Ketika mulut tak sanggup lagi untuk berbicara, disanalah hati yang berucap sambil mengeluarkan setetes air mata. Hidupku yang awalnya bahagia, karena kehadiran seorang ibu.. Kini ibu pergi untuk selamanya dalam kehidupanku. Kebahagiaanku pun lenyap. Hidupku bagai tanah yang tak bertuan..
“Bangun! Bangun! Bangun!” Suara itu membuat gendang telingaku pecah, aku terus menutup telingaku dengan bantal. Tetapi teriakan itu semakin dekat, membuat gendang telingaku makin pecah. Cahaya mentari pun mulai masuk ke jendela kamarku. Aku membuka perlahan-lahan mataku. Ternyata di depanku ada seorang wanita cantik, dialah ibu..
“Nak, ayo mandi. Katanya kamu mau pergi berlajar kelompok. Kok jam segini baru bangun!” ujarnya “Oh iya bu, tami lupa” balasku Aku pun langsung bergegas menuju kamar mandi.
Setelah selesai mandi, aku pun langsung menuju meja makan. Disana ada segelas susu dan sepiring nasi goreng. Ibu dan ayah selalu hadir menemani keluarga kecilku. Walaupun ibu setiap hari sibuk mengurus keluarga kecilku, tetapi ibu tak pernah menampakkan kelelahannya pada keluarga kecilku. Ibu selalu terlihat senang dan enjoy menjalani semuanya. Aku pun langsung pergi ke rumah temanku dan tak lupa pamitan pada ayah dan ibu.
Sesampai di rumah temanku salsya, tiba-tiba dadaku terasa sesak. Aku mencoba untuk tetap menenangkan diriku. Tetapi hasilnya nihil, dadaku masih saja sesak dan mukaku mulai memucat. Firasatku mengatakan bahwa ada sesuatu yang terjadi pada keluarga kecilku. Temanku terlihat cemas melihat keadaanku. Sampai-sampai dia datang menghampiriku.
“Tam, kamu kenapa? Apa kamu lagi sakit?” ucap salsya “Aa.. Aku gak tau sya. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi dengan keluargaku” jawabku dengan mata agak berkaca-kaca “Ya udah, ayo aku antar kamu pulang” cetusnya Aku hanya mengangguk (menandakan iya).
Setiba di rumah, aku melihat ada bendera hitam dan khalayak orang ramai di depan rumahku. Aku pun mulai masuk. Ternyata ada seseorang yang sedang terbaring dan tubuhnya telah ditutupi oleh kain kafan. Ku mencoba untuk mendekat dan perlahan-lahan membuka kain itu. Ternyata ibu. Aku merasa baru terbangun dari mimpi burukku. “Apakah yang kulihat tadi benar?” Pernyataan itu tiba-tiba muncul dan menggusik pikiranku.
Salsya memelukku dari belakang. “Tam, kamu yang sabar ya” ucapnya “Apa maksudmu sya?” jawabku sambil melepaskan pelukan darinya “Ibumu sudah meninggal” cetusnya dengan linangan air mata “Ibuku gak mungkin ninggalin aku. Ibu sangat sayang samaku” tegasku
Ayah langsung menghampiriku dan berkata “Nak, apa yang dikatakan salsya itu benar. Ibu sudah pergi meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya. Jadi kamu harus ikhlaskan kepergiaan ibumu ya nak” tegas ayah “Nggak. Ibu gak mungkin ninggalin aku. Ibu sangat sayang padaku” cetusku sambil menggoyangkan tubuh ibu dan berkata “Iya kan bu” Ayah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan mulai memelukku. “Sudahlah nak, ikhlaskan saja kepergiaan ibumu” Ujar ayah “Ayah jahat. Ayah udah nggak sayang lagi sama ibu. Apa ayah gak kasian liat ibu yang selama ini selalu hadir menemani kita saat suka maupun duka. Tapi kenapa ayah tega bilang ibu sudah meninggal” ucapku dengan nada agak meninggi.
Segerombolan orangpun mulai mengangkat keranda dan memasukkan tubuh ibu ke dalamnya. Tapi aku mencegahnya. “Hei, apa yang kalian lakukan pada ibuku” ucapku. Ayah menggendongku dan menggurungku di dalam kamar sendirian. Aku merasa kesepian di tempat ini. Tempat ini amat sunyi. Aku berusaha untuk keluar dari kamar itu, tetapi hasilnya nihil. Ayah mengunci pintu dan jendela. Aku sangat kesulitan untuk keluar dan akhirnya aku memutuskan untuk melempar kaca jendela itu dengan vas bunga yang ada di kamar kaca jendela pun pecah dan aku pun keluar dari jendela.
Aku berusaha menncari keberadaan orang yang membawa ibuku hingga akhirnya aku menemukannya di tempat pemakaman umum (tpu). Aku pun masuk ke tpu itu dan ternyata aku menemukan sebuah batu nisan dengan nama rosdiana dan dialah ibuku. Tetesan air mataku pun keluar “Tidak!! Ibu, kenapa dirimu begitu cepat meninggalkanku” ucapku dengan isak tangis Ayah menghapus air mataku dan berkata “Sudahlah nak, ikhlaskan kepergiaan ibumu” “Tudak ayah, ini tidak mungkin terjadi, ibu tidak mungkin meninggal. Aku pasti sedang bermimpi” bantahku
Aku pun menampar wajahku untuk memastikan bahwa aku sedang tidak bermimpi. Ternyata rasanya sakit aku memang benar-benar tidak bermimpi. Rasa sedihku pun sangat dalam, lebih dalam dibandingkan rasa sakit terkena sabitan sembilu. Sakit dan perih rasanya ketika semua ini terjadi. Aku terus saja menangis dan masih belum bisa menerima semua kenyataan ini.
Salsya sahabatku menghampiriku dan memelukku. “Sudahlah tam, ayo kita pulang” ucap salsya sambil menarik pelan tanganku. Aku hanya mengikutinya saja.
Setibanya di rumah, aku hanya terdiam dan termenung. Ayah berusaha mengajakku berbicara, tapi aku tak mengucapakan sepatah katapun. Aku masih terdiam bagaikan orang yang sudah kehilangan harapan untuk hidup.
Keesokan harinya, setelah bangun dari tidurku, aku masih saja bersedih. Aku mengungkapkan semua isi hatiku pada diary
“Dear diary… Ibu… Mengapa kau pergi begitu cepat, apa ibu tak sayang lagi pada putri kecil ibu ini. Putrimu masih membutuhkan kasih sayang dan kehadiranmu dalam hidupku. Ibu, aku sangat menyayangimu”
Suara ketukan pintu pun terdengar. “Nak, kamu sudah bangun! Ayo keluar, mari kita sarapan bersama” ucap ayah Aku cepat-cepat menghapus air mataku dan membukakan pintu untuk ayah.
“Nak, kamu kenapa? Kok matamu bengkak? Kamu nangis nak?” ucap ayah sambil mengusap kepalaku. “Tami tak apa-apa yah” jawabku sambil menarik tangan ayah menuju meja makan untuk sarapan “Ayo ayah kita sarapan” sambungku. Ayah hanya mengangguk.
Setibanya di meja makan pun ternyata sarapan sudah disiapkan oleh ayah untuk kami berdua. Kami pun sarapan bersama. Aku terus berusaha untuk membuat ayah tertawa, aku tak ingin ayah sedih. Cukuplah aku yang merasakan kesedihan ini. Ayah harus tetap gembira dan bahagia. Aku akan selalu berusaha untuk membuat ayah tersenyum dan aku berjanji tidak akan nakal pada ayahku.
Cerpen Karangan: Hutami Febrianti Blog / Facebook: Hutami Zm