Pagi ini apes bagi Esha. Bel masuk kurang 10 menit lagi sedangkan dia baru keluar dari rumah. Untung saja rumahnya berjarak 200 meter ke sekolah.
“Ah, lariku lambat sekali, kakiku gak bisa diajak kompromi… Duh, kok jalannya banyak kerikilnya, kurang kepinggiran naruhnya. Aku kok ngeluh terus sih.” Esha tetap berlari tak acuh. Akibatnya kakinya terpelosot dan Esha jatuh melungguh. “Aduh, sakit… Pertama masuk kelas 11 siap-siap kena repetan wali kelas ni. Aku aja belum tau siapa wali kelasnya, jangan sampai guru killer.”
Esha melepasi kerikilan yang rekat di rok abu-abunya. Syukurlah tidak ada darah yang berlinang. “Kenapa, Nak?” Seorang pria berdiri di hadapannya, merengkuh tangannya, dan membantu berdiri. “Gak usah nolong aku nanti kamu terlambat juga, Iel!” pekik Esha. Esha terkejut ternyata bukan Iel. “Maaf, Pak. Terima kasih banyak sudah menolong saya.” “Iya, gak papa,” ucapnya. “Kamu sekolah di dekat sini, kan. Saya antar ya, kebetulan saya mau ke sana juga.” Dia membukakan pintu mobil bagian penumpang. “Terima kasih, Pak. Permisi.” Esha mengangkat kakinya masuk ke mobil berwarna hitam. Mau tidak mau Esha nebeng dengan pria ini, semua hanya demi waktu yang kurang 3 menit lagi.
“Ah, untung gak telat. Semuanya karena kebaikan om-om tadi.” Esha melendeh di kursinya sembari mengibas tangannya. “Om-om? Gimana maksudnya?” Berlin, teman sebangkunya jadi ngeri yang mendegar. “Kok wajahmu gitu sih. Tadi aku di perjalanan jatuh, terus ditolong dan dikasih tebengan sama om-om.” Berlin hanya berdehem saja dan mulai mengatur posisi duduknya. Berlin yang peka dengan suara sepasang sepatu guru melangkah pasti hafal betul kalau sebentar lagi guru akan datang. Esha pun hafal dengan maksud tingkah Berlin itu. Dan ternyata benar, seorang guru memasuki kelas.
“Ini om-om yang tadi nolong aku, Ber,” bisik Esha. “Berhenti sebut om-om, kupingkuku gatel yang dengerin. Lagian ini guru baru kita, stop panggil om-om,” bisik Berlin, “tapi, syukur kalo kamu ditebeng sama guru bukan sembarang orang.”
“Assalamualaikum. Saya guru baru di sekolah ini. Saya ditempatkan sebagai guru kimia sesuai dengan jurusan kuliah saya. Dan saya tidak menyangka langsung dijadikan wali kelas kalian. Saya harap kita saling bekerja sama.” “Wow! Ternyata om-om tadi itu guru baru,” batin Esha seraya mengangkat kedua alisnya.
Esha mengambil kotak nasi dari cengkeraman Iel. “Kamu sekarang agak beda.” Iel melirih dengan tatapan kekecewaan. “Kamu sudah tau kalo ada cewek yang suka sama kamu. Dia itu Sera, yang kena kasus taun kemaren gegara masalah cinta,” jelasnya panjang lebar. Tentu saja, siapa yang tidak luluh melihat performa Gabriela Pasya yang tampan, lemah lembut, dan postur tubuhnya yang lumayan tinggi. Apalagi dia adalah pianis yang sudah menjuarai beberapa kompetisi dan selalu mengisi acara sekolah. Iel berhasil membuat Naudira Serania Librayanti menggilai dirinya walaupun Iel tak punya seserpih rasa di hatinya. “Kita cuman temen aja, kan.” Iel menampik. “Pokoknya aku gak mau punya masalah sama si Sera,” cetus Esha. “Tenang aja kamu tetep aku bawain bekal. Tapi, kurangi interaksi kita di sekolah.” Esha berlenggak pergi meninggalkan Iel yang diam tercengang. “Aku juga gak pengen kayak gini. Tapi, kalo aku selalu dekat sama Iel, Sera pasti buat masalah ke aku. Nanti Iel pasti tolongin aku, aku gak mau nyusahin Iel terus.”
Sebenarnya tidak ada ikatan darah di antara mereka. Mereka hanyalah teman kecil yang saling menyempurnakan. Ketika Ayah Esha meninggal dunia, Iel datang menghibur dan sering belajar bersama atau hanya sekedar bermain ke rumah Esha. Esha juga menghibur Iel ketika Ibunya meninggal dunia. Dia hanya tinggal dengan Ayahnya yang terkadang sibuk. Sewaktu Iel kecil, ayahnya sering menitipkan Iel kalau ia pulang terlambat atau keluar kota. Dari situlah Esha membawakan bekal untuk Iel karena tidak ada yang membuat atau mengantar makan siang.
“Ibu tadi nitip tahu dua bungkus. Em, aku sekalian beli tomat 2 kg, mau aku bikin cemilan.” Esha mengecek barang belanjaan sebelum keluar dari area pasar. Dia tidak menyangka, wali kelasnya berdiri di sampingnya sembari menggeser-geser layar handphonenya dan tangan kirinya menenteng kantong plastik besar.
“Assalamualaikum, Pak Lukas.” “Eh, Wa-waalaikumsalam.” Pak Lukas tersentak. “Pak Lukas habis belanja, ya?” Sebenarnya Esha gugup berbicara dengan wali kelasnya yang sekaligus pria yang Ia temui tadi pagi, hanya saja ada sesuatu yang membuncah mulutnya. “Iya, ini buat makan malam. Kebetulan saya tinggal sendiri di apartemen depan toko kue.” “Oh, toko kue di perempatan sini ya, Pak. Itu toko kue Ibu saya, Pak.” Esha asal menebak. “Iya, toko kue itu,” ujar Pak Lukas. “Oh, rumahmu jadi satu sama toko dong.” “Iya, Pak.” Esha menyengguk. “Kalau boleh, besok saya bawakan bekal buat makan siang di sekolah.” Seketika Ia menawarkannya. “Gak usah, Sha. Saya bisa beli bakso di kantin atau beli nasi bungkus di depan sekolah. Makan siang bisa diatur. Malem ini saya pengen belajar masak.” “Kan sayang kalau makan siang harus beli. Saya juga bawain bekal teman saya, jadi sekalian bawain Pak Lukas juga.” Esha meyakinkan. “Em….” Pak Lukas memutar otaknya, bingung harus memilih ‘Iya’ atau ‘Tidak’. Memang enak tidak menghambur uang, tapi apa pantas guru dibawakan bekal sama muridnya? “Saya bawain ya, Pak.” Esha yang memutuskan. Entah kenapa, hatinya terdesak untuk membawa bekal.
“Wah, banyak banget lauknya, Sha.” Mata Iel menggerlap. “Aku tahu Ayahmu tiga hari keluar kota. Jadi, aku bawain bekal yang banyak biar kamu kenyang apalagi pulang sekolah kamu ngisi acara di rapat guru-guru dari sekolah luar kota, aku gak ngerti ngapain mereka sampe datengin pianis segala.” Esha menjawab panjang lebar. Memang seperti itulah Esha kepada Iel, sangat perhatian dengan teman yang sudah menemaninya ketika sosok Ayah telah meninggalkan Esha. “Tapi, meskipun Ayahku di rumah atau gak, yang masak tetep aku. Jadi, nanti aku bisa masak sendiri.” Iel tahu betul ketika dia sakit, Ayahnya keluar kota, Iel pulang terlambat, Mamanya Esha pasti tahu kabar tersebut karena rumah kami sebelahan tanpa jarak di antaranya. “Udah jangan cerewet, dimakan aja.” Esha tergopoh-gopoh mengeluarkan sendok Iel. “Kok buru-buru gitu, sih. Santai aja, Sha.” Iel tergelak seraya memegang pundak Esha. “Aku gak mau punya masalah sama si Sera gadis populer. Udah ya, aku cabut dulu.” Ia setengah berlari menjauhi Iel. Tawa Iel sirna melihat sosok Esha yang tidak terlihat lagi di netranya.
Akhirnya sampailah Esha di taman samping ruang guru. Terlihat sosok pria dengan performa gagahnya. Lengan kemeja birunya dilipat hingga ke siku, kulit kuning langsat terpancing jelas di tatapanku. “Permisi, Pak.” Aku mendekat dengan bekal yang sudah siap di tanganku. “Eh, Esha,” Pak Lukas bangkit dari lendehannya. Aku segera menyodorkan bekal itu. Pak Lukas pun menyambutnya. “Wah, saya gak nyangka kamu beneran bawain bekal.” Aku tersenyum lega. “Nanti saya antar langsung ke rumahmu sekalian mau pesan kue,” ujarnya. “Terima kasih, ya.” Aku mengiyakan dan segera menuju ke kelas untuk mengisi perut yang berontak. Sedangkan, Pak Lukas duduk di kursi taman menikmati bekal yang sebenarnya Ia selalu inginkan.
“Enak banget stik kentangnya, ya.” Esha berjalan menuju rumah sembari mengingat rasa tester yang barusan Ia cicipi. “Aku tantang kamu buat stik apel. Pasti enak, tuh.” Iel tersenyum miring. “Oke. Aku coba buat kalo ada waktu luang.” Setelah belanja untuk membeli kebutuhan mereka di rumah, Esha dan Iel tampak leluasa setelah melakukan aktivitas di sekolahnya. Tinggal beberapa langkah lagi mereka akan sampai di toko kue, rumah Esha.
Sebenarnya Iel gemas dengan pemikiran orang-orang. Dia dan Esha selalu dianggap sepupuan. Sedekat ini mereka anggap seperti itu, dia ingin sekali mengubah pemikiran orang-orang. Dia ingin menunjukkan bahwa Eresha Cardelia adalah sosok yang ia cintai. “Tunggu waktu yang tepat aja karena aku tau Esha gak bakal mau pacar-pacaran. Aku kuat menunggu beberapa tahun lagi,” batin Iel.
Dari kejauhan terlihat Pak Lukas keluar dari toko kue. Kami pun segera menghampiri untuk menyapa beliau. “Kalian saudaraan, ya?” Pak Lukas bertanya sembari mencari sebuah kotak bekal di dalam tas punggungnya. Iel hanya memutar bola matanya dan mendegus halus. “Bukan, Pak. Kita teman kecil. Ini Iel dari kelas MIPA 2,” sambut Esha. Pak Lukas menganggut paham. Lalu, Pak Lukas mengembalikan kotak bekal itu. Iel bingung melihat kotak milik Esha yang sebelumnya ada di genggaman Pak Lukas. Iel bergantian memandang Esha lalu Pak Lukas. “Terima kasih, ya. Saya pamit dulu.” Pak Lukas menaiki mobilnya dan berbelok arah menjauhi apartemennya.
“Kamu bawain bekal buat Pak Lukas juga? Kamu seriusan? Kamu gak kesusahan, Sha? Gimana ceritanya?” Iel menghamburkan pertanyaan yang sedari tadi terbungkam. “Iya, aku bawain bekal. Sebenernya ceritanya simple, jadi ini gak buat aku kesusahan,” jawabnya singkat, padat, dan jelas. Iel risau melihat kejadian serah terima kotak makan tadi.
“Makasih ya, udah nungguin aku.” Lukas duduk di kursi yang ada di hadapan perempuan dengan penampilan sederhananya. Perempuan itu hanya menganggut pelan dengan senyum kecilnya. “Mau pesen apa?” Lukas bertanya. “Tadi aku udah pesenin,” sahutnya. “Langsung mulai aja.” Lukas manggut-manggut. “Aku sudah janji untuk ngelamar kamu setelah aku pulang ke Indonesia. Jadi, hari ini…” Perempuan itu memutar bola matanya dan berdecak kesal, “Lihat! Ini janjiku.” Lukas melihat dalam-dalam cincin yang melingkari jari tengah milik gadis di hadapannya. Lukas membulatkan mata. Dia melewatkan banyak hal, termasuk cincin itu. “Ka… Kamu… sudah menikah?” tanya Lukas dengan penuh selidik. “Yes.” “Jangan bercanda.” Lukas berharap ini hanya gurauan. “Aku serius. Aku menikah tiga bulan yang lalu, waktu itu kamu masih di Singapura. Maaf aku gak ngabarin kamu.” Hanya diam yang membalas. Sudah beberapa menit mereka saling menyuruk. Perasaan Lukas sudah kosong dan teraduk menjadi satu. Padahal Lukas pernah mengatakan ke perempuan itu kalau dia akan melamarnya setelah studi S1 rampung. “Mungkin memang aku yang salah karena gak memberi kepastian.” Lukas tersenyum meringis.
“Permisi, ini pesanan meja nomor 22.” Pelayan itu meletakkan dua bungkus ukuran sedang lalu pergi menghampiri meja lainnya. “Mmm, aku bungkus aja, ya. Soalnya aku keburu ambil pesanan di toko kue.” Gadis itu menggaruk pipinya yang tidak gatal. “Pertemuan yang bukan aku harapkan,” batin Lukas. “E…maaf tadi aku gak ngasih alamat rumah baruku di WhatsApp. Rumah lamaku dijual soalnya mama dan papaku ikut aku pindah,” Dia menyodorkan kertas kecil, “Ini alamat rumahku yang sekarang.” “Okay. Thanks.” Kini Lukas tidak terlalu banyak bicara, kekecewaan mengendalikan mulutnya.
“Aku yakin kamu bakal ketemu orang yang lebih baik dari aku.” Gadis itu tersenyum lembut, itu adalah senyuman yang Lukas harapkan ketika melamarnya. “Aku udah bayarin. Anggap itu traktiran buat kamu, udah lama aku gak pernah traktir kamu, kan.” Lukas mengangguk dan tersenyum kecil. “Aku kayak sad boy aja,” batinnya. Lalu gadis itu menghilang dari bola netra Lukas. Bahkan menghilang dari harapan untuk meminangnya. “Makan sendiri aja kue nya,” gumam Lukas.
Cerpen Karangan: Felita Sukanti Blog / Facebook: TulisanTangan / Felita Sukanti