Aku terus berlari menerpa hujan, tak peduli bajuku sudah basah dan kakiku yang kotor terciprat lumpur. Siapa yang akan peduli dalam keadaan begini, aku baru saja menang undian. Aku masih teringat kejadian tiga hari yang lalu.
“Itu apa kak?” tanyaku pada kak Lily, kakak relawan taman baca di dekat rumahku. Ia sedang membereskan tasnya, hendak pulang. Saat itu aku melihat beberapa lembar kertas kecil. “Oh, ini kupon undian. Kakak dapat dari supermarket yang biasa kamu cari pelanggan, Neysa!” jawab kak Lily antusias. Aku teringat ke supermarket tersebut, ya, tempat aku mencari orang-orang yang membutuhkan payung. Saat musim hujan begini, menjadi tukang ojek payung suka dicari-cari, banyak untungnya. “Jadi, kalau kita nulis data diri kita disini, insya Allah kalau terpilih kita dapat hadiah,” sambung kak Lily menunjukkan kuponnya. “Hadiah?” aku berdecak kagum, sungguh aku ingin yang namanya hadiah. “Apa aja kak, hadiahnya?” “Ada Handphone, Mixer kue…” Mixer? Kalau aku bisa dapat mixer, ibu bisa melanjutkan berjualan kue yang harus terhenti karena mixer kue lama milik Ibu sudah rusak. Aku menatap lembar kupon itu, seandainya kak Lily mau membaginya padaku..
“Kamu mau, Neysa?” tanya kak Lily. Aku mengangguk cepat, kak Lily langsung memberinya. “Biasanya kakak nggak akan dapat yang beginian, mungkin ini rezekimu ya. Pengumuman pemenangnya tiga hari lagi. Nanti kalau kamu sudah isi datanya, kamu masuk aja ke dalam supermarketnya, terus masukkin ke kotak undiannya. Oke?” Aku mengangguk kembali. “Makasih, kak.”
Sendal lusuhku sudah dari tadi aku lepaskan, takut rusak. Hanya ini sendal yang aku punya. Aku masih berlari, payung yang kupegang tak kukembangkan. Ini hanya untuk pelanggan, bukan buatku. Tapi siapa yang peduli dalam keadaan seperti ini, aku memenangkan Mixernya!
Senja mulai datang bersamaan hujan yang hampir reda. Dan kembali teringat kejadian setelah mendapatkan kupon itu. “Bu, lihat! Aku dapat kupon undian dari kak Lily!” seruku setibanya di depan rumah dan melihat ibu. Sementara Ibu masih mengobrol dengan tetangga, jadi ibu tidak terlalu peduli dengan ini. Ia hanya menyuruhku masuk dan mandi. Baiklah, ini akan kejutan jika menang. Ingat Neysa, jangan terlalu berharap dengan undian ini, insya Allah jika rezekimu kamu akan mendapatkan mixer seperti yang kamu harapkan untuk ibumu. Aku mengingat pesan kak Lily.
Karena tidak sabaran, akhirnya aku langsung menulis data Ibu di masing-masing lembar kupon undian itu dengan melihat KTP ibu yang barusan kuambil dari dalam lemari.
“Mau digusur, Leli? Astaghfirullah! Bagaimana ini?” aku mendengar teriakan ibu dari luar. Aku menjatuhkan pulpenku, digusur? Tidak mungkin ini terjadi. Aku menatap sedih rumah yang sudah aku tinggali sejak lahir. Bagaimana bisa kami digusur? Aku masih SMP dan adikku ada tiga sementara ibu seorang diri mengurus kami. Ayah entah pergi kemana. Kupon-kupon itu kusimpan dalam saku.
“Nggak usah khawatir, Neysa. Katanya yang digusur adalah orang-orang yang tak punya sertifikat rumah. Kita ada kok!” Ibu mengusap pelan rambutku. Aku langsung menanyakan setelah ibu masuk ke dalam rumah. Alhamdulillah. Aku melanjutkan menulis data diri ibu di dalam kamar, ini kejutan!
Sudah hampir sampai, mixer yang kubawa kulindungi dibalik kerudung. Meskipun kotaknya sudah hampir koyak karena basah, tapi sepertinya mixernya masih bagus di dalam. Dengan susah payah aku memegang payung dan sandal di tangan kiri. Tapi, siapa yang peduli jika sebentar lagi aku akan membahagiakan ibu. Mixer untuk Ibu! Lantas aku mengingat kejadian yang membahagiakan, mendapatkan mixer ini.
Aku telah memasukkan kupon undiannya ke dalam kotak kemarin, hari ini adalah pengumuman pemenang. Karena di luar juga belum hujan, maka aku masuk ke supermarket dan menunggu. Banyak sekali yang ikut! Satu dua diantara mereka sama sepertiku, lusuh. Dan berharap keajaiban datang pada mereka.
Panitia mengambil kotak undian yang berwarna cokelat itu. Pengumuman pemenang dari hadiah yang kecil, seperti alat rumah tangga dan alat elektroknik. Tiba di pengumuman untuk mixer, yang akan mendapatkan hadiah ini hanya tiga orang. Tak henti-henti aku berdoa.
“Pemenang yang beruntung selanjutnya adalah… Halimah!” Halimah, adalah nama ibuku. Mataku berkaca-kaca menerima hadiah tersebut.
Sudah sampai, Ibu! Aku akan memberikan hadiah ini padamu, agar Ibu bisa kembali berjualan, tak perlu susah-susah ke rumah tetangga untuk menyuci.
Tapi.. Apa yang aku lihat ini ya Allah! Dimana rumahku? Kenapa semuanya tinggal reruntuhan-reruntuhan? Aku lantas langsung berlari saat melihat ibu di dekat hamparan rumahku, menangis tersedu-sedu dipeluk tiga adikku. Di belakangnya sudah terletak tas besar berisi pakaian kami.
“Ibu.. Ibu bilang…” aku jatuh terduduk, mixer yang kupegang terjatuh. Ibu langsung memelukku, tangisku tak tertahan. “Maafkan Ibu nak… nyatanya sertifikat rumah kita palsu,” ibu kembali menangis.
Air mataku terus mengalir. Lihatlah tiga adikku ini, si bungsu bahkan tak tahu apa-apa. Dia masih tiga tahun. Mixer yang terjatuh tadi kuambil kembali dan memberikannya pada Ibu. Aku mengusap air mataku juga air mata ibu, menguatkan hati. Ibu mengusap kepalaku yang basah, matanya berkaca-kaca terharu. Ia kembali memelukku dan tiga adikku. Aku ingat pesan selanjutnya dari kak Lily tiga hari yang lalu. Nah, kalau kamu nggak dapat mungkin bukan rezekimu Neysa! Allah tahu apa yang terbaik buatmu. Insya Allah…
Dan semoga ini, memang yang terbaik dari Allah.
Cerpen Karangan: Anisah Pujianti Pasai Blog / Facebook: Anisah Pujianti Pasai