Kata “cie” berbahaya, bisa membuat dua insan yang tadinya tidak saling mengenal, tiba-tiba menjadi saling mencintai. Satu kata itu cukup ampuh merubah perasaan, suasana, dan pikiran. Serta menciptakan kisah tak terduga yang berujung entah maknanya. Seperti kisahku dengan Raga, berawal dari “cie”.
Bermula ketika aku dipindahkan dari kelas IPS ke kelas IPA. Terlihat mustahil ya? Tapi itu kenyataannya. Kata wali kelasku, aku lebih unggul di mapel peminatan Ipa daripada mapel pokok Ips, dan nilaiku pun mendukukungnya. Jadi, aku diberi kesempatan untuk mengembangkan potensiku itu. Perpindahan itu terjadi saat kenaikan kelas sebelas.
Saat itu sekolah kami masih kecil. Tiap angkatan hanya ada dua kelas, Ipa dan Ips. Dan tiap jurusan hanya satu kelas. Jadi, mudah dikenal dan mudah terkenal. Aku sudah tidak asing lagi dengan anak-anak Ipa, bahkan sepertinya aku sudah kenal semua anak di kelas itu.
Aku duduk dengan Cahya, karena awalnya ia duduk sendirian, di meja paling depan barisan tengah. Hanya ada tiga baris dalam satu kelas, setiap baris ada empat meja, dan setiap meja disinggahi dua anak. Dapat dihitung, kelas kami hanya ada 24 murid. Dari 24 murid, hanya ada satu orang yang terlihat asing di mataku, sangat jarang aku temui, mungkin malah baru pernah.
Dia Raga, cowok yang keliatannya cuek yang duduk persis di belakangku dengan Adam sang ketua OSIS. Aku sempat melirik badname di seragamnya. Adam bukan tipe orang yang pendiam, ia tidak suka situasi canggung, sampai-sampai ia memaksaku untuk berkenalan dengan Raga, katanya “biar kita berempat akrab semua, kan nggak enak depan belakang diem-dieman”. Dan di hari itu juga, ada tugas kelompok yang jika sudah selesai harus dipresentasikan. Kami berempat satu kelompok. Entah karena sekongkol atau sepemikiran, Cahya dan Adam menunjukku untuk presentasi ke depan, lebih tepatnya aku dan Raga. Cowok itu terima-terima saja, sehingga mau tidak mau aku juga harus ikut maju.
Kami berdiri berdampingan, menjelaskan hasil kerja diskusi kelompok kami. Tapi Raga ternyata tidak sedingin yang aku lihat, ia memberi pemahaman dengan panjang lebar, dan menjawabi satu persatu pertanyaan dari kelompok lain dengan detail. Dirinya tidak menunjukkan kesan tidak banyak bicara saat itu. Mungkin ia tipe orang yang bicaranya ketika hal penting saja. Disaat kami selesai menerangkan dan menunggu pertanyaan dari kelompok selanjutnya, Adam menyeletuk, “Btw, senyum kalian mirip! Serasa serasi deh, bener nggak gais?”
Deg. Sontak mereka menatap kami lekat-lekat, aku tersenyum kikuk. Sedangkan Raga, dia terlihat tenang-tenang saja. “Eh iya bener Dam! Gua baru nyadar malah!” kata Cahya, yang membuat semuanya meng-iya-kan. “Wahh iya!!” “Uwwu!” “Jangan-jangan kalian jodoh!” Sejenak hening sebelum seisi kelas bersorak “Cieee!!” “Gas Gaa!! Tembak!! Jadian!!”
“Apaan si enggak kok beda ni beda!” kataku dengan senyum yang dibuat beda. “Ah makin mirip euy!!” “Ciee!! Uhuyy!! Swiitt!!” lagi-lagi mereka riuh.
Sejak hari itu, kami mulai akrab. Sebagai teman tentunya. Tidak hanya berdua, melainkan dengan Cahya dan Agam juga. Kami sering bersama. Ke kantin, perpustakaan saat gabut, jogging, bahkan main. Secepat itu kami membangun pertemanan dengan baik. Meskipun banyak yang mengira bahwa kami berpacaran. Aku dengan Raga, dan Cahya dengan Adam. Cahya dengan Adam memang fakta, sedangkan aku dengan Raga hanya olokan.
Gara-gara apa? Karena ternyata, ada yang diam-diam mengarahkan kamera ke kami saat presentasi kala itu. Kami yang berdampingan dengan senyuman, tertangkap jelas oleh kamera. Seketika foto itu diposting oleh Adam di story dengan caption “kekasih baru gais”. Awalnya hanya Adam yang berulah, tapi kemudian postingan itu diviralkan anak satu kelas. Akhirnya, kami disangka berpacaran oleh anak-anak kelas lain.
“Kalau kita emang jodoh gimana?” Raga pernah melontarkan pertanyaan itu saat kami makan berdua. Saat itu Cahya dan Adam sedang ada urusan OSIS. Aku hanya menggeleng kaku, tidak tau harus jawab apa.
“Menurut lo, kita ini apa?” lanjutnya. “Kita? Kita sebatas berteman, kan?” “Hmp, kalau gue mau lebih gimana?” Deg. Arah pembicaraan apa ini. Apa maksudnya?
“M-maksudnya?” “Ya.. seperti Adam dan Cahya. Mau?” Apa dia sedang menembakku? Aku belum paham pembicaraan ini, terlalu cepat rasanya jika ia punya perasaan lebih. “Jangan bercanda deh!” ketusku.
Terlihat ia meneguk ice pesanannya sebelum menyanggah. “Apa selama ini perilaku gue nggak menjelaskan sama sekali?”
Aku terdiam, mencerna ucapannya. Raga memang yang paling peduli di antara Adam dan Cahya. Ia selalu sigap kerap kali aku meminta bantuan. Ia paling antusias mendengarkan curhatanku. Tak jarang pula ia menjadi tempat luapan kekesalanku. Ia selalu bisa meredakan emosi, bisa juga menjadi penghibur dan pembangkit mood. Rutin mengingatkan sarapan dan jangan tidur terlalu malam, disertai ucapan sapa selamat pagi dan selamat malam. Hanya Raga yang sampai segitunya. Bisa dibilang, ia yang paling paham tentangku. Kukira, semua itu semata-mata bentuk perhatian sebagai seorang teman. Ternyata…
Ia menyodorkan sebuah beng-beng dengan tulisan “terlanjur jatuh cinta” di bungkusnya. Aku menatapnya gusar. Darahku serasa meletup-letup dalam jantung, desir hangat turut menggelincir mesra. Ah harus jawab apa ini? Ia memang tidak mengucap langsung dari bibir, tapi itu cukup jelas bahwa ia mengharapkanku.
“Gue… belum bisa, sory,” kataku akhirnya. Ia hanya mengangguk dengan senyuman tipis.
Syukurlah, dia mengerti. Tapi sejak pernyataan itu, ia lebih sering menunjukkan perasaannya. Kadang kata-kata manis terucap tak sengaja saat kami bersama. Mungkin, untuk meyakinkanku bahwa ia masih menunggu. Adam dan Cahya tau tentang kami. Teman-teman sekelas pun sampai mengira bahwa kami nyata berpacaran. Berita bohong yang diviralkan sudah jadi kejadian. Terserah kata mereka, terlalu malas untuk mengelak.
Tiap hari Raga selalu melontar pertanyaan, “gimana hari ini? Udah suka belum?” Ditunggu-tunggu seperti itu, rasanya malah sebal dan risih. Seperti dipaksa untuk berusaha membalas perasaannya. Selain itu, aku merasa selalu diawasi. Sedetik saja hilang dari penglihatannya, langsung mengaduh, “dari mana? Sama siapa?” Dan ketika ia tau aku dengan cowok lain, ia menegur, “lain kali jangan. Ada gue, kenapa harus yang lain?”
Kalimat itu secara tersirat menegaskan bahwa aku tidak boleh ada apa-apa dengan selain dia. Tak jarang aku berpikir “sebenarnya ia siapa? Ada hak apa ngatur-ngatur?” Bukannya senang diperlakukan istimewa, aku malah ingin menjauh, ingin terbebas. Ingin terlepas dan tidak terkekang dengan siapapun.
Dan saat hampir kenaikan kelas lagi, aku mulai menunjukkan sifat asliku. Ketika aku sudah tidak suka dengan seseorang, maka tak segan-segan aku berbuat semauku tanpa memikirkan perasaan orang itu. Dan, aku menunjukannya ke Raga. Awalnya secara perlahan, dengan acuh tak acuh dan mulai menjaga jarak. Tapi, ia tak jengah mengejarku, membuatku akhirnya terang-terangan menyeletuk, “sejauh ini gue udah mencoba untuk bisa punya perasaan yang sama, tapi nyatanya perasaan nggak bisa dipaksa. Gue nggak bisa. So, berhenti mengharapkan gue dan jangan mencintai gue lagi. Maaf, dan terima kasih.”
Ia tidak menolak pernyataanku, tetap tenang dengan senyuman kecil. Terkadang aku heran mengapa ia selalu bisa menanggapi situasi dengan tenang dan senyuman jika denganku. Apa senyumnya hanya sebatas untuk menutupi luka? Seusai pertemuan itu, ia tidak menghubungiku. Menghindariku sampai-sampai tidak bergabung dengan Adam dan Cahya. Mungkin dia sedang berusaha menuruti permintaanku. Atau tidak ingin sakit hati hanya karena melihatku?
Sebenarnya, menyakiti hati orang lain sama saja menyakiti diri sendiri. Entah kenapa, sejak ia menjauh, aku merasa ada yang kurang. Janggal dan hampa. Ingin kembali dan memperbaiki agar kita tetap berteman seperti biasa, tidak ada moment diam-diaman seperti ini. Namun, kerap kali aku akan mendekatinya, ia selalu terlihat baik-baik saja dan terlihat bahagia dengan orang lain. Serasa aku memang tidak pantas untuk sekedar berteman dengannya lagi. Aku tidak bisa membuatnya tertawa lepas seperti itu.
Aku pantas untuk kehilangan. Menyesal? Tidak. Kurasa, keputusanku mengatakan itu semua sudah tepat. Aku tidak ingin ia mengharapkanku terus-terusan padahal aku sangat ingin melupakan. Lebih baik, ia dengan orang yang jelas punya perasaan yang sama kan? Agar ia tidak bermimpi sendirian, agar cintanya tak bertepuk sebelah tangan.
Bahkan sampai hari perpisahan, ia tidak melepas sepatah kata pun untukku. Melirikku saja sepertinya tidak. Ia terlalu asyik dengan orang-orang yang menyayanginya. Orang yang menyia-nyiakannya sepertiku, tak pantas untuk sekedar bertukar sapa lagi, apalagi bertatap dengan senyuman, apalagi tertawa bersama.
Ah, andai tidak ada “cie”, mungkin aku tidak akan mengalami ini semua. Mungkin sampai detik ini, tidak ada apa-apa di antara aku dan Raga. Tidak membuatnya rapuh, tidak pula membuat diriku sendiri melepuh.
Cerpen Karangan: Miftahul Jannah Blog / Facebook: Miftahul Jannah