Rain. Aku tidak tau apa yang sedang dipikirkannya saat melihatku membawa Ata padanya. Tapi ekpresi Rain terlihat begitu terkejut saat melihat Ata bediri tepat di depannya. Bocah laki-laki itu seperti ingin bertanya sesuatu, tapi tidak mengeluarkan satu pun kata dari mulut mungilnya.
Tanpa aku sadari aku sudah berkabung hampir lima tahun. Aku menyesali kepergian Ane yang meninggalkan kami. Aku tidak bisa menerima kepergiannya dan bersedih selama beberapa tahun. Hingga suatu saat aku bertemu dengan Ata. Setelah menemukannya, aku merasa harus memulai hidupku lagi dari awal, kehidupan yang baru.
Ata datang saat aku mulai membuka diriku pada kenyataan. Dia mampu memasuki celah yang ada untuk mulai mengobati kehilanganku. Dia berhasil membuat rasa kehilanganku sedikit demi sedikit sembuh. Kehilangan besar terhadap Ane, juga keadaan Rain yang membutuhkan seorang ibu.
Aku tidak mungkin melajang seumur hidupku dan membiarkan Rain tidak merasakan kasih sayang seorang ibu.
“Rain.. ini.. tante Ata.” Rain menatapku bimbang dan mulai menatap Ata penuh minat. “Mama Ata,” serunya. Aku menatap Ata. Perempuan itu membalasku dengan senyumnya. Senyum termanis yang pernah aku lihat sebelumnya. Satu hal kecil yang membuat hatiku tergerak dari pengerasan karena kehilangan Ane. Ata sama sekali tidak keberatan dengan tingkah laku Rain. “Iya sayang, kamu boleh panggil tante, mama,” sekali lagi Ata tersenyum ke arah Rain. Aku bisa menangkap ekpresi senang Rain saat Ata meresponnya. Rain memang membutuhkan seorang ibu, membutuhkan sosok ibu yang ada untuknya. Rain membutuhkan kasih sayang yang sama, yang sudah tidak bisa dia rasakan sejak kepergian Ane. “Rain.. Ta..” “Nggak, Dan. Rain bisa manggil aku mama, aku nggak masalah dengan itu,” ucapnya.
Ane.. apakah Ata orangnya? Apakah Ata yang kamu kirim untuk memberikan kasih sayang pada Rain kita untuk menggantikanmu?
Ata sangat menyayangi Rain. Aku bisa melihat sorot mata keibuan yang dipacarkan matanya saat bermain menemani Rain. Perempuan itu dengan telaten menjaga Rain yang sedang bermain. Tidak jarang saat aku pergi ke kantor dan Ata tidak sedang sibuk, dia menemani Rain bermain. Ata sudah menjadi seperti ibu yang Rain rindukan.
“Pa.. Mama Ata mana? Kenapa nggak main sama Rain lagi?” tanya Rain saat Ata sakit dan harus pulang ke Jakarta. Aku hanya bisa mengelus puncak kepalanya sambil tersenyum. “Mama Ata sakit, Rain doain mama Ata biar sembuh ya?” Rain memejamkan matanya lalu berdoa dengan serius. Mulut mungilnya bergerak pelan namun pasti. Aku bisa ekpresi rindu yang terpancar dari wajahnya. Dia benar-benar merindukan Ata. Bocah itu merindukannya, sangat merindukannya.
“Pa?” Rain menggengam ibu jariku dengan jemari mungilnya. Aku menatapnya, anak kecil itu tersenyum. “Apa mama Ane cantik seperti mama Ata?” tanyanya tiba-tiba. Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Apakah aku harus menjawabnya? Apakah aku harus menjawab pertanyaan polos seperti itu? “Hmm.. mereka sama-sama cantik. Rain mau liat foto Mama Ane?” aku melepaskan jemari-jemari kecilnya dan berjalan menyeberang ruangan itu.
Tanganku membuka lemari dan mengambil album kenangan yang pernah kami simpan untuk kenang-kenangan. Disana masih tersimpan dengan abadi foto Ane yang tersenyum sambil memegang perut buncitnya. Senyumnya hangat, mirip seperti Rain. “Mama cantik,” ucap Rain. Aku mengangguk. Rain tersenyum. Lalu dengan tiba-tiba memejamkan matanya, ekpresi dan gerak bibirnya sama seperti tadi. “Rain?” panggilku. Tapi bocah kecil itu diam dan malah menaruh jari telunjuknya di depan. Dia kembali serius menggerakkan mulut mungilnya. Sesekali tersenyum. “Papa.. Rain minta mama Ane mengirimkan malaikat buat menjaga Papa dan Aku. Aku juga minta semoga mama Ata yang jadi malaikat itu.” Hatiku seketika trenyuh. Apakah ini jawaban dari kegundahan yang aku hadapi? Apakah ini jawaban yang kau berikan untukku Ane? “Pa… Rain pengen mama Ata jadi mama Rain juga.”
Ata datang dengan membawa banyak barang dan koper besar ke rumah kami. Rain dengan senang menyambutnya datang di depan pintu utama. Oma juga menemaninya dengan duduk di kursi roda, dengan wajah tersenyum. Tapi.. aku tau senyum itu bukan senyum biasa yang sering aku lihat.
“Mama..” teriak Rain begitu Ata mendekatinya. Tapi Ata dengan malas tersenyum. Ata meletakkan kopernya. “Rain.. mama baru pulang, mama capek. Kita main besok aja ya?” Tanpa bertanya lebih lanjut Rain mengangguk. Dengan senyum kecilnya dia berjalan meninggalkan kami lalu menuju pengasuhnya, Rena. “Mbak Re, main yuk?” Rena mengikuti Rain yang menarik tangannya. Perempuan muda itu menoleh sebentar ke arah kami lalu tersenyum. “Permisi,” pamitnya sopan.
Aku masih ingat sebulan sebelum hari ini. Hari itu hari dimana aku menentukan keputusan besarku untuk menikahi Ata, demi Rain dan juga Oma. Tapi Oma dengan mentah-mentah menolak keputusan itu. “Oma tau, kamu butuh seorang ibu untuk Rain, tapi Ata bukan pilihan yang baik. Oma tidak yakin Ata bisa menjadi ibu yang baik untuk Rain.” Aku pikir Oma hanya cemas, karena tidak rela melepaskan aku dan Rain. “Oma.. Ata menyayangi Rain.” Oma mengusap puncak kepalaku. “Kamu.. kamu yakin?” tanyanya sekali lagi. Dengan yakin aku menganggukan kepalaku. Saat itu aku yakin. Aku yakin Ata bisa menjadi ibu yang baik seperti Ane. Tapi hari ini, aku seperti melihat Ata berubah menjadi orang lain. Menjadi Ata yang berbeda.
“Mas.. aku pengen liburan, kita berdua.” Aku merebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. “Kita baru pulang, lain kali kita liburan bareng sama Rain.” Ata menatapku. “Kita berdua, Rain kan udah besar. Ada Rena yang bisa jagain dia. Harusnya kita fokus untuk waktu bedua sekarang.” Dia berubah menjadi orang yang tidak bisa aku kenali. Dia.. berubah.
Hujan turun dengan nuansa sendu yang kental terasa. Bau tanah basah begitu menyegarkan indera penciumanku. Aku masih bisa melihat semburat jingga di langit. Matahari baru saja turun ke barat. Di langit masih tertinggal sisa-sisa menyala di atas awan.
“Pak.. permisi.” Aku melihat perempuan itu mengetuk pintu kamarku yang tidak tertutup. Aku menoleh. Dia Rena, pengasuh yang Ata sewa untuk mengasuh Rain. Ya, semenjak kami menikah, Rain lebih sering bersama Rena dibanding Ata. Sedangkan Ata semakin sibuk dengan dunianya sendiri. “Pak.. Rain sakit.” Aku segera berlari menuju ke kamar Rain yang ada di lantai satu. Rain sedang meringkuk di balik selimutya. Separuh wajahnya tertutup selimut itu. Mata sembabnya terlihat, hampir bengkak karena tangisnya.
Rena menghampiriku. “Pak.. Bu Ata belum sekalipun menjenguk Rain selama seminggu. Setiap kali Rain bermain, dia selalu menanyakan kapan bu Ata pulang dan bermain bersamanya. Dan kali ini, badan Rain demam.” Aku sama sekali tidak tau. Aku hampir saja melupakan Rain karena tugas keluar kota. Semenjak Ata hadir di dalam kehidupanku dan Rain, aku pikir dia akan menjadi malaikat yang Rain harapkan. Dia akan menjadi ibu yang baik. Tapi.. ini tidak benar. Tiba-tiba hatiku memanas. Hatiku tercabik. “Kamu jagain Rain. Saya mau cari bu Ata.” Sekilas aku melihat Rena mengangguk. Perempuan itu berjalan menuju tempat Rain tidur. Membelai rambut yang jatuh ke mukanya. Perlakuannya jauh lebih keibuan dibandingkan Ata yang sekarang. Ata.. kenapa? kenapa kamu jadi seperti ini?
Malam semakin larut saat aku melihat mobil Ata terparkir di depan sebuah kafe bernuansa vintage. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit, tapi kafe itu masih terlihat ramai. Meja-meja di sana masih penuh dengan para pelanggan. Dan di sanalah Ata duduk dengan teman-temannya.
Aku menarik tangan Ata keluar kafe dan mendudukannya di kursi penumpang. Tanpa berkata apapun, mobilku melaju membawa kami pulang. Sepanjang jalan pun Ata sama sekali tidak berkomentar atau pun beralasan sama sekali. Tidak merasa bersalah sama sekali.
“Kamu malah senang-senang saat Rain sakit? Kamu nggak perduli?” tanyaku menggebu. Hatiku seakan terkoyak. Ata menatapku. “Kamu jangan berlagak seperti ayahnya. Kamu bukan ayah kandungnya!” teriaknya kasar. Aku bisa merasakan kemarahan di matanya. “Kita ini menikah, ingat itu! Tapi bahkan kamu nggak perduli padaku, masa depan kita dan malah perduli dengan anak perempuan itu!” teriaknya lagi. Aku membulatkan mataku. “perempuan itu?” ulangku. Aku benar-benar tidak habis pikir dia bisa menyebut Ane dengan perempuan itu. “Kamu.. tidak pernah tulus pada kami. Dan apa? Aku tidak peduli?” hatiku penuh. Hatiku sesak saat dia benar-benar meragukan perasaanku padanya. Aku tulus menerimanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Aku bahkan menerimanya yang tidak bisa memberikanku keturunan. Aku menerima semuanya. “Dan.. kita pisah saja.”
Aku tidak percaya membawa Rain dan Oma pergi. Rasanya seperti mimpi meninggalkan kota itu, kota kenanganku bersama Ane. Tapi pindah dari Surabaya ke Malang adalah pilihan terbaik. Aku ingin pergi ke kehidupan baru. Aku benar-benar ingin merawat Rain.
“Papa?” panggil Rain. Aku bisa melihatnya tersenyum lagi. Rain tau semuanya, Rain tau kami berpisah. Rain tau bahwa aku dan Ata tidak lagi bersama. “Pa…” panggilnya lagi. Aku tersenyum. Aku menggengam tangan mungilnya. “Papa sedih?” tanyanya. Aku tersenyum lalu menggelengkan kepalaku. “Nggak.. papa nggak sedih.” Awalnya aku pikir berpisah dari Ata adalah pilihan yang akan membuatku terluka. Tapi setelah berapa lama, aku tau jika itu adalah keputusan terbaik. Aku bisa bernapas dengan lega tanpa rasa sakit. Sekarang bahkan aku mengerti kenapa Papa dan Mama dulu berpisah, karena perasaan tak lagi sama dan cinta ada waktunya untuk memudar.
“Pa..” Aku menoleh lagi ke arah Rain. Hujan rintik-rintik turun di senja itu. Membawa kembali kenangan-kenangan tentang Ane dan masa-masa kenangan itu. “Papa tau, kata Re.. hujan setelah senja itu sangat indah,” Rain memelukku. Aku menggelangkan kepalaku. Hal itu membuat Rain kemudian tersenyum. “Juga, apa papa tau jika setelah hujan ada keajaiban?” tanyanya lagi. “Keajaiban?” aku tersenyum. Rain lebih semangat bercerita. Dia semakin senang saat aku menunjukkan ketertarikan padanya. “Mbak Re bilang, hujan itu nggak selamanya sedih. Ada juga hujan yang bahagia.”
Aku menoleh sekilas ke arah Rena yang berdiri tidak jauh dari kami. Tepatnya di belakang kami. Orang itu tersenyum. “Papa.. jangan sedih ya pas hujan. Hujan nggak selamanya menyedihkan kok. Hujan juga bisa membawa kenangan yang pernah terlupakan kembali,” Rain bercerita dengan nada ceria. Aku mengusap kepalanya lembut. “Terus?” tanyaku. “Saat hujan, aku berdoa semoga papa ingat bahagianya sama mama Ane, sama Rain, dan melupakan hal yang bikin papa sedih..” Aku memeluk tubuh mungilnya. Rain.. Papa menyayangimu. “Rain.. papa bersyukur punya kamu di dunia ini..” Dan aku bersyukur kau mempercayakan Rain padaku Ane. Dan maaf, jika aku tidak bisa menjadi Ayah yang baik seperti yang kau harapkan. Tapi.. Ane.. aku mencintai Rain, dan bersyukur dia menjadi anakku. “Rain.. juga senang punya Papa seperti Papa.”
Cerpen Karangan: Nurillaiyah