Hidup terlalu singkat untuk dijalani Terlalu luas untuk dipahami tetapi hidup menjadi berarti ketika lepas dari segala sesuatu Keluar dari diri sendiri Memecah dinding keegoisan yang memenjarakan diri dalam ke’AKU’an
Segurat senyum terpahat di wajah Ine Maria. Dengan hati berbunga, ia melangkah arungi hutan kecil di desanya. Rambutnya yang keputih-putihan berkilau menerima senyum sang fajar. Usianya yang memasuki kepala enam seolah tak menyurutkan semangat 45-nya.
Ine Maria memungut ranting-ranting kering. Ia menunduk sambil sesekali tangan kanannya memainkan sua. Ia sadar betul anugerah alam yang maha indah itu. Alam memberikan segalanya bagi manusia. Sayang, manusia jarang mensyukuri apa yang sudah alam berikan. Manusia hidup dalam ketamakannya. Alam dikeruk. Dieksploitasi berlebihan.
Permenungan Ine Maria tiba-tiba pecah oleh deru suara mobil. Suara itu mengganggu ketenangan alam. Burung-burung terbang menjauh. Pertanda alam ingin berontak. Di dalam benaknya, Ine Maria hafal betul deru mobil siapa itu. Ia tahu orang itu datang untuknya. Orang itu ingin membopong Ine Maria. Membopongnya kembali ke tanah yang tak pernah didambanya.
“Tidak usah bermain petak umpet, nak. Ine tahu kau di situ. Tampakkan batang hidungmu. Jangan menyembunyikan dirimu dalam semak-semak dunia. Dirimu bukan bocah ingusan lagi. Kau sudah besar, seperti matahari yang kian meninggi ini,” suara Ine menggema di tengah diamnya pepohonan.
Sesosok pria muda menampakkan wujudnya. Ia berjalan keluar dari balik rimbunnya belukar. Langkahnya pasti dan teratur. Sesekali ia menarik nafas dalam-dalam. Udara yang dihembuskannya berpadu bersama semilir angin hutan.
“Ine, maafkanlah anakmu ini. Aku tahu kehadiranku mengganggu kedamaianmu. Aku tahu hutan ini pun tak menghendaki kedatanganku. Tapi biarkan rasa rinduku menemui pemenuhannya. Aku ingin mengajak Ine kembali ke rumah. Kembali menuju kediaman kita di kota.”
Wajah Ine berubah masam. Tak sudi ia mendengar celoteh anak semata wayangnya itu. Sudah Ine jelaskan berkali-kali kota bukanlah rumahnya. Kota hanya menghadirkan rupa-rupa kebahagiaan semu. Ine tidak pernah menemukan kedamaian menjalani hari-harinya dikelilingi gedung-gedung pencakar langit. Di tengah hiruk-pikuk keramaian yang tak pernah mati. Di tengah pulau kemegahan yang berhiaskan samudera kemiskinan, pemerkosaan, pemerasan, dan unek-unek kejahatan dunia lainnya.
Sesaat hanya kebisuan yang mengisi jarak keduanya. Suara jangkrik bahkan tak berani bersua. Ine tetap berdiri mematung. Tidak pernah dibayangkannya betapa keras kepala anaknya itu. Harus berapa kali lagi ia jelaskan bahwa di desa kecil inilah ia akan menghabiskan hari tuanya. Ine bukan tak rindu ditemani buah hatinya. Ia tahu anaknya berjuang keras menyediakan apapun yang ia butuhkan di kota. Namun, hati dan pendiriannya tak bisa diajak berkompromi. Ine ingin di penghujung waktunya ada sumbangsih yang dapat ia beri bagi masyarakat desa.
“Haruskah kita melangkah ke kota yang penuh dengan tanya?” Ine bertanya dalam nada parau. “Kota memang penuh tanda tanya. Aku sadar akan itu Ine. Kota menghadirkan ketidakpastian hidup, selalu setiap saat. Hidup di kota sama artinya terperosok dalam mekanisme siapa kuat dia berkuasa. Hidup di kota berarti menjadi hamba bos-bos besar. Menghidupkan asas asal bapak senang. Tapi aku bukan orang seperti itu. Aku bekerja dan mendapatkan upah secara halal. Aku berjuang dengan seluruh dayaku. Apa yang aku raih adalah bukti kerja kerasku. Aku sekarang hidup dalam kelimpahan dan kelimpahan itulah yang ingin aku persembahkan untuk Ine.”
Ine terharu mendengar kesungguhan hati anaknya. Tanpa sadar embun-embun bening mengalir dari kedua matanya. Perasaan Ine campur aduk. Ia digerogoti kekalutan. Ia bukan meratapi keinginan anaknya. Ia meratapi kenyataan yang dengan kejam memisahkan mimpi seorang ibu dengan harapan anaknya.
Hati Ine semakin hancur menyadari anaknya dibutakan idealismenya sendiri. Anaknya merasa hidup dalam kelimpahan. Namun, kelimpahan itulah bumerangnya. Kelimpahan adalah cermin kemiskinan, kekurangan akan cinta dan rasa cukup. Persis itulah yang diperlihatkan masyarakat kota. Mereka menderita sindrom tak pernah puas. Hidup dipahami sebagai arena kompetisi. Setiap hari mereka berlomba mendapatkan harta, uang, dan jabatan. Ternyata semua itu tak dapat menyirami kegersangan hati mereka. Ujung-ujungnya mereka terus berkompetisi hingga mati tanpa mengecap makna kebahagiaan sejati.
Ine ingin anaknya menyadari itu. Sadar bahwa orientasi hidupnya selama ini adalah kesia-siaan belaka. Kebahagiaan tidak harus dibuktikan dalam kelimpahan barang-barang duniawi. Sifatnya sementara. Malah membuat hati gelisah dan tak kharuan. Kebahagiaan sejati berarti melepas segalanya. Melepaskan diri dari ketergantungan kepada dunia. Mengosongkan pikiran dan hati dari segala yang mengganggu layaknya nasihat Buddha, “Berisi adalah kosong dan kosong adalah berisi.” Kekosongan itu lalu diisi dengan kelimpahan cinta, kelimpahan kasih sayang yang tulus.
Dari sorot matanya, Ine bisa melihat kekeringan hati anaknya. Suatu dahaga akan kelimpahan cinta. Anaknya betul telah terbenam dalam samudera minim kasih sayang.
“Nak, Ine tahu kesungguhanmu. Ine tahu betapa kau membanting tulang demi membahagiakan Inemu ini. Tetapi izinkan Ine mengatakan ini. Biarkan kamu marah tetapi jangan berbuat dosa. Persembahkan kurban yang benar dan percayalah kepada Tuhan. Semuanya ini Ine katakan kepadamu, supaya apabila datang saatnya, kamu ingat bahwa Ine telah mengatakannya kepadamu. Bertolaklah ke tempat yang dalam.”
Cerpen Karangan: Yon Dani Facebook: facebook.com/yon.dani.3 Alumni Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko ’81 Putra Flores untuk Indonesia