Saat ini, aku dalam keadaan paling terpuruk. Hidupku hanya berteman dengan sepi, sunyi dan kegelapan. Aku merasa di dunia ini hanya ada diriku seorang. Aku letih dengan semua ini. Aku tak menemukan jalan kemana harus melangkah pergi. Aku merasa ada yang hilang dari jiwaku
Dua tahun lamanya, aku masih tetap sama, berada dalam keadaan yang penuh dengan kegelepan dan keterpurukan. Tak ada sedikitpun yang berubah. Aku tak bisa lagi merasakan nikmatnya mengenang sesuatu. Rasa itu telah musnah dari hidupku. Aku sudah tidak lagi memiliki seseorang yang dapat kukenang. Hanya kalender yang menggantung, memandangku, dan mengingatkanku bahwa begitu banyak waktu yang terlewati dengan sia-sia. Aku selalu mengenang bahwa hidup ini perlu inspirasi dari seseorang yang mampu membuat diriku menjadi begitu berarti.
Tiga tahun silam, aku mencapai puncak kegemilangan yang pernah aku raih. Menuai banyak pujian atas semua prestasi. Meraih prestasi menurutku cukup membanggakan. Namun, itu tidak berlangsung lama. Tahun itulah, beliau masuk dalam kehidupanku, sekaligus aku membuatnya kecewa terhadap apa yang kulakukan. Di tahun itulah, aku melakukan kesalahan yang seharusnya tidak kulakukan. Penyesalanpun menyelimuti hidupku. Mungkin sebelumnya aku terlena dengan apa yang sudah kuraih. Tapi aku tidak pernah menyadari bahwa keterlenaan yang kurasakan hanya sekejap menghampiriku, dan berganti dengan penyesalan. Penyesalan yang sedang membelenggu dalam hidupku.
Aku telah membuat kecewa seseorang. Seseorang yang sangat berharga dalam hidupku. Hanya hitungan hari aku dekat dengan beliau, namun kedekatan itu telah sirna seketika. Saat itu, aku tidak mendengarkan apa yang beliau katakan. Aku mengabaikan apa yang beliau perintahkan. Lebih tepatnya aku lalai, terlalu menganggap remeh apa yang beliau katakan. Beliau begitu marah padaku. Aku hanya bisa terdiam dan menunduk tak berdaya, ibarat raga yang sudah tak bernyawa. Berdiri mematung, membisu, dan tak sedikitpun aku berani bergerak, seakan semua terasa mati. Gemetar tanganku menggenggam erat sebuah pensil. Tatapan semua orang semakin menambah suasana tidak nyaman bagi diriku. Membuatku risih dan penuh dengan amarah. Kata-kata yang beliau ucapkan, seolah sebilah belati menusuk dadaku.
Saat itu akupun merasa ingin menghilang dari dunia ini. Aku ingin menenggelamkan diri ini ke dasar sungai. Hanyut terbawa arus menuju laut dan hilang entah kemana. Aku marah, kecewa, dan ingin menghilang dari dunia ini. Dunia sudah tidak membutuhkanku lagi. Hari esok tak seperti biasanya, ada yang mengganjal di hatiku. Aku sadar, bahwa ini terjadi karena apa yang kulakukan kemarin. Aku melakukan sebuah kekhilafan yang begitu memilukan dan menghancurkan diriku sendiri. Seketika aku terjebak dalam keadaan yang rumit, begitu terpuruk jatuh ke jurang yang dalam akibat kesalahanku sendiri.
Aku berusaha mencari pijakan untuk keluar dari jurang ini, tapi semua itu mustahil yang tak mungkin berwujud. Aku berusaha menyapa beliau, namun nyaliku surut seketika saat memandangnya. Matanya begitu tajam, seolah mengisyaratkan bahwa beliau tak ingin melihatku lagi. Akhirnya aku menyerah. Aku rela berdiam diri di dasar jurang yang dalam nan licin selama dua tahun lamanya, berteman sepi, gelap, dan itu sangat menyakitkan bagi diriku.
Tahun pertama dan kedua setelah kejadian itu, aku tidak begitu bergairah dalam menjalani hidup. Aku masih berusaha meraba-raba di dasar jurang. Hatiku berkata “mungkin saja ada seseorang yang datang dan peduli kepadaku. Melemparkan seulur tali, sehingga ia dapat menolongku keluar dari penderitaan ini, atau hanya sekedar memberi pencahayaan ke dasar jurang yang begitu gelap”. Disanalah aku berteman sepi dengan sejuta penyesalan. Namun, aku akan mencoba membiasakan diri dengan semuanya.
Aku pernah mendapat sebuah pijakan. Pijakan yang akan membantuku keluar dari jurang yang kubuat sendiri. Pijakan itu kudapatkan di tahun pertama setelah kejadian memilukan itu. Aku dipanggil untuk menghadap beliau. Itu adalah kesempatan emas bagiku. Namun, bodohnya aku. Aku hanya menanggapi apa yang beliau katakan dengan jawaban dingin dan singkat. Mungkin itu membuat beliau tidak berantusias lagi untuk bicara padaku. Aku kembali menyesal. Secercah harapan yang kunantikan kini telah musnah kembali. Jurang yang awalnya akan kututup, kini malah sulit tuk kulakukan. Aku terpeleset kembali saat aku berusaha bangkit dan menginjakan kakiku di bumi. Namun aku pun kembali tersungkur jatuh ke dasar jurang yang mengangah.
Disisi lain, aku bertekad untuk tidak bertegur sapa lagi dengan beliau. Bagiku semua itu percuma, ibarat orang yang melukis di atas air. Semua akan sia-sia. Akupun berpikir, masih banyak anak lain diluaran sana yang lebih dekat dengan beliau. Lagi pula aku ini siapa? aku berani berpikir bahwa hanya akulah yang dekat dengan beliau. Oleh karena itu, aku menganggap sudah lebih nyaman berada di jurang yang kubuat sendiri. Berteman sepi, dan hanya sepi yang bisa kuajak bicara. Hanya sepi yang bisa merasakan apa yang kurasa.
Tahun keduaku lebih unik dari tahun sebelumnya. Aku berpikir, lebih baik sendiri daripada berbaur dengan orang lain, karena aku tahu di benak orang lain aku hanyalah seorang pengecut yang membosankan. Aku semakin bahagia, menjalani hidupku di dunia yang kubuat sendiri. Sedikit demi sedikit kuperluas duniaku. Jurang yang pernah kubuat, bagiku adalah tempat yang menjadi daya tarik tersendiri dalam hidupku. Meski ada rasa sakit saat mengingat semua itu. Namun, aku juga merasakan kesenangan tersendiri. Aku lebih suka sendiri. Bagiku, sendiri itu menyenangkan. Kita akan nyaman dengan kesendirian bila kita mengerti apa arti kesendirian. Aku sadar, satu-satunya orang yang bisa membuatku tersenyum adalah diriku sendiri. Dulu aku berpikir butuh ruang untuk menyendiri. Menyelami apa yang telah terjadi selama ini. Merencanakan yang lebih baik untuk hari-hari berikutnya. Sehingga aku membuat dunia yang hanya ada aku seorang di dalamnya. Dengan menyendiri, aku dapat menyelimuti jiwaku dalam keheningan. Semua itu adalah cara terbaikku untuk menghindari cercaan dan hinaan banyak orang yang dilontarkan kepadaku.
Saat ini tahun ketigaku. Tidak ada yang berbeda dan masih sama seperti biasanya. Namun, sungguh tak kuduga. Sepertinya nasib sedang menungguku, dan akan menyergapku tanpa ampun. Di tahun ketiga, seseorang yang baik memberitahuku bahwa aku masih mempunyai secercah harapan untuk bertegur sapa dengan beliau. Aku berpikir, apa yang harus aku kulakukan untuk memenuhi permintaan beliau?. Awalnya aku takut akan hal itu. Aku kembali memikirkan, apa yang baru saja kudengar. Apakah beliau masih marah kepadaku? Apakah aku bisa melakukan apa yang beliau minta? Pertanyaan itu selalu berkecamuk dalam pikiranku, menatap matanya saja itu sudah membuatku bergidik ngeri, apalagi membayangkan begitu marahnya beliau seperti 2 tahun lalu, sungguh aku tak sanggup. Tapi apalah daya, semoga ini berjalan sesuai dengan yang kuharapkan.
Aku benar-benar tidak menyangka sepertinya nasib baik berpihak padaku. Semua itu benar-benar terjadi, dan diluar ekspektasiku. Tuhan berkehendak lain. Saat aku menemui beliau, beliau menyapaku dengan hangat, tampak segaris senyuman tersirat di raut wajahnya. Beliau memberiku tekanan listrik tinggi, sehingga membuatku terasa kaku saat membalas sapaannya.
Aku sedikit heran disaat beliau sangat antusias untuk berbicara padaku. Tak sedikitpun terpancar tanda-tanda jika beliau masih menyimpan rasa marah dan kecewa. Aku pun menanggapinya dengan suka cita. Ternyata beliau yang sekarang, masih tetap sama seperti yang dulu. Aku sangat mensyukuri hal itu. Sepertinya, ini adalah saat yang kunantikan sejak dulu. Aku sangat bersyukur bisa kembali dekat dengan seseorang yang sekian lama meninggalkanku. Sungguh semua itu hadiah terindah dalam hidupku, sekaligus membuat hatiku terharu.
Semenjak saat itu, beliau sering memanggilku. Menanyakan tugas, mengingatkan tuk selalu belajar, dan tak luput juga memberi motivasi agar aku tidak terpuruk lagi seperti tahun-tahun sebelumnya.. Hari ini aku dapat menghargai waktu. Waktu yang telah banyak kubuang dengan sia-sia. Kata-kata beliau, selalu mengena di hatiku. Menurutku, siapapun orang yang dekat dengan beliau akan berkobar semangatnya jika mendengar nasihatnya. “Wanita yang berwajah acuh, namun jika kita sudah mengenalnya maka kita akan memahami karakternya”. Sorot matanya yang tajam, akan menaklukkan siapapun yang menatapnya. Orang yang benar-benar hebat, adalah orang yang membuat orang lain merasa hebat. Dan beliau adalah salah satunya. Beliau telah memberiku jalan. Jalan agar aku dapat keluar dari dunia yang kubuat sendiri. Beliau membuatku sadar, aku tidak harus selalu berada di duniaku sendiri, masih ada tempat lain untuk kusinggahi. Aku masih bisa mendapatkan sesuatu yang tidak bisa kudapatkan saat aku sendiri. “Ibarat orang yang sedang jatuh, kamu harus mampu berdiri sendiri. Jangan selalu menunggu uluran tangan orang lain untuk membantumu berdiri. Karena sesungguhnnya, dirimu lebih hebat daripada orang lain. Hanya saja kamu belum bisa menaklukkan dirimu sendiri”. Beliau mengatakan hal itu untuk menyemangatiku. Akupun tak akan pernah melupakannya. Kata-kata itu akan selalu membekas dalam lubuk hatiku yang paling dalam.
Sepertinya aku sudah kembali mendapatkan serpihan yang dulu sempat hilang dari diriku. Hanya satu serpihan, namun itu sangat memengaruhi serpihan-serpihan yang lain. Satu serpihan yang berada di tengah-tengah sebuah puzzle. Tidak lengkap tanpa adanya serpihan itu.
Kehidupanku mulai berubah. Dan tampaknya, aku telah keluar dari jurang penyesalan dengan cara yang sangat tak kuduga. Aku sadar, bahwa orang yang membuatku sangat terluka adalah orang yang memegang kunci kesembuhan dari luka itu sendiri. Beliau telah membebaskanku dari jurang penyeselan yang kubuat. Beribu terima kasih, takkan cukup untuk membalas apa yang beliau berikan padaku. Tapi aku masih berpikir untuk balas dendam pada beliau. Aku akan membalas dendam itu dengan cara mengubah diri ini menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi. Dan tidak hanya itu, beliau pun juga memberikan pesan yang tak mungkin bisa kulupa. Pesan itu begitu menyentuh, dan hanya mampu kulukis dalam hati serta pikiranku.
“Jangan ragu untuk melangkah. Saya akan selalu mendampingimu dalam meraih prestasi. Maka dari itu teruslah belajar, banggakanlah kedua orangtuamu dengan prestasi yang kamu raih, terlebih prestasi itu engkau persembahkan untuk dirimu sendiri. Hidup memang membutuhkan sebuah proses, dan hidup itu tidak seterusnya berjalan dengan instan. Tanpa adanya proses dalam kehidupan, maka engkau tidak akan pernah mampu memaknai arti hidup yang sebenarnya”. Aku memaknai pesan beliau begitu dalam.
Kini aku sudah menggenggam erat cahaya insipasiku yang dulu pernah redup. Hari ini Tuhan menerangkan kembali cahaya itu dalam hidupku. Dengan sekuat tenaga aku akan berusaha untuk tidak mengecewakan beliau kembali. Lewat cerita ini, aku ingin dunia tahu. Bahwa beliaulah, sumber kekuatan terbesarku, inspirasi terhebat dalam hidupku “Ustadzah Ita Winarti, S.Pd ”
Cerpen Karangan: Muhammad Khoirul Alfi Amri Facebook: Khoirul Alfi Muhammad Khoirul Alfi Amri lahir di Lumajang, 17 April 2003. Tamatan SD Negeri Pundungsari 03 tahun 2015, MTs Pesantren Terpadu Al Fauzan tahun 2017, dan MA Pesantren Terpadu Al Fauzan hingga saat ini. Pernah menjuarai Lomba Pidato Bahasa Indonesia AKSIOMA tahun 2016, dan Juara 3 Desain Grafis PORSENI tahun 2018. Merasa bangga dengan apa yang diraihnya sampai saat ini. Namun, itu semua tak berarti tanpa orang-orang yang berdiri dibalik itu semua. Penulis dapat dihubungi melalui FB: Khoiul Alfi.