“Tadi gimana sekolahnya?” ujar nyaring seorang laki-laki setelah aku pulang sekolah. “..” “Terus, gimana ujiannya? Lancar enggak?” tanyanya lagi. “Biasa-biasa aja,” ucapku malas. “Nanti jangan lupa cuci mobilnya ya!” serunya. “..”
Aku langsung melangkahkan kakiku lemas menuju tangga. Satu persatu anak tangga kulalui. Menuju kamarku yang merupakan bagian dari rumah pamanku. Aku melewati pintu kayu yang berlapiskan cat biru muda. Kuhempaskan tas ranselku ke dinding. Kubanting tubuhku ke atas ranjang. Memandangi langit-langit kamarku yang sudah dilabuhi sarang laba-laba. Meratapi nasibku yang menyebalkan. Mengapa aku harus tinggal di rumah ini? Huh! Menyebalkan sekali.
Keluarga pemilik rumah ini sangat menyebalkan. Aku harus mencuci piring sebelum subuh, menguras bak mandi setiap minggu, mencuci mobil lima hari sekali, dan bla bla bla. Huh! Apa mereka pikir, aku ini pembantu mereka? Aku bisa gila kalau seperti ini terus-menerus. Rasa menyesal terus menghujani benakku. Insiden itu masih saja menghantui hatiku.
Flashback “Sayang, ayo cepat! Ibu keburu berangkat ke kantor Ayah,” teriak seorang wanita dari dalam mobil. “Iya, sebentar, Bu! Aku baru ambil buku di kelas,” sahutku.
Aku segera mendekati mobil wanita itu. Kutarik pintunya. Aku sedikit menaikkan kakiku agar sampai ke mobil. Aku langsung duduk di samping ibuku. JRETT!!! Pintu kutarik ke dalam sehingga tertutup kembali. Kusandarkan tubuhku dan kutarik sabuk pengaman.
“Gimana tadi sekolahnya?” tanya Ibu. “Biasa, kayak biasanya,” jawabku.
Kami melanjutkan perjalanan melaju ke kantor Ayah. Hampir tidak terjadi perbincangan apapun selama di perjalanan. Karena Ibu sedang fokus mengemudi, aku tidak mau mengganggunya. Aku pun merogoh tasku dalam-dalam. Kutarik sebuah novel yang sama sekali belum kubaca. Kuamati kata demi kata yang ada di dalamnya. Tak terasa, setelah kubaca dua puluh lima halaman, mobil yang kunaiki sudah meminjak tempat parkir kantor Ayah.
“Tunggu di sini sebentar ya!” ujar Ibu. Aku mengangguk tanda mengerti. Aku langsung membaca novelku kembali. Setelah membaca tiga puluh halaman, aku mendapati Ayah dan Ibu sedang menghampiriku dari jendela yang kubuka sedikit lebar. “Pelan-pelan!” ujar Ibu kepada Ayah ketika Ayah menaiki mobil. “Ayah kenapa, Bu?” tanyaku bingung. “Ayah terus tmengeluh pusing,” sahut Ibu. “Jadi, Ibu harus nyetir lagi kan?” gumanku. Ayah duduk di kursi belakang. Ketika mobil sudah melaju, aku menyadari bahwa Ibu belum memakai sabuk pengaman. Terpikir di benakku untuk mengingatkan Ibu. “Ibu, ayo pakai sabuk pengamannya!” seruku. “Iya, nanti aja. Kan, rumah kita enggak terlalu jauh,” ujarnya. “Tapi kan akan lebih aman bila mengenakannya, Bu,” uajarku lagi. “Sudahlah, enggak apa-apa kok,” kata Ibu. Aku tidak berani mengganggu konsentrasi Ibu ketika mengemudi. Jadi aku lebih memilih untuk mengunci mulut daripada mengganggu Ibu.
Perjalanan kami tiba di sebuah perempatan. Di sini terdapat lampu lalu lintas di setiap jalurnya. Rem diinjak Ibu ketika lampu merah. Setelah lampu hijau menyala, Ibu kembali menginjak gas. Mobil kami melaju. Akan tetapi ketika tiba di tengah persimpangan, kami tidak menyadari sesuatu. Truk yang cukup besar, dengan kecepatan tinggi melaju ke arah kami. DRAAKK!!! Semua hancur. Semua telah hancur. Sesaat dunia terlihat kelam. Sempat terlabuh di benakku sebuah pemikiran bahwa hidupku akan berakhir di sini. Bahwa aku tidak akan bisa lagi memandang indahnya dunia.
Ups! Ternyata aku masih memiliki kesempatan untuk meminjakkan kedua kakiku di bumi ini. Perlahan kubuka mataku. Kulihat di sampingku. Kudapati sebuah objek yang membuat polisi dan perawat mengerubungnya. Seorang wanita paruh baya dengan cairan merah di kepalanya. Darahnya membanjiri wajahnya yang pucat. Aku langsung bangkit. Aku menyadari, aku berada di rumah sakit. Rasa pusing menyerang kepalaku. Penglihatan yang sedikit buram mulai berlabuh di mataku. Langkahku yang tertatih mendekati wanita itu. Kuperhatikan dengan detail dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Aku masih belum mengenali wanita itu karena tubuhnya yang terendam darah. Aku menyadari sesuatu. Sebuah gelang yang pernah kulihat terkait dengan simpul pita di pergelangan tangannya. “Ibu!!!” teriakku tiba-tiba dengan tidak kusengaja. Tidak lama kemudian, tangan mereka menutup tubuh wanita itu dengan kain putih. Hal itu memberi kesan yang tidak baik pada benakku.
Tiba-tiba sepasang tangan dengan beberapa luka di permukaannya menepuk pundakku. Kuputar pandanganku untuk melihat siapa yang menyentuhku. Ternyata seseorang yang kukenal. Ayah. “Ayah, apa yang sedang terjadi? Kenapa Ibu berlumuran darah seperti itu?” teriakku pada Ayah. “Ini semua sudah takdir, Nak,” sahut Ayah. Tak kusadari, mataku sudah tak bisa membendung air mataku. Dengan deras air mataku jatuh dan berpisah dengan kelopak mataku.
“Lalu, apa yang terjadi pada Ibu?” ujarku. Sesaat Ayah terdiam. Butiran air jatuh dari matanya. Tatapan mata Ayah seperti mengisyaratkan hal yang tidak ingin kudengar. Pandanganku benar-benar terpaku pada tatapan Ayah. “Kenapa, Ayah? Kenapa Ayah tidak menjawab pertanyaanku? Apa terjadi sesuatu pada Ibu?” tanyaku dengan menaikkan nada bicaraku. “Ibu..,” titih Ayah. “Ibumu sudah tidak bersama kita lagi.” DEGG!!! Detak jantungku seakan berhenti. Tubuhku serasa kaku seketika. Mataku tak bisa berkedip. Mulutku seolah membeku, tak mampu menuangkan sepatah kata pun. “Ayah harap kamu bisa menerimanya dengan tabah ya, Nak!” lanjut Ayah. “Hah!! Menerimanya? Apa Ayah pikir, Ibu adalah orang yang mudah untuk dilupakan?” bentakku. “..” “Apakah Ayah bisa menjadi seorang ibu untukku? Apakah Ayah bisa mengganti nyawa ibuku? Apakah Ayah bisa?” “Maafkan Ayah, Nak! Ayah tak bisa menjaga ibumu dengan baik. Maafkan Ayah!” ujar Ayah dengan air matanya yang terjun bertambah deras.
“Ayo, Nak! Sarapan dulu!” seru Ayah. Ayah memintaku untuk sarapan sebelum berangkat ke sekolah. “Enggak usah, aku lagi enggak srek makan,” ujarku singkat. “Tapi kalau enggak makan, nanti sakit lho!” ucapnya lagi. “Aku bilang enggak mau! Aku enggak mau makan!” bentakku. Tiba-tiba, Ayah mengerutkan dahinya. Aku tidak tahu maksudnya. Tapi aku memang tidak mau makan. Sejak kejadian itu, kupupukkan rasa benciku pada Ayah. “Ya sudah kalau begitu, Ayah mau berangkat,” kata Ayah dengan ekspresi datar. Aku hanya menutup rapat mulutku dan melipat tanganku. Aku duduk di atas kursi dan menunggu Ayah agar duluan.
“Mau Ayah antar ke sekolah?” tanyanya tiba-tiba. “Enggak mau. Aku mau jalan kaki,” jawbku singkat. “Beneran?” tanyanya lagi. “Hiih! Iya!” bentakku. Huh! Pertanyaan itu membuatku bertambah kesal saja. Membuatku untuk terdorong berangkat lebih dulu dari Ayah. Kubuka pintu dengan kasar. Kulangkahkan kakiku dengan cepat. Tak peduli apa yang terjadi di sekitarku. Bayangan Ibu membuat rasa pusing semakin tertancap pada kepalaku.
Akhirnya aku sampai di sebuah tempat yang membuatku harus menyeberang jalan. Kebetulan, jalannya sedang sangat ramai. Kugelar pandanganku untuk melihat kendaraan yang melintas.
Kurasa, jalan sudah sepi. Aku mulai melangkahkan kakiku. Semakin ke tengah. Kepalaku memang masih merasa sakit. Jadi, jalanku sedikit pelan. Tiba-tiba, BRUSH!!! Aku terjatuh. Aku jatuh di pinggir jalan. Rasanya seperti ada yang mendorongku. Tapi setelah itu, aku mendengar suara. BRUKK!!! Suara itu mengejutkanku. Kuputar pandanganku untuk bisa melihat asal suara itu. Ternyata terjadi sesuatu. Seseoarang dengan lemasnya terbaring di permukaan jalan bagian tengah dengan didampingi sebuah mobil yang baru saja menabraknya. Aku menyadari sesuatu. “Ayah!” teriakku terkejut. Aku segera berlari. Berjalan ke tengah jalan. Mendekati seorang yang telah mendorongku tadi. Ambulan datang dengan sirine khasnya. Ayah dimasukkan ke dalamnya. Ambulan pun langsung memulai perjalanan ke rumah sakit.
Kata dokter, Ayah mengalami kerusakan organ di dalam tengkoraknya. Hal itu disebabkan benturan yang sangat keras. Aku mendekati ranjang Ayah. Mulai timbul rasa khawatir dalam benakku. Mengapa Ayah mau melakukan hal itu. Dia mengorbankan dirinya hanya untuk menyelamatkan orang yang membencinya. Padahal dia tahu bahwa aku membencinya.
“Nak..” Suara itu terdengar di telingaku. Pandanganku langsung tertuju pada asal suara itu. Kulihat, ternyata mata Ayah sudah terbuka. Pandangannya terlihat sayu. “Ayah, kenapa Ayah melakukan ini semua?” tanyaku. Dengan tak sengaja, aku meloloskan butir-butir air mata dari mataku. “..” “Padahal, akhir-akhir ini aku sangat serimg membentak dan memarahi Ayah. Aku membuat hati kecil Ayah tersinggung. Tapi mengapa Ayah mau melakukan ini? Jawab pertanyaanku, Ayah!” seruku. “Ayah hanya menjalankan amanat terakhir yang disampaikan ibumu,” ujarnya. “Amanat apa yang Ayah maksud?” tanyaku. “Ayah harus menjagamu selama hidup Ayah. Mungkin waktu Ayah di sini tidak lama lagi. Jadi, Ayah juga akan menyampaikan amanat kepadamu,” capnya lagi. “Ayah jangan bilang begitu! Ayah masih punya banyak waktu untuk menghabiskan waktu bersamaku,” ujarku dengan air mataku yang jatuh semakin deras.
“Ayah ingin setelah ini kamu tinggal bersama Paman Panji. Kamu harus menuruti kata-katanya. Selalu bersikaplah sopan. Jangan membuatnya marah atau sedih!” ujarnya. “Kenapa Ayah bilang seperti itu?” tanyaku. “Dan, jangan pernah menyesali perbutan dan keputusanmu! Karena Ayah yakin, kamu akan menjadi anak yang baik. Satu lagi, janganlah kamu sedih setelah ini! Doa ayah dan ibumu selalu berada di sisimu. Ingatlah selalu kata-kata Ayah ini ya, Nak!” kata Ayah lagi. “Ayah, jangan pergi dulu! Maafkan aku karena sudah membencimu. Aku masih ingin menghabiskan waktu denganmu,” ujarku. Refleks, tanganku menggenggam tangan Ayah.
Tiba-tiba, Ayah menarik nafas dengan berat. Perasaanku mulai berantakan. Rasa takut menyerangku. Tangan Ayah mulai dingin. Tangan Ayah tiba-tiba jatuh lemas dan terlepas dari tanganku. Dia memejamkan matanya seraya tersenyum.
Kini, aku sendirian. Kini, tak akan ada lagi kedua orang yang selalu memotivasiku. Seharusnya, aku tidak membencinya. Seharusnya, aku tak menyalahkannya. Aku tahu, dia tak bersalah. Andai waktu bisa berputar. Andai saja aku tidak membencinya saat itu, mungkin sekarang aku masih memiliki seseorang yang ada di sisiku. Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku, Ibu.
Cerpen Karangan: Almasyita Maliki Blog / Facebook: almasyitamaliki123@gmail.com