Alarm membangunkan Andel dari mimpi buruk yang sudah setahun ini menghinggapi kepalanya. Kepalanya terasa berdenyut hingga berasa ingin pecah saja. Ia memegangi kepalanya sambil meringis. “Mimpi buruk lagi?” tanya kakaknya sembari menyilangkan tangannya. Andel memandang kakaknya malas, “Kurasa pertanyaanmu retoris. Aku harus mandi dan bersiap-siap,” jawab Andel lalu melesat ke kamar mandi.
Setelah bersiap-siap, Andel menggerek langsi kamarnya agar cahaya masuk ke dalam kamarnya. Di atasnya tergantung sebuah benda bundar dengan jaring-jaring tidak jelas di tengahnya. Ada tiga tali hitam dengan ujung terikat bulu lumayan panjang berwarna coklat. Benda itu adalah dreamcatcher, penangkap mimpi buruk. “Sepertinya benda ini tak berguna,” ucapnya sambil mengamati dreamcatcher itu lamat-lamat.
Sudah kesekian kalinya mimpi buruk itu tak bisa Andel hindari. Kata kakaknya, Alin benda yang berada di tangannya ini bisa menangkap mimpi buruknya. Tetapi apa? Bayangkan, kau bermimpi tentang orang-orang yang tak pernah kau kenal! Rasanya jantungnya sudah lelah dan otaknya sudah tidak bisa berfungsi lagi. Pertarungan itu selalu saja kembali berputar-putar di otaknya. Anak-anak itu terus-menerus meronta-ronta memohon pertolongannya. Apa yang harus ia tolong? Semuanya seakan-akan berputar layaknya film. Bedanya film yang berada di pikirannya terlihat sangat nyata.
“Aku akan membuang benda ini,” ucap Andel yakin lalu pergi keluar kamar sambil memasukkan dreamcatcher tersebut ke dalam tasnya.
“Andel pergi dulu ya.” Andel berteriak kemudian melangkah keluar rumah, memasuki mobil dengan disetiri oleh supir. Andel menghirup udara segar yang ada di sekelilingnya, mencoba melupakan mimpi yang menyerangnya tadi malam. Entah kenapa hatinya ingin sekali menolong anak itu. Walaupun Andel sendiri tak yakin, apakah dia benar-benar nyata? Atau ia harus kembali ke pemikiran awalnya bahwa dia hanyalah sebatas bunga tidur. Tetapi, apakah bunga tidur harus selalu tentang kegelapan?
“Jadi, jika resultan gaya yang bekerja pada benda yang sama dengan nol, maka benda yang mula-mula diam akan tetap diam. Benda yang mula-mula bergerak lurus beraturan akan tetap lurus beraturan.” Guru fisika Andel terus-menerus mengoceh mengenai Hukum Newton, sedangkan dirinya, membagi fokus antara mendengarkan penjelasan beliau dan mimpi buruk yang menyerangnya tadi malam.
“Clar!” Andel memanggil teman sebangku sekaligus sahabatnya pelan. Yang dipanggil mendelik ke arahnya. “Apa?” jawabnya malas-malasan. Andel tahu, Clara bosan dengan penjelasan Bu Nelda yang terkesan boring. “Temanin aku pas pulang nanti ya,” bisik Adel. “Ke mana?” tanya Clara penasaran. “Ada deh. Temanin ya.” Clara hanya menaikkan kedua alisnya, lalu mengalihkan fokusnya ke Bu Nelda. Takut-takut Bu Nelda memanggilnya lagi ke depan hanya untuk mengerjakan soalnya yang terbilang susah.
Lonceng sudah berbunyi pertanda kegiatan belajar-mengajar telah usai. Andel langsung melesat keluar, kemudian menelepon supirnya.
“Pak, nggak usah jemput Andel ya. Andel pulangnya sama Clara.” Setelah mengatakan itu, Andel langsung menutup teleponnya. “Andel!” Seseorang memanggilnya, ia menoleh ke belakang melihat orang yang memanggilnya. “Andel, pulang bareng yuk!” Sebenarnya Andel ingin sekali menyanggupi ajakan Arkan, cowok yang selama ini ditaksirnya. Akan tetapi, tidak untuk kali ini. Andel memegangi tangan Clara, meninggalkan cowok itu lalu mereka pergi mencari tempat pertama kali mimpi Andel bermuara. Arkan memandang Andel dari belakang dengan tatapan tak terdefinisikan.
Andelion. Masih terasa segar dipikirannya akan tempat gelap itu. Tempat itu memang benar-benar ada. Kabarnya tempat itu telah lama kosong dan tiada penghuninya. Konon, tempat tersebut angker dan dipasang larangan untuk tidak memasuki tempat itu.
“Kita ngapain sih di sini, Ndel? Pulang aja yuk. Tempat ini kan terkenal angker,” ucap Clara takut-takut. “Udah deh. Temenin aja napa. Akhir-akhir ini mimpi burukku makin parah. Dan aku yakin, ini semua ada hubungannya dengan tempat ini.” “Tapi Ndel…” “Udahlah, ikut aja.”
Andel dan Clara mulai menapaki kakinya ke dalam gerbang. Clara memandang Andel pasrah. Saliva yang berada di mulutnya ditengguknya kasar. Ia benar-benar merasa takut sekaligus merinding. “Duh Ndel, aku takut. Kau lihat bulu kudukku,” ujar Clara takut. “Kenapa dengan bulu kudukmu?” tanya Andel sambil celingak-celinguk entah mencari apa. “Andel!” Clara sedikit menjerit. Gadis itu benar-benar ketakutan. Ia semakin merapatkan dirinya dengan Andel.
Andel sudah banyak membaca artikel tentang tempat yang dikenal angker tersebut. Awalnya sejak pertama kali Andel tahu tentang tempat itu lewat mimpi-mimpi beruntun, ia sudah ingin sekali memasuki tempat ini. Tetapi dia sedikit takut, karena tempat ini terkenal berbahaya.
Andel mengeluarkan dreamcatcher pemberian kakaknya, Alin. Clara mengernyitkan dahinya. “Ngapain sih pakai bawa dreamcatcher, Ndel?” tanya Clara heran. “Rencanannya aku mau buang, mungkin disini tempat yang tepat.”
Mata Andel tetiba menatap seberkas sinar hitam kegelapan di sebuah ruangan yang terletak di ujung. Langsung saja Andel bergegas ke sana. Andel memang merasa takut, tetapi keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi, lebih besar dari ketakutannya. Andel dan Clara terhisap lalu menghilang ditelan kegelapan.
—
Setelah mengalami perjalanan panjang, berputar-putar layaknya bermain rollercoaster. Mereka pun sampai di sebuah tempat … Aneh. Tempat ini seperti tiada kehidupan. Clara sontak merengek. “Ndel. Gimana nih? Ndel, kita pulang yuk.” Clara menarik-narik lengan seragam Andel, membuat Andel merasa risih. Mereka jatuh di sebuah permukaan yang empuk layaknya kapas. “Clar, empuk banget tahu.” Andel langsung merebahkan dirinya sembari memejamkan mata, menikmati sepoi angin yang menerpa wajahnya. Clara pun mengikuti Andel merebahkan tubuhnya. “Dih beneran. Empuk banget, nyaman plus damai.” Clara tersenyum riang.
Selang beberapa menit mereka menikmati empuknya tempat yang baru saja mereka tempati, makhluk-makhluk kecil berterbangan di wajah mereka. Andel maupun Clara yang terasa terganggu membuka matanya, lalu melihat peri-peri yang sudah tersenyum manis di hadapan mereka. Sontak, mereka langsung terduduk.
“Siapa kalian?” Andel memandang peri-peri kecil itu gemas. “Selamat datang.” Seorang peri berwarna biru yang sepertinya ratu peri memberi senyum ramahnya diikuti oleh peri-peri lainnya yang serentak mengucapkan kalimat ‘selamat datang’. Andel dan juga Clara tersenyum. Mereka semua sangat manis. Clara bertanya, “Kalau boleh tahu, kita sedang dimana?” “Kalian berada di perbatasan Andelion. Sebuah negeri yang, hijau, indah dan damai, akan tetapi itu dulu.” Andel memandang mereka bingung, begitupun dengan Clara. “Andelion? Tempat apa itu?” tanya Andel. “Kau akan mengerti. Ikuti kami.”
Andel dan Clara mengikuti peri-peri itu menuju sebuah gua. Setelah melewati lorong gelap nan suram, mereka sampai di sebuah perbukitan. Di hadapan mereka terbentang sebuah tempat suram dihiasi pohon-pohon kering yang menambah kesuraman tempat tersebut. “Kalian telah sampai di Andelion.” Andel mengernyitkan dahinya. Tadi peri-peri itu mengatakan bahwa Andelion adalah negeri yang hijau, indah dan damai. Tetapi, semuanya adalah kebalikan di mata Andel. Clarapun berpikir demikian.
“Siapa kalian!?” tanya seseorang yang sepertinya Ratu di negeri antah berantah ini. “Perkenalkan, namaku Andel, dan ini temanku Clara.” Andel sedikit membungkukkan tubuhnya guna menghormati sang Ratu. Ratu terlihat syok setelah mendengar penuturan dari Andel. Apakah mungkin … “Karena kau telah lancang masuk ke kawasanku, maka kau harus mendekam di bawah penjara. Pengawal! Cepat masukkan mereka ke ruang bawah tanah!” perintah Ratu sembari menunjukkan jari telunjuknya pada Andel dan Clara.
Pengawal yang berdiri di samping kanan-kiri mereka langsung menggerek mereka ke ruang bawah tanah. Samar-samar mereka mendengar suara Ratu terbahak setelah sampai di ruangan terkutuk itu.
“Kita harus keluar dari sini!” Andel terlihat mondar-mandir mengitari ruangan sempit itu. “Gimana caranya!?” Clara benar-benar histeris ketika dikurung di ruang sempit nan sesak ini. Mereka dikurung dalam penjara berukuran 4m x 3m dengan dibatasi besi-besi emas. Clara memegang besi itu. “Aduh!” Clara melibaskan tangannya cepat sambil menjauh dari besi-besi emas yang mengurungi mereka. “Kenapa Clar!?” tanya Andel sambil mengernyitkan dahinya. “Tanganku … Memerah. Ini semua karena besi-besi yang mengurungi kita.” “Benarkah?” Andel tampak setengah percaya lalu mencoba memegang salah satu besi yang berada di hadapannya. “Awww!” pekiknya kencang lalu melibaskan tangan seperti yang dilakukan Clara tadi. “Kubilang apa.” Clara merengut.
Peri-peri yang tadi menyambut mereka riang, tiba-tiba saja bergerombolan menghampiri mereka. Mereka tampak mengarahkan tongkat mungil ke arah Andel maupun Clara. “Sekarang tangan kalian udah sembuh,” ucap peri hijau tersenyum. “Terimakasih peri-peri cantik,” ucap mereka serentak. “Sama-sama,” balas mereka serentak. “Sekarang kita harus pikirkan jalan keluar dari sini.”
“Kita tidak bisa keluar.” Seseorang dengan suara bariton tiba-tiba saja muncul di belakang mereka. Mereka mengalihkan fokus mereka ke seseorang itu. Mereka benar-benar terkejut bukan main. “Siapa kau?” tanya Andel takut-takut. “Andel?” Binar matanya terpana saat melihat Andel. Akhirnya, setelah sekian lamanya. Lelaki tua itu memeluk Andel erat. Entah kenapa perasaan Andel mendadak menghangat. Siapakah lelaki ini? Andel bertanya-tanya dalam hati. “Kau siapa?” tanya Andel lagi dengan suara tercekat. “Itu ayahmu, Andel,” sahut salah satu peri, ternyata itu adalah peri jingga. “Ini ayah, sayang.” “Ayah? Benarkah itu?” Mata Andel berbinar, ia tidak menyangka akan bertemu ayahnya disini. Tetapi … Bukankah Alin telah mengatakan bahwa ayah mereka telah meninggal? “Bagaimana bisa!? Kata Kak Alin, ayah sudah tiada.”
Lelaki tua setengah baya itu mengiringi Andel beserta Clara ke dalam sebuah ruangan. Ternyata di belakang mereka ada sebuah ruangan sempit. Disitu terdapat anak-anak kecil dan… Andel melihat banyak anak-anak yang selalu muncul dalam mimpinya. Jadi ternyata, mimpi itu nyata. “Jadi… “Iya Andel. Mimpimu itu nyata.” Orang yang mengaku sebagai Ayah Andel membenarkan apa yang ada dipikiran Andel.
Setelah itu, mereka duduk melingkar. Andel dengan seksama mengamati ayahnya. Ayahnya terlihat kurus, urat-uratnya terlihat di sekitar tubuhnya. Padahal wajahnya terlihat tampan sekali.
“Dahulu kala, negeri Andelion dipimpin oleh Ayah dan Ibu. Negeri ini dulunya sangai aman dan damai. Hingga, pada saat melahirkanmu, ibumu meninggal dan semuanya berubah. Ayah salah memilih pasangan hingga ayah harus merelakan kau pergi bersama kakak tirimu.” “Siapa ibu tiriku?” “Ratu yang tadi kau temui.” Andel menutup mulutnya sedangkan Clara memeluk Andel berharap semuanya bisa terlewati. Walau Clara sedikit kesal dengan Andel yang telah membawanya ke masalah, akan tetapi Andel adalah sahabatnya dan ia sangat sayang pada Andel.
Cerpen Karangan: Ranika Ruslima Blog: www.ranikaruslima.blogspot.com Halo! Kalian bisa memanggilku Ran. Kalau kalian mau membaca karya-karyaku yang lain, kalian bisa mengunjungi akun wattpadku: ranikaruslima. Thank you! xD