“Aduh…” Rintihan seseorang yang mengaduh membuatku tersadar bahwa aku telah menabrak seseorang. Dengan terbata-bata aku meminta maaf, “eh… Maaf aku aku ga tau ada orang.” Tak ada jawaban dari orang yang aku tabrak. Aku berusaha berdiri sambil meraba-raba sesekitar, mencari tongkatku.
“Ini punyamu kan?” Tiba-tiba suara ramah khas lelaki menyapaku. Aku merasakan ada sesuatu di hadapanku, dengan sigap aku mengambilnya. Yap, tongkatku telah kembali.
“Mm… Maaf ya, aku ga liat.” Ucapku sekali lagi. “Gapapa, aku juga tadi buru-buru. Maaf, kamu buta?” Lelaki itu bertanya, pertanyaannya membuatku mematung sejenak. Aku akhirnya mengangguk. “Eh sorry.” Aku menggeleng, “gapapa kok.” Setelah mengucap itu aku segera melangkah pergi. Aku tau, aku harus berhati-hati. Apalagi dengan seseorang yang belum kukenal. Ya, itu pesan Ayahku.
“Namaku Za…” Seseorang itu mengenalkan namanya. Aku menghentikan langkah dan tanpa berbalik ke belakang berucap, “aku Fi. Senang bisa bertemu denganmu Za.”
Sejak tabrakan itu, aku dan Za selalu bertemu. Entah itu memang takdir atau apa. Setelah seminggu aku berkenalan dengan Za, aku tau bahwa ternyata Za adalah anak yang baik. Dia ramah juga pintar. Walaupun aku buta, dia tak pernah mengejekku. Dia malah memberiku sebuah kotak yang berisi huruf braille. Sungguh, dia sangat baik. Dia adalah teman terbaik yang aku punya.
“Hmm… Fi, selama ini aku selalu cerita apapun tentang aku. Nah sekarang giliran kamu yang cerita.” Pinta Za di suatu sore. “Oke oke… Aku cerita.” Aku mengalah.
“Kamu tau Za, kenapa kamu ga pernah lihat ataupun bertemu dengan Ayah dan Ibuku?” Tanyaku memulai, kurasa Za menggeleng.
“Itu karena mereka udah ga ada. Dulu tepatnya 2 tahun yang lalu, sebuah kecelakaan maut merenggut nyawa kedua orangtuaku. Dan juga… Penglihatan mataku. Kornea mataku rusak, oleh karena itu aku buta.” Ucapku memberi jeda. Tanpa kusadari air mataku menetes.
Tak ada tanggapan dari Za, membuatku heran. “Za, kamu masih disini kan?” “Hah? Eh… Iya kok, lanjut lanjut.” “Kamu gapapa?” Tanyaku lagi. “Eng… Gak kok, gak papa. Lanjutin aja ceritanya, aku pasti dengerin.” “Oke-oke, tapi kamu jangan kemana-mana ya…” “Iya, tenang aja.” Ucapnya meyakinkanku. Aku akhirnya melanjutkan cerita.
“Menurut para saksi, kecelakaan itu terjadi antara mobil dengan mobil. Tapi mereka gak mengejar si penabrak yang keburu kabur karena menyelamatkan aku dan orangtuaku. Mungkin si penabrak lagi mabuk atau ngantuk. Sampai sekarang, aku belum bisa melupakan tragedi kecelakaan itu. Aku sempat marah pada si penabrak, tapi aku sadar apa yang terjadi adalah takdir. Aku ikhlas dengan perginya orangtuaku, tapi mungkin aku belum bisa maafin si penabrak. Aku merasa dendam dengannya. Mungkin jika bertemu, aku akan mencaci makinya dan aku… Juga membencinya. Aku ingin tau apa alasannya kenapa dia kabur.” Ucapku mengakhiri cerita.
“Mm… Kalau orang yang nabrak itu meminta bertemu denganmu untuk meminta maaf, apa kamu mau memaafkannya?” Pertanyaan dari Za agak aneh menurutku. “Entahlah… Aku ga yakin.” Jawabku dengan nada ragu. “Fi, kalau misalnya orang itu mengakui kesalahannya dan mengungkapkan alasannya kabur lalu mau bertanggung jawab, gimana?” Tanya Za, untuk kedua kalinya pertanyaannya itu aneh. “Lalu apa kamu akan laporin orang itu ke polisi?” “Entahlah. Tapi aku suka orang yang jujur. Mungkin aku akan mendengarkan penjelasannya, tapi untuk permintaan maafnya aku ga menerima. Jujur, aku masih sakit hati.” Jawabku. Lagi-lagi tak ada tanggapan dari Za, membuatku berpura-pura batuk.
“Eh, kamu gapapa Fi?” Akhirnya ada suara juga. Aku jadi yakin bila Za masih bersamaku. Aku menggelengkan kepala, tanda bahwa aku tak apa-apa. Setelah itu hening, aku dan Za sama-sama tak bersuara.
“Mm… Fi!” Suara Za memecah keheningan diantara kami. “Aku mau tanya nih, tapi kamu jangan marah ya.” Aku mengangguk, menunggu pertanyaan dari Za. “Rasanya jadi buta itu… Gimana sih?” Aku tertegun. “Eh… Sorry.”
“Gapapa. Aku udah sering kok ditanyain kaya gitu. Rasanya ya… Gitu. Kamu tau Za, yang aku lihat disini cuma gelap. Cuma ada setitik cahaya disini. Tapi walau begitu, aku masih bersyukur karena aku dihindari dari pemandangan yang gak seharusnya aku lihat. Aku takut jika aku melihat, aku diperlihatkan yang membuat aku dosa. Aku masih bersyukur, walau aku buta, aku masih punya 2 tangan dan kaki secara sempurna. Masih bisa mendengar dan berbicara. Di luar sana, masih banyak orang yang ga punya tangan dan kaki. Ga bisa mendengar ataupun berbicara. Di luar sana, masih banyak orang yang mempunyai kekurangan yang lebih parah dari aku.” Jelasku panjang lebar. “Terus kamu kepengin lihat lagi gak? Seperti orang pada umumnya.”
Aku menghela nafas. “Semua orang itu pasti ingin ga punya kekurangan Za. Begitu juga aku. Walaupun aku bersyukur dengan keadaan diriku yang seperti ini, tapi aku juga ingin melihat dunia lagi. Aku ingin melihat indahnya hujan yang turun ke bumi, cantiknya warna pelangi, sang senja, bintang dan bulan di langit malam, serta ingin melihat orang yang udah mau berteman denganku. Tapi kayaknya itu mustahil deh. Ga ada orang yang mau ngorbanin salah satu indra penting mereka bukan. Kalau ada itu juga pasti membayar, zaman sekarang ini ga ada yang gratis Za. Kecuali oksigen. Itu juga kalau kamu masih bisa bernafas dengan normal.”
“Kalau misalnya ada seseorang yang donorin matanya secara percuma gimana? Atau kalau si penabrak mau ngorbanin matanya buat nebus kesalahan, apa kamu mau memaafkannya?” Tanya Za dengan nada serius. Aku menggeleng, “aku ga tau Za.”
“Oiya… sekarang udah jam berapa? Kayaknya kita udah lama deh disini.” Ucapku mengalihkan pembicaraan agar aku tak kembali menangis mengingat orangtuaku. “Jam 17.50 nih sekarang. Berarti udah 3 jam lebih kita di tahun ini. Pulang yuk, mendung nih. Eh udah gerimis.”
Aku mendongak, merasakan rintik hujan yang mulai turun. “Yuk Fi. Nanti sakit loh.” Ucap Za. Aku menggeleng tanda tak mau. “Entar ah…” Aku masih ingin merasakan hujan. “Fi, kamu tau ga? Disini kalau udah hujan gini, kadang-kadang ada petir loh. Disini suaranya jelas banget. Dan juga kalo udah dibawah jam 5 sore, ada–” Aku memotong perkataan Za yang seolah menakut-nakutiku. “Iya iya. Ya udah yuk pulang.” “Hahaha… Gitu dong dari tadi.” Ucap Za lalu kami bergegas pulang ke rumah.
“Hati-hati ya Za, dah…” Aku membalas pamitan Za. “Oke, malam Fi.” Ucapnya. Setelah kurasa Za telah melangkah pergi, aku segera masuk rumah.
“Ya ampun Non Fi, darimana? Bibi khawatir loh.” Ucap Bibi saat aku melangkah ke dalam kamar. “Iya Bi. Tadi aku ke taman sama Za. Sampai lupa waktu deh, hehehe…”
Bibi adalah pembantuku. Tapi sudah kuanggap seperti Bibiku sendiri. Bibi sudah lama bekerja di rumahku. Sejak ayah ibuku baru menikah sampai sekarang ini. Bibilah yang merawatku sejak aku buta. “Lain kali inget ya Non. Kalo gitu Non ganti baju dulu ya, takutnya masuk angin. Bibi ke dapur dulu.” Aku mengangguk, lalu berganti pakaian.
Aku tersenyum mengingat Za. Selama aku buta, hanya Za -lah yang dekat denganku. Mungkin anak-anak sebayaku tak mau berteman apalagi bersahabat dengan gadis tunanetra sepertiku. Dulu aku ingin seperti mereka yang sempurna. Aku ingin merasakan betapa bahagianya memiliki seorang sahabat. Bercanda ria dengan mereka, saling berbagi cerita, marah-marahan dan saling mengingatkan. Ku kira itu hanyalah khayalan belaka namun setelah aku mengenal Za, aku tau bahwa sahabat adalah hak semua orang, entah itu baik atau jahat, normal atau cacat, sempurna maupun mempunyai kekurangan.
Sayangnya, aku belum pernah melihat Za. Kata Bibi, Za itu tampan, baik pula. Badannya tinggi dan putih. Rambut hitam lurus berponi. Aku pernah bilang itu pada Za…
“Za, aku pengin deh liat wajah kamu.” Ucapku kala itu. “Tenang aja, suatu saat nanti kamu pasti bisa liat. Ga cuma liat aku, tapi liat semua orang di sekitar kamu.” Za menanggapi dengan serius. “Kayaknya ga deh. Gadis buta kaya aku mah–” “Stt… Gak boleh bilang gitu tau. Suatu saat nanti pasti bisa kok.” “Tapi aku ga yakin deh.” “Yakin aja. Ngomong-ngomong, kenapa kamu pengin liat?” “Liat apa?” Aku mengernyitkan dahi. “Wajahku lah. Naksir ya? Hahaha…” Setelah bertanya yang kuanggap sebagai ledekan itu, Za tertawa renyah. Serenyah roti kering kesukaanku. Eh? “Idih, pede amat.” Aku mengelak. “Yakin deh Fi, kamu tambah manis kalo cemberut, hahaha…” Lelaki di sebelahku ini masih tertawa. “Apa sih kamu? Ada-ada aja deh.” Ucapku kesal kala itu. Tapi tak bisa ku tampik, ujung bibirku tertarik ke atas. Aku tersenyum, hanya karena ledekan Za.
Aku jadi tersenyum mengingat candaannya itu. Baru kali ini aku bisa merasa bahagia bersama orang lain. Hanya Bibi -lah yang dapat menghiburku, dulu. Dan kini Za -lah orang kedua setelah Bibi. Huft… baru kali ini aku nyaman dengan orang lain, apalagi lawan jenis.
Bersambung
Cerpen Karangan: Da Azure Biasa dipanggil Da. Dapat ditemui di Wattpad: Daa_zure. Tunggu kelanjutannya ya… Semoga lolos moderasi. Thanks telah membaca.