Perkenalkan namaku Ayunda Dias. Aku terlahir dari keluarga yang kurang beruntung. Aku memiliki seorang adik laki-laki Niko namanya, ia masih duduk di bangku sekolah dasar tepatnya kelas 3 sd. Sedangkan aku, sudah duduk di bangku SMA dan sudah memasuki semester akhir.
Bisa dibanyangkan bagaimana sakitnya menjalani hidup dengan serba kekurangan. Ditambah, orangtuaku yang setiap hari bertengkar. Ayahku bekerja sebagai buruh di pabrik tahu milik Kepala Desa, gajinya pun tidak seberapa, untuk makan sehari-hari pun kadang masih kurang. Sedangkan Ibuku, ia hanya diam di rumah merawat adikku yang memang masih kecil. Ibuku sangat cerewet, ia selalu marah-marah jika ayah pulang tanpa membawa uang atau hanya membawa seplastik kecil tahu untuk dijadikan lauk, maklum ayahku baru akan mendapat gaji seminggu sekali, tepatnya setiap hari sabtu.
Pada suatu hari, setelah aku pulang dari sekolah, kudapati rumah begitu sepi dan berantakan. Seperti telah terjadi sesuatu. Kucari-cari Ibu serta Adikku tapi tetap tak ada, kutanya tetangga sekitar rumah pun juga tak ada yang tahu kemana ibuku. Namun, ada salah satu tetanggaku yang menceritakan bahwa tadi pagi, tepatnya setelah aku dan adikku pergi sekolah, telah terjadi perkelahian antara ibu dan ayahku. Tak tau pasti penyebabnya, yang jelas ibuku meminta untuk bercerai. Sontak saja ini membuatku syok berat, bahkan kakiku serasa lemas seketika.
Dengan air mata yang mengalir deras di pipi, aku pun kembali ke rumah. Aku menuju kamar orangtuaku, perlahan kubuka pintu kamar yang tak terkunci. Kulihat pintu lemari yang terbuka kosong tak ada sehelai baju milik ibuku. Air mataku semakin deras mengalir, tak dapat aku menahan semua kesedihan ini. Aku menangis sejadi-jadinya. Ibuku, orang yang telah melahirkan dan merawatku telah pergi entah kemana.
Di tengah kesedihanku, adikku datang dan langsung memelukku, sambil menangis ia bertanya “kemana ibu kak?”, sesak dada ini rasanya. Tak bisa ku menenangkan adikku bahkan diriku sendiri. Beberapa kali kucoba menguasai diri, agar tak lagi menangis di depan adikku niko.
Kucoba berdiri walau kondisiku sangat lemah. Namun adikku, ia terus memelukku seakan ia sangat ketakutan. Ia masih menanyakan dimana ibu dengan suara terisak-isak. Kucoba menenangkannya dengan mengatakan bahwa ibu sedang pergi bekerja untuk beberapa hari, “setelah pulang, ibu akan belikan sepeda buat niko, tapi niko janji harus rajin belajar ya”. Kuusap air matanya dan kupeluk ia sambil kukecup rambutnya.
Dengan suara lirih aku bertanya, “tadi sewaktu kakak pulang, niko kemana kok gak ada di rumah? bajunya juga belum diganti?” Dengan nada lemas ia menjawab bahwa, semenjak pulang sekolah ia mencari ibu untuk diambilkan makanan karena lapar. “tapi ibu gak ada di rumah, di rumah bude sri juga gak ada, terus aku pergi ke pabrik tahu buat cari bapak, tapi bapak juga gak ada kak” ia kembali menangis. Kupeluk erat adikku, air mataku kembali mengalir, membayangkan adikku yang harus berjalan sejauh 2 kilo dalam keadaan lapar, ditambah cuaca yang begitu panas. Sesak sekali dadaku hingga sulit untuk bernafas. Kuajak ia untuk makan dan segera kusiapkan nasi serta lauk tadi pagi.
Tak terasa, hari sudah semakin sore. Terlintas di benakku mengingat ayah yang tidak bekerja hari ini, kemana ia pergi?, tapi aku tak mencarinya, karena tak mungkin aku meninggalkan adikku sendirian.. Aku pun tak begitu khawatir sebab, baju dan barang-barang milik ayah semuanya masih ada di rumah, menandakan ia tak pergi meninggalkan kami seperti ibu.
Aku terus menunggu ayah hingga jam 9 malam tapi, ia tak kunjung datang. Pikiranku semakin kacau, berbeda dengan adikku yang sudah tertidur lelap.
Tepat jam 10 malam ayahku pulang dengan keadaan lemas, aku pun langsung memeluknya dan menangis sejadi-jadinya, “kemana ibu pergi dan kenapa harus berpisah? apa yang ayah dan ibu pikirkan hingga harus seperti ini? bagaimana nasib kita? bagaimana dengan niko? yang masih membutuhkan ibu” aku menangis sambil memukul kecil dada ayahku berkali-kali. Dengan menahan tangis ayahku berkata “sabar, mungkin sudah habis jodoh antara ayah dan ibu. Jangan pikirkan ibumu lagi, jika ia masih punya hati nurani, suatu saat ibumu pasti kembali”
Waktu terus berlalu, seminggu, sebulan hingga setahun aku kami menjalani hidup tanpa kehadiran ibu. Kehidupan kami pun jauh lebih baik dari sebelumnya. karena ayahku sekarang telah bekerja di sebuah pertambangan batu bara sebagai mekanik. sementara aku, aku bekerja di sebuah perusahaan pengiriman barang. Meski begitu aku berharap besar, semoga ibuku kembali ke rumah.
Jujur aku sangat merindukan kasih sayang seorang ibu, terutama adikku yang masih sangat memerlukan kasih sayang serta bimbingan darimu bu…
Cerpen Karangan: Novita Blog / Facebook: Novita Jeojya