Di saat yang tidak terduga. Ibuku melahirkan. Tanpa disertai keluarga dan sanak saudara. Mungkin. Itulah yang aku tahu. Kabar ibu melahirkan aku dapat ketika adik kecil telah masuk ke alam yang baru setelah alam kandungan. Aku bergembira. Akhirnya setelah sembilan tahun menunggu. Adik yang aku harap-harapkan terlahir dengan proses caesar serta dalam keadaan sehat dan selamat. Kebahagiaan menyelimuti keluarga kami.
Tepatnya pada tanggal 09 April 2005 Adikku mengenal dunia ini. Seperti biasa yang dialami bayi pada waktu dilahirkan, tangis menjadi awal percakapan dengan keluarga yang mencintainya. ASI menjadi asupan gizi pertama yang ia konsumsi. Ketika ia lahir ibu belum sama sekali menyiapkan nama. Hal itu terlihat tatkala ibu ditanya bidan tentang nama yang akan ditulis dalam akte kelahiran. Melihat hal itu aku nyeletuk bertanya kepada ibu. “Ibu siapa sih istri nabi Muhammad” wajahku menyiratkan rasa penasaran “Khodijah dan Aisyah de” sambil mengelus kepalaku lembut. Ibu menyebutkan dua dari belasan istri nabi. “Yaudah, dinamain Siti Khodijah Nur Aisyah aja bu” spontanitas aku memberi saran nama seperti itu. Ibu bidan memberikan isyarat kepada ibu dengan mata. Isyarat yang berisi pertanyaan antara menerima nama dariku atau tidak. Ibu terdiam, berpikir antara iya atau tidak. Agak lama, akan tetapi setelah itu ibu meng-iyakan dan melempar senyum kepadaku. Aku girang bukan main. Untuk kali pertama aku memberi nama kepada seseorang. Siti Khodijah Nur Aisyah nama yang indah dari dua orang yang mulia.
Waktu pun berjalan dengan cepat, tidak terasa Ais, adik kecilku sudah memulai tuk merangkak, berbicara seadanya serta berjalan dengan alat bantu berupa bangku plastik. Rambutnya tumbuh dengan lebat, berjiwa periang dan selalu menyisahkan senyuman kepada orang-orang setiap kali ia bertingkah menggemaskan. Dalam perkembangannya Ais bisa cepat berjalan akan tetapi lambat untuk menguasai kosa-kata. Ais lambat berbicara.
Tiga tahun berlalu. Ais sudah bisa berjalan dengan lancar. Tubuhnya makin besar. Setelah habis masa instensif meminum ASI, Ais makin sering meminum susu formula. Sangat sering. Ais makin hari makin punya banyak mengenal kata. Mungkin, di umur seginilah Ais mulai bisa berbicara dengan lebih baik. Selama masa ini aku benar-benar bahagia. Ais menjadi pengganti abangku yang mulai beranjak remaja. Di umur inilah aku dan tetehku yang tomboi dan beraninya bukan main banyak menghabiskan waktu bersama Ais.
Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Semua rontok begitu saja. Senyum, tawa dan canda langsung terenggut begitu cepat. Hanya sekali terjadi, diam, tangis dan rintihan mewarnai hari itu. Tinta kesedihan mencoret semua kisah kebahagiaan. Tanpa sedetik pun bisa ditunda. Kematian datang. Menebar duka mendalam.
Tak lekang dari ingatan dan terus membekas hingga kini. Di hari libur sekolah. Di pagi hari menjelang siang. Rumah begitu ramai. Sakit ayah semakin parah. Tokoh desa, keluarga dan para tetangga sudah berkumpul di rumah. Mengawal kesehatan ayah yang semakin memburuk. Badannya terbaring lemas. Tidak di kasur. Tapi di sofa.
Dalam keadaan seperti itu aku tidak tahu menahu. Seberapa gentingnya saat itu. Disaat yang lain cemas. Aku sibuk menonton kartun yang selalu tayang di setiap hari libur sekolah. Secara marathon, episode per-episode kartun dan film anak itu ditanyangkan. Aku mulai berhenti menonton televisi ketika teman ibuku mematikan TV dan menyuruh untuk melihat di rumah sepupu. Katanya takut memperburuk keadaan.
Dalam keadaan rumah yang begitu ramai aku pergi keluar bersama teteh dan Ais. Berjalan kaki, melewati lapangan bola, menuju rumah sepupu untuk melihat kartun kesayangan. Pada saat itu, tidak ada sedikitpun firasat ayah akan pergi untuk selamanya.
Mendekati dzuhur aku pulang melewati jalan yang sama ketika datang. Disinilah aku mulai merasakan sebuah firasat yang terasa menyesakkan dada. Aku dan teteh merasakan sebuah kekhawatiran yang tidak biasa. Di dekat lapangan bola, aku mempercepat jalan. Kami setengah berlari.
tatkala aku sampai, rumah terlihat semakin ramai. Saat aku memasuki rumah. Ibu lamat-lamat di dekat kuping ayah. Dari gerak bibirnya ibu mengucapkan lafadz yang sama berulang-ulang. Di sekeliling sofa orang-orang terdekat menatap iba akan keadaan ayah.
Di waktu krusial ini abang pergi keluar. Menukar oksigen yang telah habis dari pagi ketika aku pergi ke rumah sepupu. Entah belinya dimana, abang membelinya terasa begitu lama. Waktu penentuan terlihat semakin dekat. Sang pencabut kegembiraan yang tak terlihat terasa begitu dekat. Di waktu nadza’ dengan penuh kesabaran ibu menuntun. “Laa ilaha illa allah” begitu rintih. Tak banyak yang mendengar. Hanya orang yang posisinya benar-benar dekat dengan ayah yang bisa mendengar. Seketika itu juga ibu menangis. Memeluk ayah dan memanggil namanya. “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.” Secara spontan bang nemin, teman ayah mengucapkan kalimat yang membuat tangis pecah. Air mata tak terbendung. Keluarga, sanak dan tetangga yang tak kuasa menahan deraian air mata ikut menangis, tanpa terkecuali.
Aku, lari, tak kuasa melihat. Menangis sesegukan tak menerima. Bersama anak sepupu. Aku hempaskan diri ke tempat duduk di depan rumah. Aku kalap, menangis sejadi-jadinya. Mengomeli nasib yang aku alami kali ini.
Aparatur dan tokoh-tokoh desaku bergerak cepat. Menyiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk pemakaman. Rumahku makin ramai. Pengumuman disiarkan melalui speaker masjid dan mushola terdekat, bendera kuning bertebaran, bangku-bangku, keranda dan alat memandikan mayit tidak sampai satu jam sudah siap digunakan.
Sementara di dalam ibu mengambil inisiatif. Dengan tetap berderai air mata, ia mengangkat jasad ayah dari sofa, lalu membawanya ke majelis tempat masyarakat sekitar belajar di rumahku. Dengan sigap ibu menyuruh para tetangga menyiapkan karpet, kain dan lain sebagainya. Aku tak bisa membayangkan seberapa ringannya tubuh ayah, sampai bisa diangkat oleh ibu sendirian.
Dalam pelukan kesedihan. Aku meredam tangis. Entah karena apa, tangis begitu mudahnya mereda pada diriku. Tak ada alasan lagi untuk terus menangis. Aku lebih memilih untuk menyambut tamu dan membantu apa yang bisa aku kerjakan.
Rentetan tangis telah terjadi. Kami sekeluarga mencoba bangkit dari jurang kepedihan. Selama tujuh malam pertama tahlilan di gelar. Masyarakat dengan kekeluargaanya membantu segala hal yang dibutuhkan dalam segala lini.
Setelah kejadian ini. kami harus mulai terbiasa dengan keadaan tanpa adanya seorang ayah. Nisbat anak yatim melekat padaku dan saudara kandungku. Karena peristiwa ini Ais yang baru saja genap tiga tahun serta aku yang memasuki pertengahan tahun ajaran kelas enam madrasah ibtidaiyah harus besar tanpa peran dan kehangatan seorang ayah yang sangat berarti. Saat inilah aku benar-benar merasakan sakitnya kehilangan. “Kalau sudah tiada baru terasa”
Masa sedikit demi sedikit memakan umur, menambah ego serta membuat perubahan di seluruh lini kehidupan keluargaku. Tak terasa Ais sudah mulai memasuki sekolah dasar. Kenangan pahit serasa begitu cepat menguap. Kepergian ayah sudah tidak meninggalkan tangis. Setiap mengenangnya tawa selalu menemani. Bagi kami mengenang tidak melulu harus diwarnai tangis kesedihan.
Tapi itu semua tidak diraih dengan mudah. Kami sekeluarga melaluinya dengan masa-masa sulit. Karena kami harus mendatangkan kehangatan dan kasih sayang sepenuhnya kepada Ais. Kasihan, dia ditinggal ketika belum terlalu mengenal ayahnya. Tak jarang ia mengeluh karena tidak memiliki ayah. Bahkan pernah sesekali dia mengucapkan keinginan memiliki ayah ketika mengobrol bersama ibu. “Ais tahu ayah ninggalin Ais pas umur tiga tahun” dengan intonasi yang terbata-bata Ais berucap. wajahnya menatap ke karpet. kami hanya bisa terenyuh, mendengar apa yang ia ucapkan. Kalau tidak salah ketika umur lima tahun dia berkata seperti itu sambil terus berusaha tegar pada keadaan. Siapapun pasti tidak kuasa mendengar hal itu dari anak kecil yang ditinggal mati ayahnya. Walau hanya pernah mendengar sekali kata-kata ini terus terngiang di pikiranku, abang, teteh dan ibu.
Pertumbuhan Ais tak terasa berlalu begitu cepat. Sesuai dengan namanya Ais terlihat begitu kuat dan pintar. keuletannya membawa dia selalu menjadi yang terdepan di kelas. Dengan pengalamannya ia menjadi wanita yang kokoh. Walau kadang baperan.
Di saat seperti ini Ais harus terbiasa tumbuh hanya dengan kasih seorang ibu. Itu pun kadang ia harus siap ditinggal ibu mengajar di luar. Teteh dan abang tidak bisa mengawal perkembangannya. Tuntutan mondok meninggalkan konsekuensi besar. Aku selaku abang terdekatnya tidak bisa mengisi masa tumbuh kembangnya.
Walaupun begitu aku terkadang mendengar dari ibu dan melihat sedikit bagaimana ais ketika bermain dengan teman sebaya. Yang aku perhatikan Ais tumbuh sebagai orang yang paling tidak betah ketika melihat tatapan tidak suka dari temannya. Kadang ketika dia melihat ada yang salah pada orang sekitarnya ia akan bersedih dan merasa kebingungan, tanpa mencoba mencari solusi. biasanya segala bentuk kebingungannya ia curahkan di tulisan
Pun pergaulannya mulai kelas satu hingga kelas enam. Gurunya selalu melaporkan tentang begitu baiknya Ais terhadap teman. Begitu perhatian dan tentang sikapnya yang menghindari menyakiti hati teman-temannya dengan mengalah. Begitu pula kebiasaannya yang sedari kelas satu sekolah dasar terbiasa dengan rambut yang selalu tertutup kerudung dan aman dari pandangan orang yang tidak mahrom.
Akhirnya, dibalik kebahagiaannya seorang Aisyah yang selalu dituruti keigininan, dibalik sebuah senyuman, serta kebiasaan mengalahnya. Ais menyimpan sebuah rentetan panjang rasa sakit, cobaan serta kesedihan yang lebih sering ia tanggung sendiri dari pada dibagi kepada orang lain. Hingga kini.
Dibalik masuknya Ais ke pondok Darul Furqon Langitan. Ada semangat seorang ibu yang rela berkorban jiwa, raga serta benda. Abang yang selalu siap mendengar curhat serta membantu ibu dalam segi tenaga. Dengan penuh kerelaan, mengorbankan segalanya ibu yang sebenarnya berat jauh dari Ais merelakan keinginannya mondok di Jawa Timur. Tangis selalu pecah ketika ibu pergi meninggalkan ais.
Hal ini sebelumnya juga pernah terjadi ketika melihat aku mulai kerasan di pondok. Ibu serasa bangga dan menangis bahagia. Anak yang mengempeng di setiap sebelum tidur hingga kelas SD berani melanjutkan belajar di tempat yang jauh dari orangtuanya serta tidak melihatkan wajah sedih sedikitpun.
Dan kini satu bulan telah terlampaui. setiap aku menyambang, ais selalu memperlihatkan raut wajah yang berbeda-beda. ketika terlihat sumeringah tentunya aku turut bahagia. tapi kalau udah lihat dia cemberut, lemas dan pucat. Seketika itu galau menyerang, ibaku kambuh, pusing menyeruak. Cuma sabar dan telaten yang bisa membuat aku bertahan.
Dalam doaku hanya terfikir sebuah harapan. Semoga ia bisa kerasan dan mendapatkan teman baik disana, cepat bisa berbahasa jawa. Semoga dia tidak terlalu banyak menanggung beban. Semoga, semoga tidak hanya menjadi semoga. Semua harapan tercapai dan ia sukses menjadi the first dalam menghafalkan Qur’an. Amin.
Di bawah tekanan kebingungan dan tuntutan. Dalam keadaan hati sesak dan baperan tulisan ini jadi. Tanpa editan penuh arti dan tanpa pesan yang begitu banyak. Ini hanya sebuah kisah. Tak jelas dan tak mau menuntun pada fiksi yang penuh dengan haru biru tangis kesedihan.
Mbak, dengan tulus kutitipkan adik kecilku yang manja. Tanpa perhatian dan welas asihmu, pahala akan mengalir deras hingga akhir hanyatmu. 29 Agustus 2017.
Cerpen Karangan: Zahid Farhan Blog: muhzafar.blogspot.co.id