“Kamu udah di sekolah?” “Belum, nih. Jalan Ki Hajar Dewantara macet banget. Kayaknya baru sampai di sekolah lima belas menit lagi. Maaf, ya.” Seseorang yang tersambung panggilan teleponku menyahut. “Gapapa, kok. Ini aku juga baru sampai. Aku tunggu di warung Bu Rika, ya.” “Siap. Aku tutup dulu. Dah.” Panggilan diakhiri.
Aku segera melangkah menuju warung Bu Rika yang terletak di depan SMP Merdeka, sekolahku. Membeli pisang goreng dua dan es teh, lalu duduk di bangku kosong. Menghabiskan pesananku itu sembari menunggu Caca, sahabatku.
Aku menatap rindu sekolahku. Baru setengah tahun aku menuntut ilmu disini. Tapi, pandemi COVID-19 memaksa kami untuk melaksanakan pembelajaran dari rumah, atau istilahnya daring (dalam jaringan). Hal yang menyebabkan selama satu tahun, aku bersekolah dari rumah.
Dugaan Caca tepat. Sekitar lima belas menit setelah terputusnya sambungan telepon, Caca sampai di sekolah. Kami bersama sama masuk ke sekolah, lalu mengumpulkan tugas dari guru matematika kami, Bu Rena.
Meski pembelajaran dilaksanakan secara daring dan mayoritas tugas dikumpulkan lewat internet juga, kadang kala ada tugas yang diminta mengumpulkan langsung di sekolah.
“Hai, Abel!” Panggilan itu membuatku menileh ke sumber suara. Tania. Teman sekelasku saat kelas 7. Kami cukup dekat, tapi tak sedekat aku dengan Caca. “Hai, Tan. Udah lama?” Sapaku balik. “Baru selesai ngumpulin nih. Btw, jangan panggil ‘Tan’ dong. Kayak manggil tante tante aja.” Cerocos Tania diakhiri wajah cemberut. “Siap, Tan.” Godaku dengan menekan kata ‘Tan’. “Terserahlah.” Kesal Tania.
“Tan, ke warung Bu Rika dulu, ya. Kita ngobrol ngobrol. Sama si Caca juga. Dia lagi ke toilet.” “Oke.” Begitu Caca kembali dari toilet, aku dan dua kacungku itu melangkah menuju warung Bu Rika.
“Bakso tiga, campur. Es jeruk satu, es teh dua.” Selesai memesan, kami duduk di bangku panjang. Mulailah cerita mengalir dari mulut kami masing masing.
“Huh. Aku kangen sekolah offline, deh. Sekolah online gak seru.” Ujarku memulai percakapan. “Iya, sih. Sebenarnya, aku males banget sekolah online. Aku juga sering bolos meeting online. Belajar juga jadi malas.” Tanua menambahi. “Betul, tuh. Liat buku bentar aja udah pusing. Gak paham sama pelajarannya. Susah dimengerti.” Keluh Caca. “Iya, hehe. Kalo ulangan juga tinggal nyontek buku atau internet. Itu guru juga gak ada yang tau.” kata Tania. Aku menggelengkan kepalaku heran. Lalu sampai pesanan kami habis, aku hanya menyahut beberapa kali.
“Kalian buru buru gak?” tanyaku. “Enggak. Emang kenapa?” Caca menjawab. Sedangkan Tania hanya menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaanku. “Aku mau ajak kalian ke suatu tempat. Mau gak?” Kening Caca dan Tania berkerut. “Kemana?” tanya mereka bersamaan. “Suatu tempat. Nanti juga kalian tau. Ca, kamu aku bonceng pake sepedaku. Tania bawa sepeda sendiri, kan?” “Iya, aku kesini naik sepeda.” “Oke. Lets go! Kamu ikutin aku ya, Nia!” “Siap, bosku!”
Aku pun segera menaiki sepedaku, disusul Caca yang naik di belakangku, sembari menempatkan tangannya di pundakku. Tania menyusul di belakang kami dengan sepeda biru tuanya.
Setelah mengendarai sepeda kurang lebih dua puluh menit, aku mengerem sepedaku di depan sebuah tempat perbelanjaan. Pasar tradisional lebih tepatnya. “Ngapain kita kesini? Belanja?” Tanya Caca. “Ikut aja dulu.” Jawabku sambil tersenyum misterius.
Karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang, pasar itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang yang berbelanja. Beberapa pedagang juga sudah membereskan dagangannya.
Langkah kakiku berhenti di depan salah satu kios. Diikuti Caca dan Tania yang masih terheran heran.
“Kak Abel!” Panggil seorang anak kecil. Senyumku terulas. “Hai, Sheva. Yang lain mana?” tanyaku. Belum sempat Sheva menjawab, sekumpulan anak kecil memanggil namaku dan mengelilingi tubuhku. “Kak Abel kesini sama dua orang itu? Siapa, Kak?” “Ini Kak Caca.” Aku menunjuk Caca yang segera menampilkan senyum ramah dan melambaikan tangannya. “Kalo ini Kak Tania. Mereka teman teman kakak.” Tania tersenyum lebar dan mengelus rambut beberapa anak kecil tersebut. “Eh. Kak Ninda mana?” Tanyaku. Ninda itu gadis yang usianya satu tahun dibawahku. “Kak Ninda masih ada meeting online, Kak.” “Sebenarnya, Aldo juga ada kelas online, tapi karna ponselnya dipakai Kak Ninda, Aldo ngalah, deh. Kasihan kalo Kak Ninda absennya kosong.”
Aku, Caca, dan Tania menatap anak anak itu prihatin. Inilah tujuanku membawa Caca dan Tania kemari. Supaya mereka bersyukur, bisa memiliki ponsel dan bisa memakainya kapanpun itu. Harapanku, mereka bisa memanfaatkan ponsel mereka sebaik mungkin. Salah satunya dengan mengikuti kelas online dan rajin mengerjakan tugas.
“Yang lain, tugasnya udah dikerjakan?” Tanya Tania. “Belum. Tugasnya di ponsel, jadi harus gantian, Kak.” “Kalau ulangan gimana dong? Harus gantian juga?” Kini Caca yang bertanya. “Iya, Kak. Walaupun risikonya kami telat mengumpulkan. Tapi yang penting kami harus berbagi.”
Aku, Caca, dan Tania menatap kagum akan ketabahan anak anak itu. Setelah mengobrol sejenak dan memberikan mereka makanan, kamu bertiga pulang.
“Kasihan ya, mereka.” Caca membuka percakapan sembari memakan camilan yang tersedia di ruang tamu rumah Tania. “Iya. Seharusnya aku lebih bersyukur lagi. Aku punya ponsel tapi jarang kumanfaatkan dengan baik.” “Iya juga, ya.”
Aku menatap mereka lembut. “Sekarang kalian paham kan alasan aku mengajak kalian kesana?” “Iya, Bel, kami paham. Makasih banget udah nyadarin kita. Tanpa kamu, kami pasti masih tersesat dalam kemalasan.” “Iya, Bel. Makasih banyak, ya.” “Berterimakasihlah kepada Allah. Dia lah yang telah membuka hati kalian. Telah menyadarkan kalian.” Caca dan Tania mengangguk. “Alhamdulillah.” Ucap mereka kompak.
“Setelah ini, aku akan rajin mengerjakan tugas dan ulangan dengan jujur.” “Aku juga. Aku akan memanfaatkan ponselku sebaik baiknya.” Aku menatap Caca dan Tanua dengan sorot bangga. “Alhamdulillah. Mereka mau berubah.” Ujarku pelan.
Cerpen Karangan: Almira Ramadhani