Aku Ditha dan dia Radit, teman-teman menjuluki kami “Raditha”. Eits, seperti judulnya, kami hanya berteman atau lebih tepatnya sahabat. Aku dan Radit sekelas sewaktu SMP dan sejak SMP pula kami bersahabat.
Radit adalah tipikal cowok yang cuek banget, bahkan sama aku. Namun terkadang, dia bakal jadi perhatian saat sahabatnya ini butuh bantuannya. Radit itu seorang gamer dan pemain basket. Eh, jangan salah bayangkan. Radit bukan cowok famous di sekolah, tapi tetap aja ada cewek yang mencoba mendekati dia.
Berbanding terbalik dengan Radit yang cuek, aku tipe cewek yang pecicilan dan kepedean, ha-ha. Sayangnya aku tak cantik seperti yang dibayangkan, aku juga tak famous.
Persahabatan kami bermula ketika aku yang tinggi badannya hanya 156 cm ini mencoba menyalakan kipas angin yang tingginya subahanallah itu. Melihatku yang tak sampai, Radit membantu. Awalnya aku biasa saja, tapi ketika melihatnya tertawa kecil sambil menggeleng, emosiku meledak. “Ngetawain apa, lu?!” ucapku ketus. “Tinggi itu ke atas, bukan ke samping.” Mendengar tuturan Radit itu emosiku semakin meledak. Langsung saja kucubit lengannya. Dia meringis dan aku tersenyum penuh kemenangan. Sejak saat itu Radit selalu menyebutku “si Pendek” dan persahabatan kami mulai terjalin.
Tahun pertama di SMP, Radit sangat nakal padaku. Teman sekelas mulai mencocokkan kami. Mereka menjuluki kami “Raditha”. Tahun kedua, hubunganku dan Radit sedikit merenggang tapi masih sesekali bersama. Kadang juga kami saling bercerita, atau lebih tepatnya aku yang bercerita. Di tahun ini Radit sedikit terbuka dengan kehidupan pribadinya. Tahun ketiga kami semakin merenggang, seolah jarak antara aku dan dia dibatasi tebing curam yang tak bisa disingkirkan. Merenggangnya hubungan kami disebabkan oleh rumor tentang aku yang menyukai Radit, padahal itu sama sekali tak benar.
Sekarang kami sudah lulus dari sekolah menengah pertama dan mulai mengenyam pendidikan di sekolah menengah atas. Aku dan Radit tak lagi satu sekolah. Aku di SMA 1 dan Radit di SMA 2. Terkadang aku menghubunginya untuk sekadar menjahilinya, tak lebih. Aku kerap melakukan chatting gaje padanya, ya hanya sekadar mengobati rinduku.
Dia mulai suka mengomentari statusku. Tak terasa kami dekat kembali, tapi Radit tetaplah Radit. Dia tak berubah, tetap cuek. Namun ada hal yang aku syukuri. Kudengar dari Andre, teman satu sekolah Radit, katanya sahabat dari Ditha Anindya itu mengikuti lomba debat Bahasa Inggris. Berita itu adalah angin segar untukku. Karena untuk pertama kalinya Radit mulai keluar dari zona nyamannya.
Semenjak lulus SMP hubunganku dan Radit berjalan baik. Kita saling memberi kabar walau hanya sekadar mengirimkan pesan sekata dua kata.
Baru-baru ini aku dekat dengan lelaki berumur 19 tahun dengan beberapa tato di dada dan lengannya, namanya kak Diva. Hari itu untuk pertama kalinya aku minta dijemput kak Diva dan dia bersedia. Aku diantar dengan baik sampai ke rumah.
Malam tiba, saat aku membuka hp ada notifikasi chat dari Radit. Dia mengirimkan ketikan salam. Belum sempat aku membalas, dia meneleponku. “Halo, Dit. Assalamualaikum,” ucapku saat mengangkat telponnya. Dia membalas salamku. “Aku dengar kamu pulang diantar cowok? Tatoan?” selidik Radit. Dengan polosnya aku mengiyakan. “Oke, itu aja. Aku tutup, ya. Assalamualaikum.” Belum sempat aku menjawab salamnya, dia sudah memutuskan teleponnya. Aku bingung dengan ucapan Radit. Apa masalahnya dengan apa yang aku lakukan? Sejak kapan dia mulai peduli dengan siapa aku pulang? Padahal dia bukan tipe cowok yang se-kepo itu. Aku tertidur dengan banyak pertanyaan di kepalaku.
Ketika pagi datang, aku bersiap ke sekolah. Aku ke sekolah menggunakan jasa ojek online, ya karena aku masih kelas 1 SMA yang tentu belum boleh membawa motor ke sekolah.
Di sekolah tak ada hal yang menarik sampai Abi, teman SMPku datang ke kelasku, X Mipa-4. “Dit, kemarin Radit nelepon lu?” tanya Abi tanpa basa basi dan aku mengiyakan. “Apa dia marah sama lu? Sorry ya, Dit kalau bener,” ucap Abi dengan wajah penuh bersalah dan sukses membuatku penasaran. “Lah, salah lu apa, Bi?” Belum sempat Abi angkat bicara, bel masuk berbunyi. “Ntar kita lanjut ya, Dit. Gua mau balik ke kelas dulu.” Dengan segera Abi meninggalkanku dengan banyak pertanyaan. Abi minta maaf kenapa? Lalu dari mana dia tahu Radit meleponku semalam?
Selama pelajaran berlangsung, aku tak pernah fokus. Pikiranku menjelajah mencari alasan dari ucapan Radit dan Abi.
Bel pulang berbunyi, aku segera keluar sekolah. Di depan gerbang sudah ada kak Diva yang datang menjemputku. Kemudian kuhampiri lelaki baik hati itu. Kak Diva tersenyum lalu memberikan aku helm. Saat hendak kuambil pelindung kepala itu, seseorang mencegahku.
“Radit,” gumamku saat melihat pemilik tangan yang menahanku itu. “Kamu pulang sama aku,” tegas Radit dengan tatapan tajam ke arah kak Diva. Aku bingung, tapi menurut. Melihat wajah Radit yang tak nyaman itu aku tak berani membantah. Radit meninggalkanku dan berjalan ke arah motor trailnya.
“Kak, hari ini aku pulang sama Radit, ya. Kayaknya dia ada perlu sama aku,” ucapku pada kak Diva secara hati-hati, aku tahu lelaki itu kecewa. Kak Diva hanya tersenyum simpul.
Kemudian aku meninggalkan kak Diva dan menghampiri Radit. Kunaiki motor trail yang tak cocok dengan tinggi badanku itu. Perlu dicatat, aku menaiki motor itu dengan kesusahan. “Masih pendek, ya? Gak berubah juga ya lu, Dit. Apa perlu gua yang gendong lu naik? Ha-ha,” ucap Radit diiringi tawanya yang meledek. Matanya menyipit, pemandangan yang indah. Sudah lama aku tak melihatnya tertawa. Tanpa sadar aku ikut tersenyum.
Dia mengendarai motor itu dengan baik. Kami berdua mampir di sebuah kafe. Radit menggandeng tanganku masuk. Pemandangan yang cukup menarik perhatian pengunjung. Radit yang tingginya 178 cm itu menggandengku yang tingginya hanya 156 cm ini.
Dengan hati-hati Radit menggandengku menaiki tangga menuju lantai 3. Sesampainya di lantai teratas kafe itu Radit semakin erat memegang tanganku, bukan karena apa, tapi dia tahu kalau aku phobia ketinggian.
Kami duduk di meja pojok. Kami memesan dua hot cappuccino. Saat menunggu pesanan Radit menatapku tajam. Aku tak tahu salahku apa.
“Apa sih, Dit? Lu kok ngeliatin gua kek gitu amat, ngefans lu ama gua?” tanyaku sambil mencoba sesantai mungkin. “Diva pacar lu?” Deg, ada apa dengan Radit? Tak pernah dia mengurusiku pacaran dengan siapa, biasanya dia terkesan cuek dan tak mau turut campur. Ada apa kali ini?
“Bukan, lah. Anjir, gila lu?” tukasku. “Terus kalau bukan, kenapa lu sampe minta dijemput wahai Ditha Anindya?” tanya Radit dengan nada terdengar geram. “Ngirit ongkos wahai mas Raditya Alexander.” Radit menggeleng pelan. Tak lama pesanan kami datang. Setelah selesai kami langsung pulang. Tak ada lagi yang dibicarakan.
Cerpen Karangan: AkuHuman AkuHuman, berdomisili di salah satu kota kecil di Nusa Tenggara Barat. Motto hidupku adalah, “Kalau bisa besok, kenapa harus sekarang?” Prioritas terbesar adalah Tuhan.