Tiada henti kami berjalan, menyusuri bukit hijau senja ini. Ayah pun tak henti berbicara, seakan tak mau disela satu kata pun.
Iya, seakan ayah hendak mengungkapkan perasaannya setelah beberapa waktu jauh dari kami. Ada tugas yang tidak bisa ditinggalnya. Lima tahun yang lalu bunda meninggal dunia karena sakit kanker stadium IV yang baru diketahui sebulan sebelumnya. Belum genap dua bulan kami dirundung duka, ayah ditugaskan ke luar negeri. Sejak itu urusan anak, aku dan kakak laki-laki, diserahkan ke paman adik ayah. Tak ada masalah karena meski jauh, komunikasi kami tetap lancar. Hanya saja dua hari yang lalu, tiba tiba dia datang. Dan sore ini mengajakku dan kakak, berziarah ke makam ibu tanpa kendaraan. Jarak yang mendaki di atas bukit, menjadikan kami terengah-engah. Herannya ayah penuh semangat. Seakan tak ada lelah.
Rumah besar kami pun sudah nampak di depan mata. Ayah berhenti sambil menatapku dan kakak dengan tajam, lalu berkata, “serasa baru kemarin ayah mengantar bunda ke makam. rumah besar ini milik kalian. Ayah masih banyak tugas dan besok harus berangkat lagi, meski rindu ayah sebenarnya belum tuntas. Maka pamanmu sebagai pengganti ayah, hormati dan patuhi. urusan studi dan keperluan kalian, sudah ayah atur dengan pamanmu dan pengacara ayah. Besok pagi ayah ingin kalian izin di sekolah, untuk bisa ngantar ayah di bandara. Pesawat jam 14.00 tapi kita berangkat dari rumah pagi saja. Paman kita ajak, karena kita mau belanja mukena wanita sarung untuk jamaah masjid terlebih dahulu.” Kami hanya berpelukan. Karena aku tak bisa mengomentari. Dan kakak hanya mengiyakan semua kata ayah.
Waktu pun seperti kilat. Perpisahan harus kami alami. Ayah pun berjalan menyusuri pintu keberangkatan. Sesekali menengok ke belakang. Melambaikan tangan ke arah kami.
Tiba tiba ayah seakan tersungkur. Para petugas berlarian menuju ke ayah. Kami pun menuju kepadanya. Petugas sempat melarang kami masuk tetapi paman meyakinkan bahwa kami keluarganya … Ayah hanya tersenyum disaat kami merisaukan keadaannya. Petugas kesehatan bandara pun dengan cepat datang dan membawa ayah ke ruang periksa darurat. Kami tidak diijinkan masuk karena ayah tidak sadarkan diri.
Kami makin tidak tenang ketika dokter yang menangani tidak segera keluar. Pada saat paman minta izin untuk masuk tiba tiba dari dalam dokter membuka pintu. “Siapa keluarga terdekat bapak ini?,” Tanya dokter. Seketika kami serentak menjawab, “kami”. Maka dokter pun menginformasikan keadaan ayah, “bapak anda telah meninggal, karena serangan jantung. Silahkan masuk…!”
Berlarian kami menuju ke arah Tempat tidur dimana ayah dibaringkan. Berkatapun kami seakan tak bisa. Hanya air mata yang tak henti mengalir… Masih terngiang kalimatnya, ternyata itulah pesan terakhir.
Cerpen Karangan: Siti I’anatush Sholihah Blog / Facebook: I’anatush Sholihah