“Bagaimana bisa dia kesini!?” Ratu terlihat sangat marah pada anaknya yang telah gagal menghalangi Andel untuk menginjak Andelion. Kepalanya terasa sangat sakit. “Maafkan aku, Ibu. Aku tak menyangka dia akan pergi ke tempat itu.” “Bodoh! Kau benar-benar bodoh, Alin.” Alin menundukkan kepalanya. Ia benar-benar tak berani untuk menentang ibunya.
“Apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku, Ibu?” tanya Alin. “Sudah berapa kali aku bilang, panggil aku Ratu.” “Baiklah Ratu, maafkan aku.” Alin menundukkan kepalanya hingga wajahnya tertutupi oleh rambut hitamnya. Ratu yang tadinya terlihat marah sekarang menampakkan senyum jahatnya. Sekilas ide tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. “Baiklah, tugasmu sekarang kau harus mengambil hati Andel dan memberikannya ke aku. Dengan begitu, aku akan memaafkanmu.” Alin menengguk ludahnya kasar. Apakah dia bisa melakukannya? Tiba-tiba saja tubuhnya merinding. Tetapi seperti biasa, Alin tidak akan menolak permintaan sang ibu. “Baiklah Ratu, aku akan melakukannya.” Alin lalu membungkukkan tubuhnya lalu pergi ke ruang bawah tanah untuk melihat Andel. Ia harus cepat melaksanakan perintah Ratu, jika tidak, ia akan dikurung selama setahun.
Andel yang tadinya tertidur tiba-tiba terbangun dengan suara hentakan yang semakin lama semakin terdengar. “Andel?” Alin berbisik pelan, takut-takut pengawal yang berada di depan penjara itu terbangun. Andel hampir saja ingin berteriak namun Alin dengan cepat menyuruhnya diam dengan meletakkan jari telunjuknya ke bibirnya. Andel terdiam kemudian perlahan, Alin mendekati Andel. “Kembalikan dreamcatcher-ku,” perintah Alin sembari memandang Andel tajam. “Tapi, bukannya kakak sudah memberikannya ke aku?” ucap Andel gemetar. “Aku hanya meminjamkan saja, Andel. Sekarang aku ingin kau mengembalikannya.” Alin menengadahkan tangannya. Dengan berat hati Andel mengeluarkan dreamcatcher dari tasnya. Baru saja ia ingin memberikannya pada Alin, ia teringat akan besi yang membuat tangannya melepuh tadi. “Ada apa lagi?” tanya Alin kesal sekaligus tidak sabaran. “Besinya kak …” Andel menunjuk besi-besi emas yang terpampang di hadapannya. Alin pun mengerti lalu dengan intuisinya, ia masuk ke dalam penjara tersebut. Dengan cepat ia mengambil dreamcatcher tersebut lalu menghilang. Andel menutupi mulutnya seakan-akan tak percaya dengan apa yang terjadi di hadapannya tadi.
“Andel, kau tak pa-pa?” Clara memandang Andel gelisah. Sedari tadi ia mencuri dengar pembicaraan Andel dan Alin. “Aku tak menyangka, ternyata Alin, kakakku. Dia penyihir jahat seperti Ratu itu.” Clara memeluk Andel yang telah jatuh lemas di lantai yang terasa dingin sekali. Andel tak peduli, hatinya terlalu sakit. Padahal ia sudah terlalu menyayangi Alin, walaupun terkadang Alin sedikit kejam padanya.
—
“Malam ini kau harus melaksanakan misimu, Alin.” Saat ini Alin tengah berada di ruangan Ratu. Ratu terlihat berjalan mengambil sebuah kotak yang berada di sebuah meja kecil. Ia memberikan kotak kecil itu kepada Alin. Alin membukanya. “Belati?” tanya Alin retoris. “Belati itu akan membunuh Andel perlahan. Ia akan mati di tanganmu, Alin.” Ratu tertawa terbahak-bak membuat Alin merinding. “Baiklah, Ratu. Aku permisi dulu.” Alin menundukkan kepalanya lalu pergi keluar ruangan Ratu.
Sedari tadi Alin terus-menurus memikirkan cara membunuh Andel. Di dalam hatinya ia tak tega untuk membunuhnya. Walau bagaimanapun, Andel selalu mengisi hari-harinya. Sifatnya, sikapnya, senyumnya, seringaiannya, semuanya Alin meyukainya. “Tidak! Aku harus membunuhnya. Ini demi ibu.”
Dengan langkah pasti, Alin melangkahkan kakinya menunju singgahsana Ratu. Disana Andel telah diikat dengan mantra menbuatnya kaku. Alin menunjukkan seringai jahatnya. Perlahan, ia mengeluarkan belatinya. “Kak … Plis, aku ini adikmu. Aku sayang padamu, Kak.” Alin terlihat tak peduli. Ia tertawa layaknya psycho hingga suaranya bergema di dalam ruangan. Alin meletakkan belati di dekat leher Andel membuat Clara terpekik histeris. Kata-kata sayang itu hanyalah palsu, karena ibunya sendiri hanya mengatakan kata-kata itu kepadanya jika ada maunya saja. “Aku sayang padamu, Kak.” Andel memejamkan matanya. Sebentar lagi ia akan dibunuh oleh seseorang yang selama ini membesarkannya. Orang yang sangat disayanginya.
Alin sedikit membuka mulutnya. Ia tak sanggup, benar-benar tak sanggup. Samar-samar terkenang kenangan indah dirinya bersama Andel sedari kecil. Andel seringkali membagi makanannya kepada Alin jikalau ibunya menghukumnya tak memberinya makan. Mereka berlari-lari di taman seperti tak ada beban yang menimpa, tak seperti sekarang ini. Perlahan, air mata mengalir deras di wajah Alin.
“Aku tak sanggup mengorbankan adikku, Ratu.” Alin menundukkan kepalanya. “Aku minta maaf.” Ratu terlihat berang. “Tak guna kau! Enyahlah kau dari negeri ini. Aku hanya perlu menambah kekuatanku dan kau sama sekali tak membantuku,” pekik Ratu gila. Alin memandang ibunya berang. Ia benar-benar tak menyangka dengan pemikiran ibunya yang keji. Mengambil hati dari anak-anak kecil dan juga Andel untuk menambah kekuatannya. “Aku takkan membiarkan kau untuk berbuat kejahatan lagi, Ibu. Cukup sudah kau mengaturku seperti robot.” Andel memandang Alin haru. Ia tak menyangka bahwa Alin akan membela dan melindunginya. Padahal Alin terlihat bengis dan kejam dengannya. Mungkin kalimat kuno yang sering diucapkan oleh semua orang itu benar kalau kita tidak boleh menilai buku dari sampulnya saja. “Alin, ini ibumu. Aku sangat menyayangimu. Apakah kau tega denganku?” Ratu menampakkan wajah memelas yang terlampau dibuat. Alin memiringkan bibirnya, ia benar-benar tahu sifat ibunya. Benar-benar queen of drama. “Kak Alin! Berhenti!” Andel berteriak. Ia tak mau Alin, kakaknya mengorbankan dirinya. Sudah cukup ia membantah semua perkataan Alin. Sudah cukup.
Alin tidak menghiraukan perkataan Andel. Ia dengan tegas maju menghadapi sang Ratu. Ini demi negerinya, ia tidak mau negeri ini terus-menerus dipimpin oleh orang yang tak pantas. Walaupun orang itu adalah ibu kandungnya sendiri. Ia sudah tak mengenal sosok ibunya sendiri yang sudah diliputi oleh kegelapan.
Ratupun menghilang dari permukaan setelah Alin menggantungkan dreamcatcher tersebut ke arah Ratu. Ternyata Alinlah yang mengambil dreamcatcher itu dari tangan Andel. Awalnya Andel terlihat bingung lalu sedetik kemudian ia langsung menghamburkan dirinya memeluk Alin, merasakan kerinduan yang mendalam pada kakaknya. Walaupun terkadang Alin selalu memarahi dan menyakiti dirinya, Alin tetaplah kakak terhebatnya. Walaupun Alin bukanlah kakak kandungnya, tetapi Andel sayang kepadanya.
“Sebenarnya dreamcatcher ini bukanlah penangkap mimpi buruk. Dreamcatcher ini berguna untuk mengirimmu ke Andelion juga menangkap ilmu jahat yang ada pada diri Ratu.” Sekarang Andel tampak tak peduli lagi dengan dreamcatcher itu. Ia memandang kakaknya dengan mata berkaca-kaca. Dari kejauhan ayah Andel yang baru saja sampai disinggahsana tersenyum haru. “Selama aku tumbuh, banyak hal yang berubah, kecuali satu… itu sayangku padamu, Kak Alin.” Perlahan, air mata Andel merembes membasahi wajahnya. “Fairies are real. And the fairies it’s you.” Mereka tersenyum bahagia. Clara disusul ayah Andel ikut menghambur memeluk mereka. “Kita seperti teletubies,” ucap Clara sambil tertawa. Mereka pun ikut tertawa.
Semuanya terlihat indah pada waktunya, bukan? Dan mulai saat ini, Alin telah diangkat menjadi Ratu Andelion. Sedangkan Andel kembali ke dunia nyatanya, karena menurutnya terlalu banyak hal-hal yang sulit untuk ditinggalkannya sekarang. Sahabatnya Clara dan juga cintanya, Arka. Sangat sulit rasanya untuk meninggalkan itu semua. Tetapi yang pasti, Andel akan sering-sering mengunjungi ayah dan juga kakaknya. Dan suatu saat nanti, dimasa depan, Andel akan menggantikan tahta kakaknya menjadi Ratu Andelion.
It’s not an ending, guys. This is start from our life. – Andel
Cerpen Karangan: Ranika Ruslima Blog: www.ranikaruslima.blogspot.com Halo! Kalian bisa memanggilku Ran. Kalau kalian mau membaca karya-karyaku yang lain, kalian bisa mengunjungi akun wattpadku: ranikaruslima. Thank you! xD