“Mit, lo kenal ga sama cowo yang ngobrol sama Al tadi?” “Engga, keknya bukan anak sini!” “Kita ikutin.. ikutin Mit, ngga tau kenapa, gue penasaran aja!” “Kita duluan tunggu diluar, cepet… cepet.. cari taksi… Mit”. Kebetulan sekolah mereka memang berdekatan dengan pangkalan taksi, jadi tak berapa lama kemudian mereka pun bisa mendapatkan taksi yang mereka mau. Mereka mengikuti motor Al begitu mereka terlihat keluar dari tempat parkir motor sekolah, beruntung jalanan tidak begitu ramai, sehingga taksi yang mereka tumpangi dengan leluasa mengikuti dari belakang.
Setelah lima belas menit berkendara, Al menghentikan motornya di depan sebuah kafe, lalu kedua lelaki tersebut masuk ke dalam tanpa curiga bahwa mereka telah dibuntuti. Sashi dan Mitha turun dari taksi yang mereka tumpangi dan beberapa saat kemudian ikut masuk ke dalam secara diam-diam agar tidak diketahui oleh Al.
Mereka sengaja mencari posisi agak jauh di belakang Al dan kawannya duduk, Al tidak tau tetapi Sashi bisa dengan jelas melihat wajah gadis berambut panjang yang ditemui Al saat ini. Mereka bersama dalam satu meja, Al terlihat tersenyum dan mengulurkan tangannya bersalaman dengan gadis tersebut, setelah itu terlihat mereka mengobrol dengan akrab sekali seperti teman yang lama yang saing kangen, sedangkan lelaki yang tadi datang bersama Al sesekali ikut menimpali tetapi lebih sering memainkan ponselnya.
Agak lama mereka memperhatikan gadis yang bersama Al, rona wajah gadis itu begitu antusias dan banyak senyum, binar-binar matanya sangat jelas terlihat, sepertinya ia bahagia sekali saat ini. “Mit, siapa cewe itu? Lo kenal ga?” Sashi bertanya pelan dengan nada sedih, ada sesak dalam dadanya, ia cemburu. “Hmmm… Rasanya gue kenal deh, mirip sih sama yang di foto…” Mitha agak bergumam dan coba mengingat-ngingat sesuatu. “Gue akan kasi tau lo tapi lo yang sabar ya Sas..” Mitha pun memelankan suaranya. “Siapa? kasi tau gue!” juga dengan berbisik. “Iya gue kasi tau lo, tapi ga di sini… kita pergi dulu dari sini, kita pulang aja… ayok…, kita keluar… kelamaan di sini ntar bikin lo sakit!” Mitha menggamit tangan Sashi dengan paksa, sedangkan Sashi masih bingung dan matanya masih memperhatikan Al dan gadis tersebut dari jauh. Ia akhirnya beranjak pergi mengikuti Mitha.
Mereka pulang ke rumah menggunakan taksi online agar lebih cepat sampai. Setibanya di rumah Sashi, mereka terduduk lelah, seakan telah berlari 2 kilo jaraknya. “Mit…. hati gue kok sakit ya ngeliat Al sama cewe lain!” “Sabar Sas! Tenang dulu…” Gue yakin Al punya alasannya, jangan mikir yang macem-macem dulu ya…” Mitha mencoba menenangkan Sashi. “Kalo gue liat-liat… tadi itu emang sih keknya mantannya Al, Sas… gue yakin banget, wajahnya mirip sama cewe yang pernah gue liat di hp nya Al… dulu, tiga tahun lalu, tapi… ehm… katanya dia lagi di Padang, kuliah disana!?
“Sekarang lo dengerin ya, sekalian aja gue ceritain apa yang dulu pernah Al ceritain ke gue, Sas..” “Dulu sekira usai ujian akhir kelulusan SMP, gue liat Al keliatan galau gitu, terus gue deketin dia tanyain dia dan akhirnya dia cerita kalo dia baru aja di tinggalin sama cewek yang lagi deket sama dia, namanya Echa, dia lebih tua tiga tahun dari Al. Al lalu kasi lihat fotonya ke gue… yaa itu gue bilang, emang mirip sama cewe tadi, mereka sebenarnya sih udah lama deket kira-kira setahun lebih, awal ketemu di mal Al pikir Echa masih SMP sama seperti dia, abis perawakannya juga imut-imut gitu, terus mereka dekat begitu aja dan sering chat-an via medsos, seterusnya mereka sering ketemuan kalau pas jalan bareng temen-temen mereka, Echa waktu itu udah mo lulus kelas 3 SMU. Ortu Echa akhirnya tau soal anak mereka dan Al, mereka pun ngga setuju kalo Echa Al terus berhubungan dekat, mereka inginnya anak mereka fokus kuliah, Echa sempat ngga terima, dia berusaha ngeyakinin orangtuanya bahwa walaupun dia dekat dengan cowok tapi ia tetap akan fokus kuliah. Orangtuanya tetap ngga setuju, lagi pula Al dianggap masih anak-anak oleh orangtua Echa. Pada akhirnya Echa pun didesak untuk kuliah di daerah tempat neneknya tinggal, di Padang. Echa pun dengan terpaksa berjanji akan menuruti permintaan kedua ortunya karena ngga mau berselisih paham dengan ortunya”. “Akhirnya mereka pun terpaksa berpisah, dan terakhir gue denger dari Al, mereka ngga pernah ketemu atau berhubungan lagi… sama sekali”.
“Kenapa Mit?”, “mereka kan masih bisa temenan atau backstreet gitu?, jaman canggih gini kan bisa dong LDR an? Bisa chatting, video call an?” “Al ngga mau kayak gitu, dia ngga mau Echa mengingkari janji pada kedua orangtuanya atau jadi ngga fokus kuliah karena dia, selain itu Al mau Echa menuruti semua kemauan ortunya walaupun perasaannya sakit sekali harus pisah… Echa itu cinta pertamanya Al, lo tau kan Al itu pikirannya lebih dewasa dari umurnya, dia bilang itu untuk kebaikan Echa sendiri, mungkin sudah takdir dari Yang Maha Kuasa mereka harus pisah…tapi Al juga mau berpisah secara baik-baik…lagi pula Al juga takut kalau terus berhubungan atau LDR an, takut masing-masing ngga bisa ngejaga komitmen, mereka belum punya ikatan apa pun lagi pula mereka sama-sama masih muda, jadi lebih baik mereka ngga berhubungan lagi… yah gitu deh yang gue denger dari Al, asal lo tau aja, Sas”. “Tapi Sas….(lanjut Mitha) gue masih tetep yakin kalo Al itu bisa dipercaya… stay calm ya dear and trust him”. Mitha terus memberi semangat kepada sohibnya itu sampai sohibnya itu tenang.
Sepulangnya Mitha dari rumahnya, Sashi masih memikirkan semua yang dikatakan Mitha tentang Al kepadanya, kedekatan ia dan Al memang baru seumur jagung, Al pun belum pernah mengungkapkan perasaannya pada Sashi, tapi Sashi merasa sudah nyaman dengan Al dan ia benar-benar menyayanginya, rasa yang ia rasakan saat ini berbeda dengan yang ia rasakan pada Nino dulu, ini bukan sekedar sayang, rasanya ia sudah benar-benar mencintai Al, ia cemburu pada Echa, ia benar-benar takut Al pergi?. Saat ini Sashi sudah benar-benar move on dan melupakan Nino walaupun Nino adalah cinta pertamanya yang kata orang cinta pertama itu susah dilupakan. Bagaimana dengan Al sendiri? Apa ia sudah benar-benar melupakan Echa? secara mereka pisahnya karena desakan orangtua, bukan kemauan sendiri. Bagaimana kalau mereka CLBK? Ya Tuhan… pinta Sashi… aku engga mau pisah sama Al. Ada rasa takut kehilangan Al di dalam hatinya dan ini begitu mendalam, tanpa ia sadari bulir air mata jatuh membasahi kedua pipi nya yang mulus, lama kelamaan ia pun merasa lelah dan akhirnya tertidur sambil mendekap boneka koala besar pemberian Al.
Beberapa minggu telah berlalu sejak kejadian itu, Sashi tidak pernah membahas tentang kejadian yang ia lihat, sikap Al juga tidak berubah, masih sering tanya kabar dan sesekali mampir ke rumah Sashi, sampai suatu hari Al mengajaknya keluar. Ketika kondisi sedang memungkinkan dengan hati-hati Al berbicara kepada Sashi. Sashi mendengarkan semua cerita Al dengan tenang, Al bercerita tentang Echa, mantan teman spesialnya yang kembali datang dan menghubunginya dan juga ingin kembali menjalin kedekatan seperti dulu lagi dengannya. Saat ini Echa merasa belum bisa move on dari Al walaupun ia berusaha kuat untuk itu dan ia berkata akan berusaha meyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia tidak akan mengecewakan mereka, ini sudah terbukti ia selama ini mendapatkan nilai yang baik, karena ia memang mengambil jurusan yang ia sukai. Ia berjanji akan lulus kuliah tepat waktu dengan nilai IPK yang tinggi. Walau begitu Al tetap pada pendiriannya, ia menganggap Echa hanya masa lalunya. Ia ingin Sashi yang menjadi masa depannya. Ada kelegaan dan harapan di hati Sashi. Ia mengucap syukur kepada Tuhan akhirnya Al berkata jujur kepadanya. Namun, di balik rasa bahagia terselip keraguan dan takut di hatinya, dan semua rasa, baik bahagia atau ragu itu masih ingin ia sembunyikan. Ia memperhatikan lelaki gagah yang duduk di hadapannya itu tanpa ekspresi.
“Sas, lo percaya ya ama gue, gue janji sama diri gue sendiri, gue bakal bikin lo seneng karena gue juga selalu hepi ada di deket lo dan gue mau lo jadi bagian dari hidup gue, someone special… one and only… satu-satunya…”. Sashi masih terdiam, bahagia?… ya… ingin rasanya menangis haru di bahunya dan memeluknya, tapi ia tahan. Ia hanya memandangi wajah laki-laki berhidung mancung itu dengan lekat. Memang wajahnya tak membosankan untuk dipandang, lelaki di hadapannya itu… sungguh… makhluk ciptaan Tuhan yang sangat indah.
Ia menatap bola mata lelaki itu dalam-dalam berusaha menelusuri ketulusan hatinya. Sesaat kemudian, ia menutup wajah dengan kedua tangannya dan menarik nafas dalam-dalam menahan kegundahan hatinya, semoga ini adalah perkataan jujur dari dalam hati seorang Bintang Aldebaran. Ada kebimbangan apakah ia juga akan berkata jujur tentang perasaannya… Baiklah, pikir Sashi, ia putuskan ia akan mempercayai Al dan ia ingin bahagia bersama Al, tidak akan memikirkan apa pun yang bisa merusak kebahagiaannya dengan Al. Sashi membuka tangan dari wajahnya dan tersenyum tulus pada Al.
Dengan serius ia berkata, “Sashi percaya sama Al… Sashi juga mau jujur… Sashi mau kita sama-sama terus, I love you, Al.
Al menebar senyum manisnya untuk Sashi. I love you more.
Cerpen Karangan: Zusan W