Aku tau jika kehadiranku tidak diharapkan di keluarga ini. Pamanku, bibiku, saudara sepupuku tidak ingin aku ada disini. Mereka sama sekali tidak ingin melihat wajahku ada di depan mereka, kecuali kakek.
Aku bukan siapa-siapa tanpa kakek. Aku hanya anak dari anak sulung yang sudah meninggal, seorang gadis yatim yang masih dipertahankan oleh kakek di sisinya. Dan aku tidak akan berada disini jika bukan karena kakek. Ya, karena kakek saja yang mau melindungiku disini.
“Sarava, kamu mau makan apa?” tanya kakek memecah kesunyian meja makan. Semua mata langsung tertuju ke arahku karena hal itu. Aku tersenyum. “Enggak kek, udah cukup kok ini.” Mata mereka menghakimiku, mereka tidak suka sikap kakek yang selalu perhatian padaku. Mereka juga tidak suka jika aku duduk di sebelah kakek, meskipun kakek yang meminta. Aku tau, aku selalu tau mereka tidak menyukaiku.
“Kanaya,” panggil kakek pada gadis muda seumuranku yang duduk di ujung meja, Naya, anak dari paman termudaku. Naya tersenyum. “Ya, kakek.” Kakek menaruh sendoknya. “Kamu sekolah di Toro kan?” Gadis itu mengangguk. “Iya, Naya sekolah di sana.”
Dahi tua kakek berkerut. Tampaknya memikirkan sesuatu. Lalu tanpa terduga menoleh ke arahku dengan tiba-tiba. Jujur saja, aku mulai merasakan hal lain kali ini, intuisi seorang Sara. Kakek tersenyum padaku aneh. “Sarava, minggu depan kamu masuk Toro.” Dan sesuai dugaanku, hal lainnya terjadi. Semua mata itu menatap lebih tajam kali ini. Bahkan mata Naya hampir keluar dari tempatnya karena terkejut. Ya.. jujur saja, aku juga terkejut dengan hal ini. Aku terkejut karena semuanya. Satu lagi, terkejut karena menyadang nama besar keluarga. “Saravana Anindya Sumidjo, kamu memang pantas mendapatkannya, jangan sungkan. Aku ini kakekmu, akan kulakukan yang terbaik untuk cucuku.”
Aku menyandang beban besar di pundaku karena nama itu. Awalnya aku senang karena bertemu kakek, ayah dari ayahku. Kakek yang selama ini tidak aku ketahui dan baru aku temukan. Tapi.. Sekarang aku juga harus berhadapan dengan perang dalam keluarga untuk mendapatkan perhatiannya. Aku.. benar-benar tidak bisa mempercayai semuanya.
“Kakek punya pengumuman. Untuk cucu-cucuku…” Suasana meja makan tiba-tiba berubah senyap.
Kakek kembali bersuara, “jika ada diantara kalian yang bisa berprestasi dan menarik perhatian kakek, kakek akan memberikan sebuah apartemen lengkap dengan isinya.” Semua cucu kakek yang semula diam menjadi bersemangat, empat orang. Cucu kakek ada empat orang, hingga ini menjadi terasa mustahil bagiku. Aku anggota baru, dan belum mengerti benar arti semua ini. Pengumuman kakek, aku bahkan tidak memahami artinya. Apakah ini perang saudara? Apakah seperti ini suana keluarga ini?
“Sara, ini juga berlaku untukmu. Dan lagi.. khusus untukmu, kakek meminta tutor langsung dari Toro. Dia akan datang lusa, bersiaplah.” Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku, mencoba mencerna kata-kata kakek. “Iya.”
“Kalian dengar. Jangan berpikir, karena dia tidak pernah berada disini, kakek akan mengabaikannya. Kakek akan menjaganya lebih, sebagai ganti dari hidupnya di luar rumah ini.. ingat itu..” Semua orang terdiam. Wajah-wajah masam mereka terlihat jelas. Melihatnya membuatku merinding. “Siapapun yang berusaha membuat dia tidak nyaman di rumah ini, akan berurusan dengan kakek.”
Inilah.. kehidupan Saravana sekarang, seorang cucu dari anak sulung keluarga Sumidjo. Cucu yang menghilang dan baru kembali. Saravana, selamat datang di gerbang peperangan keluarga ini. Kehidupan barumu, masih akan dimulai.
—
Kakek pemimpin keluarga ini. Dialah orang yang berkuasa di dalam rumah ini. Paman-pamanku selalu menuruti semua perintahnya dan mematuhi semua peraturan yang kakek buat tanpa bantahan. Kakek adalah orang yang mengendalikan semuanya. Semua orang di rumah ini, perusahaan, pabrik bahkan asisten rumah tangga hingga body guard yang akan mengawal kami 24 jam.
Kakek punya segalanya, hingga begitu dipatuhi dengan semua aturannya. Karena kakek, pemimpin. Karena kakek, kepala keluarga ini. Dan… karena kakek belum punya pewaris sah yang akan mengelola semua asetnya. Hingga mereka berlomba merebut hatinya untuk menang.
“Naya..” panggilku. Naya berhenti tapi tidak menoleh ke arahku sama sekali. Gadis itu berjalan lagi. Hampir memasuki mobilnya. “Kita searah, kenapa nggak berangkat sama-sama?” Naya akhirnya menoleh dengan terpaksa. “Lu kan udah dikasih supir sama kakek, berangkat sendiri bisa kan?” Gadis itu memasuki mobilnya lagi. Seseorang memang telah membukakan pintu itu untuknya, hingga dengan segera dia bisa melajukan mobil itu pergi. Sendiri tanpa supir. Aku benar-benar tidak habis pikir. Sebegitu bencinya dia padaku? Apa karena semua perhatian kakek?
“Non.. mobil udah siap.” Aku menoleh. Sopir kepercayaan kakek. Dia benar-benar menjadikanku perhatian khusus. Ini… pertanda buruk. Kakek.. secara tidak langsung telah memasukanku ke dalam peperangan ini. Dan ini.. sangat berat. “Ayok, pak. Kita berangkat sekarang.” Aku.. benar-benar harus berjuang sekarang, agar aku tidak kalah sebelum mencoba. Jika aku menyerah, mereka akan semakin menginjak diriku. Aku.. tidak mau itu terjadi. Aku tidak mau diremehkan dan diacuhkan lagi.
—
“Sara.. kondisi Mama kamu masih mengkhawatirkan. Lebih baik kamu datang menemui kakekmu dan bersamanya untuk sementara waktu.” Dokter Arni tersenyum padaku. Dokter itu adalah teman baik Mama yang merawatnya selama ini. Keadaan Mama memang sedikit mengkawatirkan. Jantungnya sering tidak baik. “Aku.. lebih suka bersama Mama, Tante.”
Aku tidak keberatan dikucilkan atau pun dibully saat di sekolah, tapi saat bersama mama, aku teriris. Hatiku sakit saat harus melihat mama seperti itu. Tubuh lemahnya ditambah penyakit jantung yang dideritanya. Dunia ini memang tidak adil.
Mama membuka matanya perlahan setelah tante Arni pergi. Lalu memiringkan kepalanya untuk menoleh ke arahku duduk, “Sara, lebih baik kamu pergi temui kakek kamu, mama sudah mengirim sesuatu yang akan membuktikan kamu anak kandung dari anaknya.”
Kakiku mendekat ke sisi ranjang tempatnya berbaring. Tanganku meraih jemarinya. “Ma, aku sayang mama apapun yang terjadi, aku mau nemenin mama apapun yang terjadi.” Mama tersenyum dan mengelus puncak kepalaku lembut, “Sara, mama juga sayang kamu. Mama nggak mau kamu terus dibully dan dikucilkan.” Mataku melotot. Air mataku hampir jatuh. Dari mana mama tau? Dari siapa? Kenapa hal yang ingin aku sembunyikan rapat terbongkar?
“Mama nggak mau kamu sakit, setidaknya kamu akan lebih baik bersama kakek. Kamu pantas mendapatkannya. Mama kuat kok, mama akan menunggu kamu sukses.” Rasanya hatiku sakit. Aku tidak ingin menjadi beban mama. Aku tidak ingin memperberat semua perjuangan mama. Aku ingin mama sehat, dan aku ingin terus bersama mama. Tapi… mama benar, jika bersama kakek, setidaknya hidupku lebih baik.
“Ma.. tunggu Sara kembali.”
—
“Nambah satu golden child yang lain. Sekarang nambah lagi yang harus kita segani. Nambah lagi yang lain yang harus mereka jilat.” Seseorang di belakangku berbisik saat aku memasuki ruang kepsek Toro. Mereka tau siapa aku. Siapa keluargaku. Sekolah ini memang besar seperti yang terdengar. Bangunan sekolahnya memang megah seperti rumor. Dan.. tentang strata sosialnya, terlalu jelas.
“Saravana.. selamat datang.” Seorang wanita setengah baya menyambutku dengan hangat. Karena pengaruh kakek, aku yakin itu. Dia hangat karena nama kakek. “Kamu cantik seperti yang ibu dengar.” Cantik? Ya, cantik. Anda benar tentang penampilan ini, karena kakek merubah penampilanku. Sara hari ini berbeda dengan Sara kemarin dan sebelumnya. Sara ini.. Saravana Anindya Sumidjo. Cucu pengusaha besar Sumidjo. “Karena saya perempuan dari lahir bu. Kalau saja ganteng, berarti saya laki-laki.” Perempuan bertubuh gempal itu tertawa. “Kamu.. humoris seperti kakek kamu.” Humoris? Ya.. benar. Anda tertawa. Tapi.. Karena saya atau pengaruh kakek saya? “Iya..”
“Sara.. kamu minta tidak sekelas dengan Naya kan?” tanyanya. Aku mengangguk.
Seseorang mengentuk pintu. Setelah dipersilakan masuk, dari balik pintu itu seorang cowok melenggang masuk. “Selamat pagi, bu,” sapanya. Aku mengenalinya. Dia tutorku. Seorang cowok jangkung berwajah oriental kental yang mencolok. Aku sudah bertemu sebelumnya dengannya, oleh karena itu saat dia muncul, aku langsung mengenalinya.
“Kamu tiba lebih awal, Jonathan,” perempuan itu tersenyum padanya. Iya.. dia Jonathan Wijaya, seorang Nerd yang dipercaya kakek untuk membimbingku. Ya, penampilannya memang tidak seperti kutu buku yang gila pelajaran. Namun sebaliknya, penampilannya khas cowok populer di kalangan para gadis. Dia.. keren dengan otak encer.
“Bukan saya yang kepagian bu. Tapi.. Ana yang terlambat,” Jo tersenyum mengejek ke arahku. Ya, menyindirku dengan senyuman palsunya. Aku berdehem pelan. “Maaf.. bukannya wajar murid baru masuk ke kelas bersamaan dengan dimulainya jam pelajaran? Lagian.. masih hari pertama.” Jo menyipitkan matanya. “Murid baru harus disiplin agar terbiasa. Diawali dengan tepat waktu, agar selanjutnya tidak menjadi kebiasaan.” Dia menyindirku lagi? Ck! So nerd, i hate this boy!
“Jo.. Sara benar. Ini hari pertamanya. Itu hal wajar.” Untuk kali ini. Aku setuju dengan anda, bu Kepsek. Aku tersenyum menang pada Jonathan. Ini.. Kekuatan nama kakek. Nama besarnya yang membuatku istimewa.
—
Kehidupanku seratus delapan puluh derajat berbeda dari sebelumnya. Disini mereka menempeliku seperti perangko. Kadang bahkan membuatku merasa risih. Mereka seperti stalker yang mengikuti, mengawasiku setiap saat. Semua ini lebih berat dan bahkan seperti penjara.
“Jo.. bisa nggak bikin mereka jauhin gue?” Dahi cowok itu berkerut. “Ini kan yang lu mau? Sekarang kenapa malah risih?” Ya.. aku ingin didekati dan berteman. Tapi ini lebih seperti penjilat dan parasit. “Tapi gue ga suka dijilat. Gue nyarinya teman bukan penjilat atau stalker.” Jonathan tertawa. Bibir merah muda alaminya terbuka lebar hingga menampakkan barisan gigi putih rapi di dalamnya. “Ini hidup lu sekarang, syukuri!” lalu tiba-tiba cowok itu berteriak di telinga kananku. Aku melotot ke arahnya. Cowok ini benar-benar benar minta dihajar. Tampang kerennya bahkan tidak bisa membuatku memaafkannya.
Jonathan menangkap tangan kananku yang hampir meraih telinga kirinya. Bibirnya mengatup sambil menatapku dingin. “Jangan cuma bisa ngeluh. Di dunia ini nggak banyak orang yang beruntung seperti hidup lu.” Aku tidak tau kenapa dia ingin menjadi tutorku. Dia bukan seseorang yang membutuhkan uang. Dia kaya, keren dan juga anak seorang jaksa. Dia.. diselimuti banyak misteri yang tidak bisa aku ketahui.
—
Kakek menatap mereka serius. Suana ruang keluarga tiba-tiba menjadi mencekam dengan keseriusan kakek itu. Sunyi senyap tidak ada yang mau mengeluarkan suara.
Tangan kakek mengepal. “Aku tau kalian mengerti maksudku.” Suara kakek menggema. Terdengar jelas di telingaku dan tentu saja telinga mereka. Mata mereka menatap satu sama lain. Mencari apa yang salah.
Kakek menggebrak meja. “Siapa yang melakukannya pada Sara?” tanyanya sekali lagi. Sikap kakek menjadi keras. Aku tidak bermaksud memancing masalah dengan siapapun. Tapi…
“Siapa yang membuat tangannya seperti ini?” suara kakek meninggi. Jujur.. suara itu menakutiku. “Kakek..”
Tapi ini… sudah melebihi batasku. Mereka menyakitiku.
To be continued..
Cerpen Karangan: Lily N