tapi, terlalu kalau dendam dengan Emak sendiri.
Rian pergi entah kemana. Tapi, biasanya pergi memancing ke tengah laut. Ia lebih suka menyendiri. Pulang kerja biasanya langsung makan dan kemudian tidur. Pas lagi libur ia habiskan waktunya dengan memancing. Sesekali duduk di warung temannya, ngopi. Setiap kali emak datang, begitulah sikapnya. Diam seribu bahasa lalu berlalu. Melihat emak seperti melihat hantu. Aneh…
Suatu hari yang sunyi, Rian merenung dalam kamar gelapnya. Kamar kecil dengan 2X2 meter persegi, bercat kuning kunyit yang sudah kelihatan kusam. Plafonnyapun sudah banyak yang copot, kaca jendela yang berdebu mencapai setengah inchi, pintu yang sudah hampir lepas engselnya. Lampu lima wattnya yang melengkapi keangkeran kamar itu. Benar-benar misterius semisterius penghuninya.
Tiba-tiba pintu terbuka, Sinta melongok ke dalam ruang gelap. Seberkas cahaya dari ponsel pintar menembus kegelapan. Sepasang mata yang kelihatan mistis memandang tajam ke arah sinta. Mata Rian yang sedang berteman hitamnya ruang rehatnya. “eh, ngapain kamu Rian? Kok gelap-gelapan?” Rian tercekat, namun tak sebaris katapun menyembul dari lidahnya. Benar-benar beku sebeku batu koral hitam di tepi pantai. Tak peduli sebesar apa ombak menghantamnya, meskipun itu suara teriakan emak, atau bahkan jerit tangis keramat hidup itu. Takkan membuatnya bersuara. Dibilang bisu, tidak juga. Dengan teman-temanya atau dengan tetangga Ia berkomunikasi lancar. Bahkan dengan abah juga saling sapa. Tak ada masalah. Tapi, sama emak… diam … bisu.. dan ekspresi dingin.
“Djigof7ee rorro rooojjg rut8t88r8 dugjyout tyefjfhfjjf.” Begitulah emak memaknai isi hati Rian. Tak jelas apa kehendaknya?. Seperti anak kecil yang memencet tombol keybord laptop dengan penuh kemarahan. Maka muncullah tulisan seperti itu. Anak kecil yang punya kehendak, namun tak pernah mengungkapkannya dengan ucapan yang jelas. Tetapi, dengan ekspresi kemarahan tak bersuara.
Setiap sujudnya Emak, do’a tulus selalu dipanjatkannya. “Ya Allah, lembutkanlah hati anakku Rian. Berilah Ia petunjuk jalan yang lurus. Beri Ia kemurahan rezeki. Jodoh yang baik. Ampuni dosanya Ya Allah. Aamiin.” Do’a berhias air mata kesedihan dan ketulusan. Penuh maaf. Penuh kasih tak bertepi. Kasih Ibu yang tulus tanpa alas. Tanpa batas. Tanpa ujung.
Hari Jum’at yang berkah. Hari dimana semua lelaki akil baligh melangkah ke rumah Allah. Sholat Jum’at. Tanda taat yang terakhir setelah kemalasan berminggu berganti hari. Andai Shalat Jum’at tak tergerak hati apalagi kaki melangkah ke Mesjid, maka selesailah makna kehambaan pada Sang Maha Pemberi ampunan. “Rian… bangun, Nak… sholat Jum’at.. lepaslah belenggu kedurhakaanmu pada Allah. Terhadap Emak, sudah Emak ikhlaskan. Tapi setidaknya sujudlah, anakku.” Emak duduk lesu di depan kamar Rian yang sedari pukul 10 tadi belum tersingkap. Entah apa yang Ia lakukan di dalam ruang gelap itu.
Emak berulangkali memanggilnya dengan suara lirih, berurai air mata. Namun apa yang dilakukan Rian?. “Sungguh butakah hati anakku ya Allah?” Ratap hati Emak. Emak hampir tertidur dengan posisi setengah menyandar di pintu. Sambil terus berseru dalam hati, “Rian… bangun, nak… shalat..”
Allah menggerakkan hati Rian. Ia membuka pintu perlahan. Namun, Ia setengah kaget. Tubuh emak melorot ke lantai. “Emak tertidur.” Gumam Rian. “Emak, kenapa tidur di sini? Rian menyentuh bahu Emak. Kali pertama setelah bertahun-tahun. Rian menyeka air mata Emak. Wajah renta yang sudah mulai mendingin. Ujung kaki yang mulai kaku. Dada yang tak lagi berdegup. Tangan Emak lunglai. “Emaaak… banguun… jangan pergi emak…” tangis Rian pecah.
Seisi rumah panik. “ada apa Rian? Emak kenapa?” Ridho yang baru saja pulang dari Mesjid tercekat kaget. “Emak kenapa Rian? Katakan… ada apa?” “Emak… emak… emak… sudah tak ada… aku… aku… tak tahu… kenapa?.” Rian tak mampu menjelaskan. Ia terus meraung. Menyesali apa yang telah Ia lakukan pada Emak. Diamnya telah sangat melukai hati Emak. Diamnya telah menyita kebahagiaan Emak.
“Emaaak… maafkan Rian Mak… Rian telah menyakiti hatimu… dengan apa aku bisa membahagiakanmu?. Emak telah pergi…” “Emak… dengan cara apa aku bisa menebus dosa ini… dengan apa emak?… semua sia-sia…”
“sudahlah Rian… kita ikhlaskan saja Emak… kalau mau menebus kesalahanmu… berubahlah… patuhi nasehatnya. Apa yang Emak katakan, sebelum Ia pergi?” Ridho mencoba menenangkan Rian.
“tolong telepon kak Sinta dan saudara yang lain.” Ridho menyuruh istrinya mengabari keluarga yang lain. Segera setelah ini jenazah Emak diurus sampai selesai.
Dalam hati yang terdalam, Rian memohon ampun pada Allah. Mulai saat ini, Sajadah mulai tergelar lagi di hadapannya. Tak satu Jum’atpun terlewatkan. Semua pesan Emak dikabulkannya. Rian sekarang adalah Rian yang taat. Selalu berkirim do’a untuk ketenangan Emak di alam Baqa.
Cerpen Karangan: Fusparina Blog / Facebook: Fusparina