Keesokan harinya aku berangkat seperti biasa. Yap, menggunakan jasa ojol alias ojek online. Saat aku keluar rumah, kulihat lelaki bertubuh tinggi dengan jaket hitam sedang duduk di atas motor trailnya. Kuhampiri lelaki itu.
“Astaga, Radit. Lu ngapain, geblek?” tanyaku. “Jemput lu. Naik cepet,” balas Radit jutek. Aku menolak dengan alasan bahwa aku sudah memesan ojol. “Astaga, Dit. Lu tinggal cancel apa susahnya. Cepet naik atau gua bakal gak nganggep lu sebagai sahabat gua lagi,” ancam Radit. Dengan terpaksa aku menaiki motor Radit. Dia mengantarku dengan baik sampai ke sekolah.
Sesampainya aku di kelas, Rere menyapaku. “Dit, lu dianter siapa tadi? Pacar baru, ya?” selidik Rere. “Dih, bukan. Dia sahabat gua, namanya Radit anak SMA 2,” balasku. “Masa sahabat sampai anterin sekolah sih, Dit. Awas baper lho.” Mendengar tuturan Rere langsung saja kucubit lengan wanita itu. Enak saja dia bilang baper-baper.
Pulang sekolah aku dijemput kak Diva lagi. Aku tak meminta, tapi dia yang menawarkan.
Dia melajukan motornya membelah jalan, tapi tunggu, ini bukan jalan ke rumahku. Kak Diva ingin membawaku ke mana? “Kak! Kita mau ke mana?!” teriakku bertanya pada Kak Diva. “Diem!” balas Kak Diva sedikit berteriak. Lalu dia menaikkan kecepatan motornya. Jalan yang kami lalui penuh dengan pohon di pinggirnya, terasa asing. Jujur, aku takut kali ini.
Kuketikkan pesan pada Radit walau sulit. “Dit, please ikutin gua. Cepet.” Begitulah isi pesanku padanya. Tak lupa aku juga mengirimkan lokasiku, supaya dia tahu aku di mana. Aku khawatir pada diriku sendiri saat ini. Entah apa yang akan terjadi nanti. Tubuhku gemetar.
Setelah cukup lama, akhirnya kami berhenti. Kak Diva menarikku paksa untuk turun. Dia memegang tanganku, sambil sedikit menyeret masuk ke sebuah bangunan tua. Di dalam sana ada sekitar enam orang dengan wajah yang cukup sangar menatapku dan Kak Diva. “Jadi ini, Div? Ha-ha, lumayan juga,” ucap seseorang yang kutafsir adalah yang paling berkuasa. Kak Diva menatapku sambil berkata, “Maaf.” Cuih! Kuludahi wajahnya yang bangsat itu. Jujur, aku benci dengannya.
Beberapa orang menarikku ke tempat bos mereka. “Sekarang lu punya gua,” ucapnya dengan tersenyum penuh kemenangan. Kudekatkan wajahku padanya. “Gak ada seorang bajingan pun yang bisa milikin gua, paham lu?” ucapku penuh penekanan. Lelaki itu tersenyum sambil menepuk tangannya. Tatapannya seolah meremehkan dan merendahkanku. Sial, aku benci caranya menatapku.
Plak! Kutampar wajahnya. “Jangan pernah lihat saya dengan tatapan macam anj*ng seperti itu!” bentakku. Dia menatapku emosi. Saat tangannya terangkat ingin menamparku, terdengar suara knalpot motor yang ramai sekali. Perhatian kami semua tertuju pada pintu masuk gedung tua itu. Dari sana datanglah gerombolan lelaki yang berlari menyerbu semua orang dalam gudang, tak terkecuali Kak Diva. Dalam gerombolan itu datanglah seorang yang kutunggu. Raditya Alexander.
Lelaki yang tingginya 178 cm itu menghampiriku. Dia menatapku datar. Kupukul bahunya pelan. “Lu kelamaan anjir, syukur aja gua belum kena tampol tadi,” ucapku sambil tertawa. Namun, Radit tetap mematung di depanku. Teman-temannya sibuk menghajar geng berandal tadi. Tiba-tiba … “Lain kali jangan asal-asal kenalan sama cowok,” ucap Radit lalu menarikku ke pelukannya. Dia memelukku, rasanya damai. “Gua nyaris kehilangan lu, Dit …,” bisik Radit di sela pelukannya.
Radit melepaskan pelukannya. Tak lama keadaan mulai sunyi, berandal tadi pergi tunggang langgang meninggalkan gedung tua yang menjadi saksi bisu kegaduhan beberapa menit lalu. Kini hanya tertinggal aku, Radit dan teman-temannya, serta Diva. Ah, aku malas memanggil lelaki bajingan itu sopan dengan menyebutnya kakak.
Diva duduk dengan wajah penuh luka. Radit menghampirinya. Bugh! Radit meninju wajah Diva. “Kalau main jangan sama sahabat gua.” Plak! Plak! Radit menampar dua kali pipi Diva yang membiru. “Lu tahu?! Gua nyaris kehilangan seseorang yang berarti buat gua!” Bugh! “Lu jangan macem-macem sama Ditha Anindya!” Diva menatap Radit tegas. “Lu siapa?! Lu cuma bocil yang gak paham masalah orang dewasa!” teriak Diva. “Terserah lu! Intinya satu, mainan lu bukan sahabat gua!” ucap Radit sambil mencengkeram baju Diva. “Cewek lu tuh gatel, dia gak lebih dari seorang pel*cur!” Tak tahan dengan ucapan Diva, Radit langsung memukul Diva tanpa ampun. Lalu aku? Air mataku mengalir deras, perkataan Diva sangat menyakitkan.
Radit yang sadar aku menangis lantas menghentikan aksinya. Dia datang padaku. “Hey, Dit. Lu kenapa nangis? Karena ucapan anj*ng itu? Jangan nangis, dong. Lu itu orang terbaik yang pernah gua temuin,” bisik Radit sambil menyeka air mataku. Teman-teman Radit hanya diam, tak ada yang bersuara. “Dit, gua mau pulang,” ucapku. Radit mengiyakan, lalu kami pulang. Aku dan Radit berpisah dengan teman Radit, ya karena tujuan kami berbeda.
Di perjalanan aku hanya diam. Tak banyak yang aku bicarakan. Perasaanku sedikit membaik.
Aku mengajak Radit mampir untuk menanyakan banyak pertanyaan. Radit kini duduk di depanku. “Dit, banyak hal yang gua mau tanyain sama lu.” “Hmm … gak semua perlu lu tahu, Ditha.” “Gua mau tanya, kemarin Abi minta maaf ke gua. Kenapa coba?” “Oh, itu … Lu inget yang gua telepon lu malem-malem? Gua minta Abi buat kasih tau gua lu dianter jemput sama siapa dan Abi kasih tau tentang Diva. Feeling gua gak enak ke Diva. Ya gitu deh, paham kan?” “Oh gitu, gua baru tau lu kepo sama kehidupan gua. Ha-ha. Abis itu yang rame-rame tadi siapa sih?” “Itu temen-temen sekomunitas gua, pecinta trail. Gua ngajakin mereka karena gua tahu, gak aman kalau sendirian.” “Udah deh, mau tanya itu aja. Oh iya gua lupa, gua belum nawarin lu minum yak? Mau minum apa?” “Gak usah, deh. Gua mau balik aja. Salam sama Papa Mama.” Radit pun pergi setelah meninggalkan salam untuk papa dan mamaku.
Sejak hari itu, Radit terus mengantar jemputku ke sekolah. Oh iya, Radit juga kerap kujodohkan dengan temanku, tapi katanya dia hanya mau fokus sekolah dan menjaga sahabat gilanya ini. Radit juga mulai suka turut campur dalam percintaanku, dia tak memperbolehkan aku keluar dengan lelaki lain yang dia tak suka.
Ah … Raditya Alexander, dia lelaki terbaik di dunia. Dia sahabatku dan akan terus seperti itu.
Ditha Anindya~
Cerpen Karangan: AkuHuman AkuHuman, berdomisili di salah satu kota kecil di Nusa Tenggara Barat. Motto hidupku adalah, “Kalau bisa besok, kenapa harus sekarang?” Prioritas terbesar adalah Tuhan.