Aku punya satu kupu-kupu, Parasnya sangat indah. Karena aku hanya memiliki satu kupu-kupu, maka kupu-kupu itu sangat berharga bagiku. Parasnya memang sangat cantik, tetapi dia lemah, dia selalu ingin pergi terbang jauh, dia juga ceria.
Namaku Captain Chonlanthron, nama lengkapku Chonlanthorn Kongyiyong. Lahir di Bangkok, 02 febuari 1998. Dan kupu-kupu itu adalah adik perempuanku, satu-satunya adik yang aku punya. Dia Capella Chanlanthorn, nama lengkapnya Chanlanthorn Kongyiyong. Lahir di Bangkok, 04 febuari 2002. Sejak dia masih menjadi telur hingga menjadi kupu-kupu aku sangat dekat dengannya.
Aku selalu menyamakan adikku dengan kupu-kupu. Selain karena ia sangat menyukai Kupu-kupu, Ia juga tak kalah cantiknya dengan kupu-kupu. Rumah belakang kami terdapat Ilalang, Capella biasanya menangkap kupu-kupu disana. Aku takut dengan kupu-kupu, karena sewaktu kecil seekor kupu-kupu masuk ke dalam celanaku itulah sebabnya mengapa aku sangat takut.
“Kak, ayo pulang” Capella mendekatiku yang sedang duduk di balik ilalang. Sudah kubilang bahwa aku takut dengan kupu-kupu jadi aku tidak ikut Capella menagkap kupu-kupu. Aku hanya berkeliaran di sekitar ilalang untuk memotret.
“Dari pada duduk di sini lebih baik kan tidur di rumah” katanya. “Dari pada tidur di rumah, lebih baik aku memotret pemandangan di sini” balasku sambil melihat hasil gambar jepretan ku. “Ya, kau benar”
Lebih tepatnya aku sedang memotret aktivitas adikku disaat menangkap kupu-kupu. Aku senang memotretnya, sebagai kenang-kenangan yang akan terus aku ingat. Ketika aku tua nanti, aku akan menatap kembali semua foto-foto Capella untuk melepas rasa rinduku.
“Kenapa lama sekali? kau lupa dengan obat mu hm?” Mama mengusap manja kepala Capella. Aku hanya meliriknya saja dan duduk di kursi meja makan.
“Captain..” Aku yang sedang asyik mencomot satu-persatu hidangan yang ada di meja makan itu jadi mengalihkan pandangan ke asal suara. “Ada apa?” Tanyaku. “Besok, antarkan adikmu ke rumah sakit ya. Mama ada Meeting penting” Jawabnya. Aku mengangguk, nafsu makanku jadi berkurang. Adikku menderita Tumor otak, dia selalu meminum obat, Radiasi, kemoterapi dan Operasi. Aku tak pernah mengantar adikku untuk kemoterapi, karena untuk menerima kenyataan itupun sangat sulit.
“Kemoterapi juga tidak membuat Tumorku hilang, kenapa harus dilakukan” Capella duduk di depanku sambil mencomot Roti Maryam favoritnya. “Setidaknya kau bisa hidup sedikit lebih lama dari perkiraan kematianmu” aku keceplosan! “Melawan takdir tuhan ya?…” Aku diam, Mama juga diam. Pertanyaan dari gadis berusia 15 tahun itu membuat kami tidak tahu harus berkata apa. Mama pergi begitu saja, mungkin ke kamarnya.
Aku hanya menatap Capella yang sedang bersemangat mengunyah Roti Maryam, dia terlihat begitu sangat tenang dan baik-baik saja. Gadis polos itu, dengan segala yang ia miliki selalu membuatku terus merindukannya.
“Aku dengar, Ayah kalian akan kembali dari Eropa ya?” Sepupuku, White Nawat. Dia sangat dekat dengan kami, sudah aku anggap seperti Kakakku sendiri. Kak White ini yang biasanya mengantar Capella pergi kemoterapi. “Kalau aku meninggal, pasti Papa nggak akan kerja sampai ke Eropa. Kasihan Mama sendirian terus” “Kalau kamu meninggal, nggak kasihan sama Captain? dia juga akan sendirian” Kak White duduk di sebelah Capella. “Kan ada Kak White.. ” “Apa untungnya membicarakan tentang hal ini? makan saja, itu akan membuat perutmu kenyang” Celoteh ku.
Aku meninggalkan ruang makan, memikirkannya hanya akan membuatku sakit. Aku pergi ke kamar untuk mencetak semua hasil jepretanku hari ini.
Aku mungkin terlalu sangat menyayangi adikku, sehingga hatiku sangat patah jika harus mengingat bahwa Tumor itu masih bersamanya. Bahkan aku juga tidak pernah mengantarnya saat kemoterapi, radiasi, dan saat dia dirawat di rumah sakit.
Dokter bilang. Usia adikku tak akan lama lagi. Tapi aku tidak mempercayainya karena Dokter bukan Tuhan, tetapi aku juga takut jika itu memang benar-benar terjadi mengingat Tumor itu semakin parah.
“Kotak P3Knya mana sih? kok nggak ada di tempat biasanya?” Kak White datang ke kamarku dan mengobrak-abrik semua isi meja yang ada di kamarku. “hm..” “Adikmu mimisan, Kasa sterilnya kan ada di sana” katanya. Aku langsung menunjuk arah bawah tempat tidurku. “Kau menyembunyikannya?!” Tanyanya setelah menemukan Kotak P3K yang dia cari. “Tidak sengaja menyembunyikannya” jawabku. BUG! Kak White melemparku dengan bantal, dengan siap aku langsung menangkap bantal yang ukurannya tidak kecil itu. Aku melangkahkan kakiku keluar dari kamar dan melihat keadaan Capella di ruang keluarga.
“Sudah baikan?” tanyaku duduk di sebelah Capella. “Memangnya aku sedang bertengkar dengan siapa?” tanyanya balik “Mimisanmu itu loh…” Capella mengangguk “Oh, biasa aja sih. Mimisan nggak sakit kok” “Iya tahu nggak sakit, tapi keluarnya lebih banyak atau lebih sedikit?” “Sedang-sedang saja”
Aku mengangguk-anggukan kepalaku. Capella kembali fokus dengan Game Happy Mall Story di ponsel. Kak White kembali dan mengajakku untuk bermain Playstation. Aku dan Kak White biasanya bermain Taken, Game Favoritku God Of War. Tapi, jika Capella ingin ikut bermain dia selalu memainkan game Barbie dan selalu memintaku untuk ikut bermain Game feminim itu.
“Makanya, jangan sering mengejekku karena suka bermain Digimon” Aku tidak peduli, aku hanya fokus untuk meng-KO kan Kak White yang menjadi musuhku bermain Taken karena dia cukup lumayan mahir dalam bermain Taken, tetapi tetap saja aku yang paling mahir.
“Nong…” panggilku, di Thailand Nong berarti adik. “..” tidak ada jawaban dari Capella. “Nong…” panggilku lagi “….” “Nong…” Aku menoleh, sebenarnya Capella sedang melakukan apa sehingga dalam jarak 3 cm saja tidak dengar. Oh, dia tertidur.
Tunggu… Ada darah yang mengalir keluar dari hidungnya. Aku langsung menjambak rambut Kak White karena dia tidak menoleh saat aku menjawil bahunya. “SAKIT!” teriaknya. “Eh… Capella..?” Kak White mendelik, dia langsung saja berlari secepat kilat.
Aku langsung menggendong tubuh yang 4 kali lipat kecilnya dari tubuhku. Kak White rupanya memanggil Mama yang sedang sibuk bekerja di ruang kerjanya dan dia sedang menyiapkan Mobil. Aku langsung masuk ke dalam Mobil dengan Capella yang ada dalam gendonganku.
Saat tiba di rumah sakit, para Perawat yang di rumah sakit dengan siap menghampiri kami dengan membawa Brankar dorong. Aku langsung menidurkan Capella di Brankar dan mereka membawanya di UGD.
“Tumornya sudah stadium akhir” Dokter yang menangani Capella sejak ia sakit itu keluar dari ruang UGD. “Apa yang dibutuhkan Putri saya agar bisa sembuh dari tumornya?” tanya Mama. Aku tidak peduli dengan apa yang dokter katakan. Aku langsung masuk ke dalam ruang UGD untuk menemui adikku. Capella ternyata sudah bangun dari pingsannya. Aku duduk di kursi sebelah tempat tidur Capella. Dia terlihat sangat pucat, namun senyumnya selalu ada di bibir Cherry itu.
“Kak, temenin Capella ke Ilalang yuk. Capella mau nangkap kupu-kupu” katanya. “Capella kan lagi sakit sekarang” Aku menolak permohonannya. “Kak…” Aku mengusap kepalanya lembut “Sekali ini aja, ini yang terakhir…”
Mau tidak mau aku harus menuruti permohonannya. Dokter juga memberi Izin, tapi hanya diberi waktu kurang dari 30 menit. Kebetulan juga, Ilalang yang letaknya di belakang rumah sakit juga lebih banyak kupu-kupunya dari ilalang yang di belakang rumah.
Kali ini, aku memberanikan diri berdiri di sebelah Capella yang menangkap kupu-kupu. Kuingatkan lagi, aku takut pada kupu-kupu. Aku membawa Kaleng kaca yang akan di buat wadah Kupu-kupu sebelum Capella melepasnya kembali.
“Hari ini menangkap dua ya? biasanya satu” tanyaku Capella duduk, akupun mengikutinya.
“Kupu-kupu yang satu Kakak… Dan yang satu lagi Capella. Mereka terlihat sangat akrab seperti kita” jawabnya. “Kak, Capella mau bisa terbang bebas seperti kupu-kupu ini” Aku mengangguk “Nanti terbang sama Kakak ya..” Ucapku. “Kak, jagain Mama ya. Jangan sering-sering buat Papa pusing. Temenin Kak White main Digimon, Temenin Kak White jalan-jalan juga. Makasih ya Kak, udah jagain Capella. Sekarang Kakak udah gaperlu mikirin keadaan Capella lagi karena Capella nggak akan ngerasain sakit lagi. Nggak perlu nyembunyiin Kotak P3K di bawah tempat tidur. Capella mau terbang jauh Kak, tapi sendirian aja. Karena Kupu-kupu yang satu ini belum saatnya untuk terbang” Capella menyandarkan kepalanya di pundakku, sambil melepas Kupu-kupu bersayap Pink itu terbang. Jantungku berdegup kencang, Air mataku mengalir. “Capella sayang Captain!”
Setelah itu, tak terdengar lagi suara lembut keluar dari mulut Capella. Aku memeluknya erat, Aku menangis dan berteriak kencang sambil memanggil namanya. Aku memeluknya dan mencium keningnya untuk yang terakhir kali.
Satu-satunya Kupu-kupu yang aku punya kini telah terbang jauh. Keinginannya untuk bisa terbang bebas telah terkabulkan. Kupu-kupu itu tak lagi lemah, kini ia menjadi Kupu-kupu yang kuat. Kupu-kupu itu masih terlihat sangat cantik. Meski aku tak lagi bisa melihatnya, dia tetap berharga untukku.
SELESAI
Cerpen Karangan: Nursalsabiil Herdyana Facebook: facebook.com/herdyana.dyan