Di tepi bukit sana, di antara jalan setapak yang berhiaskan bebatuan kecil berwarna pekat, terhampar padang ilalang. Di sanalah aku sering menghabiskan waktu. Sejenak, membiarkan ambu sendiri di gubuk. Memetik bunga dandelion yang tumbuh tegar di antara belukar. Lalu, meniupnya kuat-kuat, membiarkan bulu-bulu halusnya berhamburan. Kelak, setiap helai bulu itu akan menjadi benih, lalu menumbuhkan dandelion-dandelion yang lain. Lebih indah. Aku ingin seperti dandelion; kuat, tegar, meski tidak tumbuh dengan kasih sayang.
“Arini! Arini!” Sayup-sayup kudengar suara laki-laki memanggil namaku. Tak kuhiraukan. Hingga sosoknya muncul di antara ilalang, di sisi kananku. “Haduh! Kamu ini! Suka sekali menghabiskan waktu di sini. Apa enaknya sih, tempat sepi begini? Pasti banyak jurignya. Hiyy!” Jaka. Laki-laki cungkring itu mengusap pundaknya, seraya menoleh kiri kanan.
Aku menjawabnya dengan senyuman kecil, tanpa menoleh ke arahnya. Dasar jantan penakut! gumamku dalam hati. Namun, dia tetaplah satu-satunya sahabatku. Sebenarnya, umur Jaka lebih muda satu tahun dariku, tapi kami selalu satu kelas, karena saat masuk SD usiaku delapan tahun. Paling tua di kelas itu. Itu sebabnya aku selalu disegani dalam hal apa pun.
“Pasti kamu lagi mikirin bapak kamu yang belum tercium keberdaannya?!” Jaka mengayun-ayunkan telunjuknya di atas kepalaku. “Hmm, sudah kubilang, kawin saja denganku! Jadi kamu tidak usah memikirkan bapakmu lagi. Hidupmu juga ambu akan terjamin.” Aku beranjak, menepuk-nepuk bulu dandelion di rok-ku. “Ehm! Jaka si anak juragan sapi! Pewaris tunggal peternakan sapi Juragan Kanta! Sudah kuungkap berkali-kali; aku hanya menganggapmu sebagai kawan baik. Aku ingin menikah dengan seseorang yang belum aku kenal. Misalnya anak raja dari negeri seberang! Ya … kamu kan cuma anak juragan. Bukan anak RAJA!” Aku hiasi kata terakhir itu dengan penuh penekanan. “Dasar Matre! Meski kecantikanmu melebihi Cleopatra, tetap saja; cuma seorang gadis desa yang yatim tapi tak jelas. Jadi, kamu cocoknya kawin sama aku.” Aku mendengus, karena tahu itu jawaban paling jujur, tapi … menyakitkan. “Jaka sialan! Aku ulek matamu pake cabe!” Tanpa ancang-ancang, Jaka kemudian berlari dengan wajah pucat. Selalu begitu.
—
Setelah selesai memasak untuk makan malam, bergegas aku memandikan ambu. Menggendongnya ke pancuran bambu di belakang gubuk. Membersihkan setiap kotoran di tubuhnya dengan teliti. Sungguh, aku mencintai perempuan ini, satu-satunya keluarga di hidupku.
Aku tak mengerti, mengapa dulu bapak meninggalkan kami? Apa salah ambu dan aku? Hingga dengan teganya meninggalkan kami di gubuk tengah hutan ini.
Aku yakin, kepergian bapak meninggalkan kesan yang tidak baik di hati ambu, sehingga tidak ada satu kenangan pun yang tertinggal di gubuk ini. Bahkan, fotonya. Sampai sekarang, aku tidak tahu wajah bapak seperti apa? Karena saat bapak pergi, aku masih bayi merah. Semua sebab itu memupuk kebencian teramat dalam di benakku. Bagiku, bapak tak lebih dari sosok laki-laki bangs*t yang tak bertanggung jawab.
Setelah selesai, aku menggendong ambu kembali ke gubuk, sebelum hari semakin gelap. Kubaringkan tubuh ambu di atas ranjang reyotnya, lalu memakaikan pakaian yang paling hangat. Seperti biasa, perempuan yang masih terlihat cantik itu kemudian meneteskan air mata. Hanya itu yang bisa ia lakukan tiga tahun terakhir ini. Entah apa penyakit yang diderita ambu? Sehingga tak mampu berjalan dan bicara. Kala sedih atau pun bahagia, ia hanya bisa menitikkan air mata. Tak mampu sekadar tersenyum. Wajahnya selalu datar tanpa ekspresi, tatapannya kosong.
Malam semakin larut. Aku masih terduduk di bale depan gubuk, berselimut gulita, menatap gugusan bintang yang berkilauan. Di sana, aku selalu menyelipkan harapan tentang hidupku, juga ambu.
Tiba-tiba suara tikus yang saling mengejar, menimbulkan suara gaduh, menggangguku. Sudah seminggu ini tikus-tikus sialan itu membuat berantakan gubukku. Melobangi dinding, mencuri makanan, bahkan mengoyak baju-bajuku juga ambu.
Emosiku sudah di ubun-ubun, segera kuberanjak masuk ke dalam, berusaha mencari tikus-tikus itu. Akan kuhabisi hewan kecil menyebalkan itu!
Sial! Mereka ada di atas langit-langit kamar ambu. Aku mengambil tangga bambu di samping gubuk, lalu naik dari dapur. Tidak lupa aku membawa pisau dan lampu tempel. Malam ini, tikus-tikus itu akan tamat riwayat. Aku merangkak, merayap, dengan hati-hati, agar tak menimbulkam suara. Selain tikus-tikus itu akan kabur, aku juga tidak mau mengganggu istirahat ambu.
Di salah satu sudut, aku melihat sebuah peti kayu persegi yang berukuran sedang. Aku mendekat ke arah peti itu. Apa isi benda itu? Perlahan kubuka tutupnya. Ternyata di dalamnya hanya ada beberapa perhiasan emas dan … sebingkai foto.
Kudekatkan lampu tempel dengan foto itu. Dan ini adalah foto pernikahan ambu dengan bapak? Yang aneh, aku seakan mengenal wajah laki-laki ini. Penasaran, aku mengeluarkan foto itu dari bingkai. Dan … di belakang foto itu tertulis; ‘Kami bersatu karena cinta. Murni dan Sukanta, 16 oktober 1994’.
Jadi … benar. Dia memang Juragan Kanta. Bapakku? Dug! Aku terperanjat, hingga lampu di tanganku nyaris terjatuh dan membakar gubuk ini.
Dengan perasaan campur aduk, bergegas aku turun, melupakan tikus-tikus yang tengah berpesta.
Air mataku tumpah. Ingin segera aku tanyakan tentang foto ini kepada ambu. Tapi, aku tak tega melihatnya begitu terlelap. Kuputuskan untuk menunggu sampai esok pagi.
—
Pagi masih berembun, aku menyiapkan sarapan untuk ambu. Semangkuk bubur beras merah, dan air seduhan gula aren. Hampir setiap pagi menu sarapan ambu itu. Karena, memang itu yang kupunya. Hasil dari kerja kerasku.
Perlahan kubuka pintu kamar ambu dengan menggunakan kaki. Kusembunyikan foto itu dibalik nampan. Selesai menyuapi, baru akan kutanyakan tentang foto itu.
Sendok demi sendok kusuapi ambu dengan sabar, sampai habis bubur di mangkuk. Setelah memberikannya minum, aku mulai memperlihatkan foto itu.
“Ini Juragan Kanta, kan, Ambu? Apa foto ini artinya Juragan Kanta yang sombong dan kaya raya itu adalah bapakku?” Napas ambu memburu. Air mata mengalir deras. Ia berusaha menggerakkan mulutnya, namun pada akhirnya hanya mampu mengedipkan mata. Sudah cukup! Kuanggap itu sebagai jawaban “ya”.
Aku bangkit. Gelas dan mangkuk di pangkuan berjatuhan di lantai tanah. Air mata tak terbendung. Aku melangkah mundur kemudian berlari sekuat tenaga. Tak kuhiraukan pertanyaan Jaka yang kutemui, ketika kami berpapasan di jalan setapak. Aku terus berlari menuju bukit.
Di puncak bukit, aku berteriak, menumpahkan segala yang menghimpit di dada.
“Ada apa, Arini?” Jaka tiba-tiba muncul dengan napas tersengal-sengal. Aku membalikkan badan, lalu berputar mengelilingi laki-laki cungkring ini. “Puas kau! Kau, bapakmu, juga ibumu, telah menghancurkan hidupku juga ambu! Aku benci kau Jakaaa!” Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga, hingga terpelanting ke sisi bukit yang berbentuk jurang dan dipenuhi bebatuan raksasa.
Di bawah sana, tubuh itu tergeletak bersimbah darah. Perasaanku semakin tak karuan. Dia satu-satunya teman baikku. Tapi …
Aku berlari tanpa arah. Ke mana pun? Memasuki hutan semakin dalam. Dan dalam lagi.
JB, September 2016
Cerpen Karangan: Mutiara FK Blog / Facebook: Mutiara Fauzia