Darah mengalir susah tuk Aura hentikan, air mata menjadi sebuah tambahan yang memperdalam luka di hatinya. Dia berdiri dengan tangan terluka tapi serasa pilu, sendiri dengan luka hati yang diobati waktu.
“Oh Tuhan aku menyerah… aku tak ingin menjadi saksi akan semua kehancuran keluargaku, bolehkah jika ku ingin bersamamu.” pandangan Aura terlihat ke atas melihat bagaimana menurutnya tuhan seolah tak adil setelah putusnya jalinan cinta diantara kedua orangtuanya, lalu sekarang pahlwan kesedihannya direnggut oleh-Nya.
“Tuhan kau melihatku sekarang hah gadis yang telah kau remukan hatinya, kau patahkan semangat hidupnya lalu apa lagi yang kau inginkan dariku” sekarang Aura terkulai lemas duduk di antara meja makan dengan darah yang masih menetes dari jarinya yang terkena pisau itu.
“bangkitlah kamu tak pantas seperti ini” katanya melirik Aura dengan rasa kasihan. “kau lihat aku!! Aku sakit, hatiku remuk pecah” Kata Aura dengan mata tajamnya. “lalu apa yang bisa aku lakukan?” Aura bangkit dari kursinya itu tatapannya semakin tajam “mengapa kau selalu datang saat aku butuhkan, mengapa Cuma kamu” “karena kau yang menciptakan aku, hatimu terikat dengan kehadiranku.” Jawab sosok yang Aura ciptakan dengan imajinya itu.
Sosok itu hadir setelah kematian kakaknya Nina dua minggu lalu setelah itu hanya sosok itu yang menemani harinya. Mungkin terlihat gila tapi sebenarnya Aura masih seperti orang normal biasa hanya perbedaannya dia mempunyai sosok itu.
Aura bangkit dan berjalan perlahan dengan tangan yang masih terluka, berjalan dengan hati dan pikiran yang entah dimana, Aura mendekati pintu kamarnya. sesekali terekam jelas wajah kakaknya yang meninggal 2 minggu yang lalu itu sedang bercanda dengannya. Menasehati sambil berdiri di depan kamar ini dan sesekali melihat ke lantai bawah ruang tamu memperhatikan kejadian apa selanjutnya yang akan mereka hadapi. “Kakak kembali!!!” teriak Aura terkulai lemas di depan pintu kamarnya itu. “kembalikan kakaku!”
Suara Aura membuat Bi iyem kaget dan menghampirinya. “Ya Allah non kenapa? Ayo Bibi anter ke kamar ya” Aura tak berontak dan hanya terdiam saat Bi Iyem membantunya. Bi iyem sama sekali tak melihat luka yang ada di tangan Aura itu, bagaimanapun Aura menyayangi Bi Iyem yang sudah seperti ibunya itu sehingga membuat Aura tak mau membuat Bi Iyem khawatir.
“Neng Bibi ke bawah dulu ya” sambil menarik selimut panjang untuk menyelimuti tubuh Aura, sedangkan Aura hanya menatapnya dengan tatapan kosong.
“Aura” teriak Mama dari lantai bawah yang baru saja pulang. Aura tak menjawab apapun kecuali rasa benci itu kembali hadir. Entah mengapa Ma sejak kecil aku hanya hidup dibawah asuhan asisten rumah tangga kehadiranmu seolah bayangan semu yang jarang nampak untukku, aku tahu seharusnya aku tak membencimu karena bagaimanapun aku lahir dari rahimmu. Tapi, apa tugasmu hanya melahirkanku saja dan bisa membayar kebahagiaanku dengan secarik kertas cek atau lembar demi lembar uang yang kau berikan kepadaku, tentu saja tidak. Aku bukan orang itu, aku bukan orang seperti yang kau duga kini ku sudah dewasa dan aku mengerti semua sandiwara.
“Ra kamu sedang apa?” sambil membuka pintu kamar Aura, setelah kematian anak sulungnya itu Mama Aura lebih sering di rumah dan tak pernah lagi pulang larut malam, sekarang Mamanya selalu mengawasi setiap perilaku Aura yang semakin tak wajar itu. Aura tak menjawab dia hanya duduk menangis dengan lutut yang dia peluk.
“Ra” nada suaranya berubah cepat. Suara tangisan Aura semakin kencang saja membuat Mamanya semakin khawatir dan mendekati Aura. “hahahhaaha apa Mama cantik lihat putrimu sangat menderita bukan?” kata Aura yang duduk di lantai kamarnya, tertawa terbahak-bahak sambil menangis sesekali lalu terdiam seperti orang gila. Betapa kagetnya Mamanya apa yang terjadi pada putrinya apakah ini puncak dari penderitaan seorang anak yang setiap harinya mereka bumbui pertengkaran kedua orangtuanya. “yaAllah Ra sadar jangan seperti ini” Mamanya memegang bahu Aura dan membalikkan badannya agar melihat kearahnya. Tetesan demi tetasan air mata semakin mengalir dari pipi mamanya itu.
“kamu siapa? Hahaha rambutmu lucu, lihat ini darah lucu seperti kisah hidupku” Aura mengelus rambut Mamanya sedangkan Mama Aura semakin ketakutan, air mata mengalir mengiringi rasa itu. Rasa bersalah yang menyelimuti dirinya. “Sadar Ra ini Mama” katanya memeluk putrinya itu “Aku kan gak punya Mama” bisik putrinya itu, entah mengapa seperti ada yang menusuk hatinya saat putrinya mengatakan kalimat itu. “Ra ini Mama Ra ini Mama” “Oh Mama yang udah ninggalin aku, sehingga aku Cuma punya teman imaji saja, Kakak yang udah gak ada, atau Mama juga ya yang udah ngambil kakak! Hah!!, aku hidup seorang diri Ma sekarang sendiri” Aura memaksa melepaskan pelukan itu, emosi Aura semakin tak terkendali lagi, sorotan matanya berubah cepat setiap detik.
“Ra Mama tahu Mama salah Ra jangan seperti ini, Bi Bibi!!!” Mama Aura semakin panik ketika melihat darah yang terus mengalir dari tangan anaknya itu. “Mama mau Aura maafin gak?” katanya. “Mama akan lakukan apapun demi kamu Ra” sorotan mata Mamanya begitu tulus. “kalau begitu buat aku Mati mah buat aku MATI!!!” bentaknya dengan mata terbuka lebar sambil memegang kedua bahu Mamanya itu “sadar Ra ini bukan kamu” Tegasnya. “Ini aku Ma, lihat sosok yang berdiri itu dia temanku!” sambil menunjuk ke arah dekat pintu, Mama Aura melirik tapi tak ada seorangpun disana. “Ra jangan buat Mama takut, Bi Bibi cepet kesini Bi” Mama Aura semakin ketakutan air mata itu terus mengalir dari pipinya. “Ma aku gak kuat lagi aku ingin Mati” ucapan terakhir Aura setelah akhirnya jatuh pingsan di pelukan Mamanya “Ra Ra Auraaaa maafin Mama sayang… Auraa” Mata seorang Ibu melirik anaknya penuh dengan rasa bersalah setelah membuatkan rumah bagai neraka bagi anak-anaknya, dipeluk erat anaknya itu menyesali setiap air mata yang telah Aura keluarkan.
Bersambung…
Oke guys maybe itu awal dari kisah tragis Aura, penasaran apa yang terjadi berikutnya? So jangan kemana-mana dan terus baca part demi part selanjutnya. Selamat menunggu…
Cerpen Karangan: Yustyawati Blog / Facebook: Yustyawati