Tahun baru tinggal 2 hari lagi, tapi aku masih sibuk di tempat kerja, aku kerja part time jadi pelayan di salah satu kafe di dekat balaikota, dekat dengan area perkantoran dan kampus membuat kafe ini selalu sibuk setiap harinya, banyak perkerja kantor dan mahasiswa duduk dan makan disini, kulirik jam di tangan kiriku, hampir jam 4, kerjaku hampir selesai, tinggal 12 menit lagi, aku mempercepat mengepel lantai dan menata kursi kafe yang akan segera tutup.
“sampah yang di dalam kantong belakang, buang semua itu udah 3 hari numpuk, nanti baunya kemana-mana” “iya kak” “oh yah abis itu sebelum kamu pulang, kaleng-kaleng yang ada dalam kardus kamu, letakin di belakang pintu” Kali ini aku tidak menjawabnya aku hanya diam dan mulai mengangkat sampah basah ke tempat pembuangannya di belakang kafe, aku selalu saja disuruh-suruh disini, karena aku yang paling muda, walaupun itu amat sangat menjengkelkan tapi aku tidak pernah banyak protes.
Tepat jam 4, aku harus segera bergegas ke Hostel tempat kerjaku yang lain, aku punya dua tempat kerja di tempat ini hanya dari hari jumat sampai minggu. Aku pakai kemejaku dan berlari menuju sepeda, aku tidak boleh terlambat lagi. Dengan lengan dan punggung yang masih pegal, aku kayuh sepedaku.
Sampai di Hostel, aku disambut dengan sengiran oleh satpam Hostel. Di Hostel ini aku jadi tukang bersih-bersih, membersikan kamar, area belakang Hostel dan dapur. Aku mengerjakan apapun untuk menghasilkan uang, kadang aku membuatkan tugas teman-temanku, kadang mengirim cerpen ke penerbit, aku juga pernah kerja di rumah sakit jadi tukang cuci piring-piring bekas pasien makan.
Aku sudah mulai kerja part time mulai dari awal masuk kuliah, selain biaya kuliah aku tidak pernah meminta uang dengan ayah, semenjak bercerai dengan ibu, ayah sangat keras dengan aku dan Yudis adik laki-lakiku satu-satunya, kami hanya tinggal dengan ayah sejak Smp, setelah bercerai ibu pergi entah kemana, dulu ibu sangat menyayangi aku dan Yudis, aku yakin ibu sangat merindukan kami berdua saat ini.
Saat kuliah semester dua tiba-tiba surat dari ibu datang, dia menanyakan kabar kami berdua, setelah sekian lama, ternyata ibu sekarang tinggal di Surabaya, aku tidak membalas surat dari ibu, aku berencana untuk pergi ke surabaya dan menemuinya langsung, semenjak itu aku mati-matian menabung, aku ingin tinggal dengan ibu, aku sudah tidak tahan dengan ayah, ayah sangat keras dengan kami, mungkin karena ayah seorang tentara dan kakek juga tentara jadi ayah menjadi orang yang keras dan kasar, meski perempuan aku pernah ayah pukuli dengan ikat pinggang saat Sma, Yudis juga perna ditampar dan dibotaki oleh ayah hanya karena ketahuan merok*k.
Hari sudah hampir pukul sepuluh, aku sudah sampai di depan rumah, ku tuntun sepedaku di halaman, semua badanku terasa sakit, saat baru masuk pintu rumah ayah sudah menunggu di ruang tv. “kamu liat jam berapa ini, keluyuran jam segini” Aku hanya diam dan terus berjalan menuju kamar, “aku baru pulang kerja” “kerja apa jam segini baru pulang, kamu ini kerjanya Cuma main saja, kamu itu susah sekali diatur” “aku kerja part time, kan aku pernah ngomong sama ayah” suaraku mulai meninggi “alasan aja, mana ada kerjaan buat anak perempuan sampai jam segini, kamu pasti main sama temen-temen liar kamu itu” “liar? Liar yang mana? Aku temen aja gak ada, siapa memang yang mau temenan dengan aku, gak ada orang yang mau” Ayah menghardikku dengan kata-kata kasar seperti biasa, “kamu itu memang anak nakal, disekolahin, dikasih makan, diajarin, tapi ngomong dengan orangtua bentak-bentak, kamu pikir kamu sudah hebat” “gak ada maksud untuk ngebentak ayah, tapi aku udah gak tahan, aku ini bukan anak buah ayah, aku ini bukan tentara, aku capek dengar ayah selalu marah-marah dan ngomong kasar, ayah sekali pun gak pernah mikirin perasaan aku sama Yudis, ayah cuman mikirin perasaan ayah sediri, wajar aja kalau ibu pergi ninggalin ayah, siapa juga yang tahan tinggal dengan orang yang kerjanya cuman marah-marah dan semaunya sendiri” Plaakkkk, ayah menamparku, ayah yang tersadar dengan apa yang barusan dia lakukan perlahan mundur dan pergi, tinggallah aku tersungkur di lantai sambil menangis, Yudis datang menghampiriku membantukku berdiri dan berjalan menuju kamar.
Tekatku sudah bulat untuk pergi menginggalkan ayah dan mencari ibu. Sebelum tidur aku siap-siap untuk pergi besok pagi, aku juga merasa tabunganku sudah cukup banyak.
“kakak yakin mau pergi besok?” “iya, terserah kamu mau ikut atau tidak” “aku ada ujian lusa kak di kampus” “kakak bakal nemuin ibu duluan, nanti kakak jemput kamu, kakak ajak ibu, kakak udah gak tahan Yudis tinggal dengan ayah, maafin kakak”
Semalaman aku tidak bisa tidur, aku mikirkan akan bertemu ibu, membuatku sangat antusias menunggu besok.
Besoknya aku pergi ke surabaya naik pesawat, aku tinggalkan surat untuk ayah dan Yudis, karena mereka sudah pergi semua pagi-pagi tadi. Aku sandang tasku aku pesan taksi dan aku siap menemui ibu..
Sore harinya aku sampai di Surabaya, tanpa berpikir panjang aku naik taksi langsung menuju alamat dari surat yang ibu kirim, aku sudah 8 tahun tidak bertemu dengan ibu, bagaimana keadaanya sekarang, apakah ia sehat, apakah ibu bahagia?
Aku berhenti di depan rumah yang lumayan besar dengan halaman luas dan banyak bunga di depannya, aku tambah yakin kalau ini memang rumah ibu, karena ibu suka menanam bunga. Rumah ibu sangat berbeda dengan rumah kami, rumah kami senderhana, karena gaji ayah habis untuk menguliahkan aku dan Yudis jadi tak sempat untuk memperbaruhi rumah.
Saat masuk halaman ada seorang ibu-ibu menghampiriku, dia bertanya siapa yang aku cari, dia melihatku dari atas sampai bawah dengan wajah lusu tas sandang dan koper satu, aku sebutkan nama ibu. “oh mbaknya cari nyonya Muti, ayo mbaknya masuk dulu, bibik panggilkan nyonya” Dari gelagatnya dia seperti bekerja mengurus rumah ini, aku pandangi rumah ibu, rumahnya sangat besar dan luas, sofanya sangat mahal dan gordennya juga sangat mewah, hatiku agak syok melihatnya, sepertinya ibu hidup senang disini.
“ini nyonya, mbak yang nyari” Lamunanku buyar, di depanku berdiri seorang wanita yang selama ini sangat aku rindukan, dengan dress selutut dan tatanan rambut yang rapi, dia mendekat dan memelukku, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya “Sukmaa” “ibuuu” aku langsung memeluk ibu dan menangis aku memeluknya erat, kami berdua menangis. Dia menanyakan keadaan kami, dia juga menanyakan ayah, menanyakan apakah ayah sudah menikah lagi.
Aku makan malam bersama keluarganya, ternyata ibu sudah menikah lagi, sepertinya suami baru ibu sangat kaya, ada dua perempuan seumuranku, dan anak laki-laki berumur sekitar 7 tahun, suasana sangat kaku dan canggung, tampilan mereka sangat berkelas, berbeda dengan diriku, seorang pekerja paruh waktu, harus menjadi kuli hanya karena mau menemui ibuku, perlahan aku mulai merasa malu sendiri, apalagi dari ekspresi mereka melihat ke arahku, seperti melihat serangga, dan suami ibu juga terlihat tidak terlalu senang.
Sebelum tidur aku ngobrol sedikit tentang hidupku, kami tidak bisa bicara lama-lama karena anaknya yang paling kecil mengajaknya kembali ke kamar untuk tidur.
Sudah satu minggu aku tinggal disini dengan ibu, aku sangat bahagia, tahun baruan bersama ibu, dia mengajakku jalan-jalan dan berkeliling surabaya, aku juga diajak membeli makan-makanan enak dan beli banyak baju, tapi selama seminggu juga penghuni rumah ini tidak ada yang ramah denganku, mereka sibuk sendiri-sendiri dengan hidup mereka.
Hari sudah larut aku naik ke atas membawa satu gelas susu putih panas, bibik menawarkan untuk dibuatkan tapi aku menolak, aku lewat di depan kamar ibu kamarnya berpintu paling besar dan paling mewah di rumah ini. “trus mau sampai kapan dia ada disini” Aku tidak sengaja mendengar mereka bercakap “maaf mas tapi aku juga tidak menyangka kalau Sukma datang kesini” “suruh saja dia pulang ke ayahnya, bikin repot aja” Aku seperti disambar petir mendengan percakapan mereka, aku langsung lari masuk kamarku, kamarku terlihat samar karena terhalang air mata, aku menangis sejadi-jadinya, aku tidak diterima disini, memang dari awal aku merasa kalau ibu seperti setengah hati menerimaku, dan aku pun ingat dengan ayah, ingat dengan kata-kata kasar terakhir yang aku ucapkan sebelum meninggalkannya kesini.
Pagi ini aku akan langsung pulang, naik kereta saja, aku sudah bersiap-siap pulang, saat sarapan pagi aku pamitan pulang “aku mau pulang, bu, om” semua orang di ruangan terdiam, aku lirik ekspresi ibu yang menegang dan sendu dia terkejut mendengarku “ya sudah, hati-hati di jalan salam sama keluargamu disana” “iya om” “nanti suruh mang Irwan antar kamu ke bandara” “ke stasiun saja om, aku mau naik kereta”
Nasi gorengnya mengganjal di kerongkonganku, aku tak mampu untuk menelannya, air mataku menetes “kenapa mendadak kak” ibu angkat suara, aku diam saja, ibu berdiri di posisi serba salah, dia tau aku sangat ingin tinggal dengannya, tapi dia tidak membelaku. Aku hanya diam saja saat ibu memelukku untuk berpisah, yahhhh berpisah kembali, aku sangat kecewa dengan kenyataannya, semua tidak seperti yang aku bayangkan, aku menangis di dalam kereta..
Tante zahra adik ibu tiba-tiba meneleponku dan menjelaskan semua, menjelaskan kenapa ayah dan ibu berpisah kenapa ibu pergi dari rumah.
Ayah dan ibu menikah karena dijodohkan, ayah sangat mencintai ibu, tapi ibu mencintai laki-laki lain, dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai saja, lalu ibu menikah lagi dengan lelaki yang dicintainya, dengan lelaki yang lebih kaya dari ayah. Ayah sudah berkorban banyak hal selama ini, untuk kami semua, sampai saat ini ayah tidak menikah lagi karena cintanya yang begitu besar dengan ibu. Ayah berkerja keras untuk menghidupi dan membesarkan kami berdua, walau dia sangat kasar den keras tapi ayah kami berdua adalah segala-galanya bagi dia..
Sudah seminggu aku kembali dari Surabaya, ayah menjadi lebih mengalah dan bersabar, kata Yudis ayah selalu duduk di depan pintu menunggu aku pulang, ayah tidak bisa tidur setiap malam mengkhawatirkan aku, aku mencoba memperbaikki hubungan dengan ayah, kami menjadi rukun kembali bertiga, tidak ada kemarahan lagi, sepertinya kejadian kemarin telah merubah kami semua.
Ayah memang sangat menyayangi kami, mungkin dia hanya tidak tau cara menunjukkannya, itu saja.
Cerpen Karangan: Ditha Tirtayos Blog / Facebook: novia paraditha tirtayos